Sudah dua dekade, Warung Soto Rembang jadi langganan mahasiswa UNY. Sambal rahasianya begitu menggoda, menggoyang lidah mahasiswa yang kelaparan.
***
Pagi itu Jogja sedang panas-panasnya saat saya bersiap mencari sarapan. Padahal, waktu baru menunjukkan pukul 9.00 WIB. Musim yang katanya sudah memasuki masa penghujan rasanya seperti omong kosong saja. Sebab, Jogja tetap nggesileng alias panas sampai ubun-ubun.
Saya pun tiba di tempat nyarap, yakni warung Soto Rembang, kira-kira pada pukul 9.30 WIB. Saat itu situasi lagi ramai-ramainya. Wajar, di jam-jam ini para mahasiswa biasanya memang lagi aktif mencari sarapan.Â
Alhasil, seperti biasa saya pun harus mengantre dengan tertib. Sambil terus berdiri, dengan seksama mata saya terus scanning, mengincar kursi mana yang kira-kira siap ditinggal pembelinya.
Sepuluh menit menunggu, akhirnya ada satu kursi yang kosong. Saya pun segera menaruh tas sebagai penanda teritori dan langsung memesan seporsi Soto Rembang dan es teh. Sementara untuk mendoan, saya mengambilnya sendiri di dapur.
Begitu cara kerjanya di sini.
Soto Rembang bukan dari Rembang
Soto Rembang berlokasi di Gang Guru, Jalan Affandi, Sleman. Tempatnya memang cukup ndelik, berada di gang kecil yang berhadapan langsung dengan Fakultas Ilmu Sosial, Hukum, dan Ilmu Politik (Fishipol) UNY. Namun, buat gampangnya, ancer-ancer lokasi Soto Rembang paling mutakhir adalah di belakang Bale Bebakaran Gejayan.
Mbak Jarmi (34), sang pemilik warung, bercerita kalau warung Soto Rembangnya sudah ada sejak tahun 2000. Lokasinya tak pernah pindah, buka cabang pun juga belum ada niatan. Pendeknya, Soto Rembang milik Mbak Jarmi ini boleh dibilang jadi satu-satunya yang ada di Jogja.
Kata “Rembang” sendiri tidak merujuk nama kabupaten di utara Jawa Tengah. Kata Mbak Jarmi, rembang itu singkatan dua kata, “sarem” dan “brambang”. Sarem adalah nama lain dari garam, sementara brambang dalam bahasa Jawa berarti bawang merah.
“Itu [sarem dan brambang] yang bikin beda dengan soto lain. Tentu ditambah resep rahasia lain, toh,” kata Mbak Jarmi kepada saya, Senin (18/12/2023).
Soto Rembang Mbak Jarmi sendiri buka tiap hari. Tapi dalam satu bulan ada kalanya memang mereka tutup di hari Sabtu atau Minggu. Untuk menu Soto Rembang tersedia di jam-jam sarapan hingga makan siang, yakni pukul 6.00 WIB sampai 14.00 WIB. Ketika malam tiba, Mbak Jarmi gantian jualan nasi goreng dan bakmi.
“Pagi hari ‘kan cocoknya emang sarapan pakai soto,” jelasnya.
Rujukan penganut mazhab soto tanpa kecap
Setelah duduk beberapa saat sambil ngemil mendoan yang saya ambil, semangkuk soto yang saya pesan pun mendarat di meja. Sekilas tak ada perbedaan mencolok antara Soto Rembang dengan soto-soto lain yang biasanya saya makan. Nasi, bihun, kubis, tauge, seledri, dan suwiran ayam tetap menjadi isian utama yang diguyur kuah.
Oh iya, dalam dunia persotoan kita umumnya menganut dua mazhab. Pertama, orang-orang yang berkeyakinan bahwa menyantap soto itu harus pakai kecap. Dan mazhab kedua adalah penikmat soto yang percaya bahwa kenikmatan kudus sebuah soto adalah kala disantap secara orisinil alias tanpa kecap.Â
Nah, Soto Rembang ini bisa masuk ke kedua spektrum ideologi tadi, meski lebih condong ke mazhab kedua.
Kalau secara tipe, Soto Rembang ini masuk kategori soto kuah bening. Warna kuah tak terlalu kuning dengan isian yang standar. Namun, itu yang jadi keistimewaannya. Ia terlihat biasa-biasa aja, tapi sejak seruputan kuah pertama, kita bisa langsung tahu perbedaannya dengan soto-soto lain.
