Pak Jumari pergi, Sate Pak Jeje sepi, kemudian melenting lagi
Saat Pak Jumari ada, Pak Jeje belajar segala hal tentang masakan kambing. Mulai dari memilih kambing yang bagus, membuat bumbu sate klathak, bumbu gulai, tongseng semua ia pelajari.
Namun, Pak Jeje seperti merintis usaha baru. Tidak sedikit pelanggannya yang balik badan begitu tahu juru masaknya bukan Pak Jumari.
“Saat itu ada rombongan yang biasanya Pak Jumari layani, tapi karena saya yang masak, mereka nggak jadi masuk. Tantangan buat saya, saya harus belajar sabar, teteg atine,” katanya.
Akhirnya di tahun 2010, Sate Pak Jeje mulai kembali ramai. Banyak pelanggan-pelanggan baru yang cocok dengan masakan Pak Jeje. Jumlah kambing yang ia masak sudah menyamai Pak Jumari yang rata-rata menghabiskan sekitar 2-3 ekor kambing.
Warung Sate Klathak Pak Jeje paceklik lagi karena Flyover Jombor
Namun, satu peristiwa membuatnya harus paceklik lagi. Banyak pelanggan yang tak mau ribet datang ke warungnya yang berada di utara perempatan jombor. “Tahun 2010 mulai ada pembangunan flyover Jombor, sebagian jalan ditutup. Itu masa perjuangan bagi kami sekitar 2-3 tahun,” kata Pak Jeje.
Pembangunan Flyover Jombor baru benar-benar selesai total di tahun 2014. Selama masa itu, Pak Jeje harus mencari cara untuk bisa tetap survive. Untungnya pelanggan-pelanggan loyal masih datang. “Bisa bertahan ya karena ikhlas, dan istri pintar untuk mengatur keuangan,” kata Pak Jeje.
Setelah melewati masa-masa sulit tersebut, Warung Sate Klathak Pak Jeje makin melenting. Usahanya makin ramai, puncaknya sebelum pandemi ia bisa menghabiskan kambing hingga 12 ekor dalam semalam.
Sate Klathak Pak Jeje kembali mengalami masa sulit ketika pandemi Covid-19. “Dari semalam 12 ekor, jadi paling banyak setengah ekor. Bayangkan, Mas,” kata Pak Jeje.
Ketika mulai boleh jualan lagi, jam buka ada pembatasan. Ia yang buka usaha jam empat sore, jam delapan Satpol PP sudah minta tutup, padahal sudah mulai ramai,” kata Pak Jeje. Karyawan yang lumayan banyak saat itu akhirnya ia buat masuk kerjanya bergilir agar usaha tetap jalan dan karyawan tetap kerja
Saat ini masa-masa sulit itu sudah terlewati, meski dari sisi jumlah kambing yang ia masak belum seperti masa sebelum pandemi. “Rata-rata 7 ekor per malam,” katanya.
Warung Sate Pak Jeje baru buka pukul 16.00 hingga pukul 01.00 atau saat sudah habis. “Dulu itu pernah buka pagi hari, tapi ramainya tetap malam hari. Ya sudah, jodohnya memang jualan malam hari,” kata Pak Jeje.
Sheila on 7 dan artis jadi pelanggan Sate Klathak Pak Jeje
Salah satu ciri khas dari Sate Klathak Pak Jeje adalah dagingnya yang empuk dan potongannya yang besar-besar. Soal kualitas daging, Pak Jeje menjamin. Ia hanya menggunakan kambing muda yang berusia sekitar 5-6 bulan atau belum poel.
Salah satu pelanggan artis yang ia kenal sering ke warung satenya adalah Sheila on 7. Selain itu juga artis-artis nasional kerap mampir di warungnya, meski ia tidak begitu tahu nama mereka.
“Kalau terakhir kemarin itu, pelatih Rahmad Darmawan, saya kenal karena suka bola,” kata Pak Jeje tertawa.
Menurut Pak Jeje, ia punya kebiasaan ada di warung dan menyapa pelanggan. Baginya itu adalah cara untuk memperbanyak saudara, silaturahmi. Kalaupun ada kritik, bisa ia terima langsung.
Sebenarnya dengan banyaknya karyawan, ia bisa saja leha-leha di rumah. Namun, ia tidak mau. “Saya harus komunikasi dengan pelanggan saya, kurang apa,” katanya.
Soal pelanggan loyal, baru-baru ini Pak Jeje merasakan sendiri. Ada keluarga yang jauh-jauh datang ke Jogja hanya untuk makan di tempatnya.
“Ada pelanggan dari Semarang, telepon kalau mau datang dari Semarang bersama keluarganya. Selesai makan, mereka pamit langsung balik lagi ke Semarang,” kata Pak Jeje.
Bumbu rahasia dan karyawan yang keluar
Pak Jeje tidak pelit ilmu kepada setiap karyawannya. Ia akan membagikan ilmunya dengan cara membimbing karyawannya sampai bisa, mulai masak di dapur hingga melayani pelanggan. Harapannya, kalaupun mau keluar, bisa buka usaha sendiri, atau buka cabang dari Sate Pak Jeje.
“Tapi yang bikin kecewa itu sudah saya ajari benar-benar, tapi setelah keluar ikut orang. Saya seneng kalau mereka itu jadi mandiri,” katanya. Sampai saat ini Warung Sate Klathak Pak Jeje belum punya cabang. Cabang Jejeran di spanduk lebih merujuk pada gagrak sate yang Pak Jeje masak dari kampung Jejeran di Bantul.
“Kalau ada nama warung yang mirip-mirip, itu bukan cabang saya. Ya nggak papa orang pakai yang mirip-mirip, rezekinya orang masing-masing,” katanya.
Soal rezeki ini juga, Pak Jeje bersyukur karena keinginan buka usaha atau kerja dari rumah sudah ia capai. Ia juga rutin mengirimkan jeroan ke beberapa pondok pesantren sebagai menu santri. Selain itu setiap hari Jumat ia menyediakan sekitar 100-150 porsi gulai jeroan untuk jemaah yang salat Jumat di masjid dekat rumahnya.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Warung Sate Kang Jilan, Kuliner Mewah Imogiri yang Dulunya Tak Semua Orang Bisa Membeli
Ikuti berita terbaru dari Mojok di Google News