Makan di Warung Sate Klathak Pak Jeje itu harus siap meluangkan waktu minimal 45 menit, karena banyaknya antrian. Tak banyak yang tahu, usaha yang dirintis tahun 2009 ini berawal dari usaha pangkalan minyak tanah.
***
Seorang kawan dari Jakarta misuh usai makan sate klathak di Warung Sate Klathak Pak Jeje Jombor. Sebabnya, ia harus menunggu sekitar 1 jam hingga hidangan yang ia pesan ada di hadapannya.
Padahal dari awal sudah saya sampaikan, kalau sedang kelaparan cari tempat makan lain saja. Itu saran saya ketika ia minta rekomendasi tempat makan sate klathak yang nggak jauh dari tempatnya menginap di sebuah hotel di Jalan Palagan, Yogyakarta. “Tempat sate yang nggak jauh dari kota, kalau ke Jejeran jauh, males,” katanya.
Tempat makan sate yang nggak cocok untuk yang sedang kelaparan
Maka satu-satunya yang terlintas dalam pikiran saya, tempat makan sate klathak di malam hari yang nggak jauh dari tempatnya menginap dan nggak harus ke Jejeran adalah Sate Pak Jeje. Lokasinya juga strategis karena berada di perempatan Jombor.
Namun, dari awal saya juga sudah mewanti-wantinya, datang lebih awal kalau nggak mau antre lama, atau kalau datang di malam hari harus dalam kondisi yang tidak lapar, sama teman, atau bawa gadget. Kebetulan saya tidak bisa menemaninya makan saat itu.
“Untungnya sih bawa gadget, bisa Netflix-an, tapi laparnya itu yang nggak tahan,” katanya.
Saya akhirnya bisa ngobrol dengan yang punya warung Sate Pak Jeje. Itu juga karena saat memesan menu saya mendapat informasi pesanan saya baru siap 45 menit lagi. Di meja kasir, saya lihat seorang bapak setengah baya tengah berjaga. Saya menebak saja kalau dirinya yang punya.
“Iya, Mas, saya Pak Jeje. Maaf ya kalau lama, harus dimasak langsung,” katanya, Kamis (1/2/2024). Maka di sela-sela ia melayani pelanggan yang mau membayar, saya ngobrol dengannya.
Warung ini sudah ramai sejak buka pukul empat sore. Antreannya nggak kira-kira. Kalau bawa teman, mending karena bisa ngobrol menghabiskan waktu.
Berawal dari usaha pangkalan minyak
Pak Jeje lantas bercerita tentang perjalanannya membuka usaha Sate Klathak Pak Jeje Jejeran. Nama Jeje dan Jejeran punya cerita tersendiri.
“Merintis itu tahun 2009. Awalnya itu saya usaha pangkalan minyak tanah dari 1998. Sudah dapat kepercayaan dari Pertamina, seminggu dua tangki,” kata Pak Jeje.
Namun, di tahun 2008 itu, pemerintah mengambil kebijakan untuk menggantikan minyak tanah dengan bahan bakar gas.
“Saya tidak meneruskan untuk jualan gas karena saat itu tempat tidak ada, yang kedua ingin usaha di rumah saja,” katanya.
Ia lantas berpikir untuk jualan sate klathak. Kalau mau usaha bakmi tidak mungkin karena sudah ada adiknya yang meneruskan usaha orang tua.
“Orang tua saya penjual bakmi, Mas. Terkenal dengan nama Bakmi Jombor, sekarang adik saya yang meneruskan,” kata Pak Jeje tertawa.
Sejarah warung sate pakai merek “Pak Jeje”
Dari penjual angkringan langganannya di Jombor, ia kemudian diperkenalkan dengan keponakan Pak Pong bernama Jumari untuk menjadi juru masak di warung yang ia rencanakan.
Karena sedang kosong nggak ada pekerjaan, Jumari lantas mengiyakan. Kemampuan masak Jumari dapat acungan jempol dari Pak Jeje. Dari pertama buka, pelanggan sudah banyak. “Masakan tongsengnya Pak Jumari memang enak,” kata Pak Jeje.
Dari sinilah nama “Jeje” lahir. Nama itu berasal dari gabungan dua nama Joko dan Jumari. “Usaha kan harus ada mereknya, jadi saya buat Sate Klathak Pak Jeje, biar orang pada tahu,” ujarnya.
Namun, 8 bulan kemudian karena satu dan lain hal, Pak Jumari undur diri. Ia pulang ke Jejeran dan tidak lagi jadi juru masak Sate Klathak Pak Jeje yang saat itu mulai punya nama.
“Setelah itu, nama Jeje bukan lagi Joko Jumari, tapi Joko Jombor,” kata Pak Jeje eh Pak Joko tertawa. Sejak itu juga, Pak Joko lebih dikenal sebagai Pak Jeje daripada nama aslinya, Joko Wiyono.
Baca halaman selanjuntya
Pak Jumari pergi, Sate Pak Jeje sepi, kemudian melenting lagi