Kuahnya gurih, amat jauh dari soto-soto lain yang kebanyakan hanya dominan asin. Pekatnya kaldu ditambah rasa rempah yang cukup kuat, jadi perpaduan yang luar biasa. Bagi lidah saya, racikan semangkok soto yang dibanderol Rp7.000 per porsi ini ibarat pakem yang tak perlu diowahi lagi. Makanya, saya lebih suka menyantap Soto Rembang tanpa campuran kecap.
Namun, ada kalanya memang saya berimprovisasi sesuai dengan mood. Misalnya, pas lagi dingin-dinginnya saya campur banyak sambal supaya segar dan hangat. Atau kalau udah ada rencana mau mobile seharian, yang pedas-pedas saya kurangi biar perut tetap aman.
Sambal jadi pembeda
Kalau kalian datang ke warung soto lain, saya berani bertaruh bahwa sambelnya amat klise. Biasanya cuma berupa campuran bawang dan cabai yang diulek (atau ditumbuk) kemudian diairi. Pendeknya, yang penting cabai, yang penting ada pedasnya.
Hal itu berbeda dengan Soto Rembang. Di sini, sambal tidak diletakkan sebagai pelengkap atau opsional saja. Ia menjadi elemen penting dalam pembentuk cita rasa. Malah, kawan-kawan saya banyak yang berkelakar kalau Soto Rembang itu aslinya jualan sambel. Ya, saking seenak itu sambal di sini.
Saya sempat beberapa kali ingin membedah apa resep rahasia sambal di sini secara mandiri. Begitu menyentuh lidah, rasa gurih bawang merah begitu dominan di sini. Masih ada rasa pedas cabai, tapi tak terlalu mendominasi. Saya juga berani bertaruh bahwa ada campuran ebi di sambal ini.Â
Kalau boleh dideskripsikan, rasanya mirip sambal terasi, tapi cabainya dikurangi, bawang merah diperbanyak, dan terasi diganti dengan udang-udang kecil tadi.
Saya pun pernah iseng bertanya kepada Mbak Jarmi apakah teori saya soal resep ini benar? Kata dia, “tidak meleset”, tapi tetap ada bumbu tambahan lain yang katanya, “rahasia”.
Duh, benar-benar sambal yang misterius.
Biasanya, ketika sedang nunggu pesanan, sambal tadi saya pakai buat ngemilin mendoan yang tebal dan selalu hangat. Bermodal cocolan sambal misterius ini, tempe yang saya makan serasa kudapan mewah yang rasanya susah kita jumpai di tempat lain. Tanpa sadar, waktu pesanan datang pun sudah hampir sepuluh tempe yang saya kemil.
Langganannya para alumni UNY
Meskipun kecil dan terkesan ndelik, Soto Rembang nyatanya cukup populer. Terutama di kalangan mahasiswa UNY. Bahkan, kata Mbak Jarmi, ada banyak alumni UNY yang masih sering datang ke sini untuk sarapan.
“Ada yang sudah jadi guru, jadi dosen, ada yang PNS. Biasanya masih sering mampir,” kata Mbak Jarmi.
Kebetulan siang itu saya bertemu Aris (53), salah satu pegawai UNY Kampus Cabang Wates. Siang itu, bersama kedua rekan kerjanya, ia berkunjung ke Kampus Pusat karena ada urusan mengantar surat.
“Kebetulan juga karena jam makan siang, makanya mampir ke Soto Rembang,” ujarnya kepada saya.
Aris bercerita, ia sudah jadi langganan Soto Rembang sejak 2001. Kala itu dirinya masih bekerja di UNY Kampus Pusat. Kata Aris, meski sudah 20 tahun lebih berjualan, hampir tak ada yang beda dari Soto Rembang.
“Rasanya masih sama, tempatnya masih sama. Bedanya mungkin lebih luas saja sekarang,” pungkasnya.
Siang itu, memasuki pukul 12.00 WIB tengah hari, warung semakin ramai. Saya pun memutuskan untuk beranjak karena beberapa mata sudah mulai melirik kursi saya. Seporsi soto, es teh, dan sepuluh mendoan, dibandrol dengan harga Rp15.000. Harga yang pas untuk kenikmatan dan rasa kenyang yang bisa bertahan hingga berjam-jam ke depan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGAÂ Warung Sate Kang Jilan, Kuliner Mewah Imogiri yang Dulunya Tak Semua Orang Bisa Membeli