Sudah 50 tahun Roso (77) menjual some Jawa atau some ndeso menggunakan sepeda tuanya. Selama itu juga, banyak hal ia alami. Termasuk menyaksikan Jogja yang belum “disentuh” pembangunan, sampai merasakan mencekamnya masa-masa penembakan misterius Orde Baru.
***
Pertemuan saya dengan Pak Roso serba kebetulan. Pada Senin (9/9/2024) sore saat tengah menunggu teman saya mencukur rambut di sebuah Barbershop dekat Pasar Jangkang, Ngemplak, Sleman, lelaki tua ini melintas.
Ia mengayuh sepeda tuanya dari arah barat. Dengan sepedanya itu, Pak Roso membawa dua bak aluminium untuk membawa barang dagangannya.
Meski tak ada banner atau tulisan di sepedanya, saya sudah bisa menebak apa yang ia jual hanya dari kenong yang ia pukul. “Pak, es dung-dung satu, ya,” teriaknya saya, memanggilnya.
Dengan ramah Pak Roso menghampiri saya. Saya kemudian juga membuka bak aluminium yang satunya lagi. “Pak ciloknya sekalian, ya,” pinta saya, melihat cilok yang tinggal tersisa sedikit.
“Some itu, Mas. Bukan cilok. Kalau cilok yang Sunda-Sunda itu,” ujarnya, menyaut.
Pak Roso kemudian menjelaskan, ada perbedaan antara cilok dengan yang ia sebut dengan some Jawa atau some ndeso itu. Secara bahan, memang nyaris tak ada perbedaan. Namun, menurutnya, bentuknya lah yang membedakan.
“Cilok itu bulat banget, Mas. Sempurna bulatnya. Kalau some ndeso itu secara bahan dan pembuatan sama kayak siomay ikan, cuma nggak ada ikannya, Mas. Sama ukurannya lebih kecil,” jelasnya.
Mengaku penjual some Jawa pertama di Jogja, yang lain hanya ikut-ikutan
Saya akhirnya membeli es dung-dung Rp5 ribu dan some Jawa Rp5 ribu yang mendapatkan 12 glindingan. Sambil menyantap jajanan, saya seksama menyimak cerita Pak Roso yang mengaku sebagai penjual some ndeso pertama di Jogja.
Awalnya, saya meragukan klaim itu. Namun, mendengarkan penjelasannya, semua tampak masuk akal. Bagaimana tidak, lelaki yang tinggal di Ngemplak ini mulai berjualan pada 1974. Artinya, sudah 50 tahun ia menjajakan some ndeso.
“Dari jalanan sini isinya masih batu sama tanah, dari sejak Jakal isinya masih pepohonan di kanan-kiri, saya sudah keliling jualan pakai sepeda, Mas,” ungkapnya.
Sebelum menjajakan some ndeso keliling, Pak Roso awalnya berjualan beras dari pasar ke pasar. Namun, karena penjual beras makin banyak dan persaingan semakin ketat, ia memilih bisnis yang saat itu belum banyak dilirik.
“Dulu itu di pasar-pasar udah ada yang jualan siomay, Mas. Iya yang dari ikan asli. Kebanyakan orang keturunan Cina,” jelasnya.
“Tapi karena mahal, yang beli kalangan kaya saja. Makanya saya mikir, kenapa saya nggak bikin yang versi murah. Makanya kepikiran buat bikin some ndeso ini. Nggak perlu pakai ikan.”
Saat awal berdagang, Pak Roso ngetem di pasar-pasar. Tiap hari, pasar yang berbeda ia kunjungi. Namun, sejak 1980-an karena mulai banyak yang ikut-ikutan jualan some ndeso, Pak Roso mulai menjajakan jualannya keliling kampung-kampung memakai sepeda.
Jadi saksi keganasan Petrus zaman Orde Baru
Berjualan some jawa alias some ndeso sejak 1974, artinya Pak Roso sudah melewati berbagai rezim pemerintahan. Mulai dari era Suharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, hingga sekarang Jokowi. Di Jogja pun, ia sudah menjajakan some-nya dari kampung ke kampung saat Sri Sultan HB IX masih memimpin Jogja.
Bahkan, Pak Roso adalah satu dari sekian banyak orang yang merasakan langsung kengerian rezim Orde Baru. Terutama saat penembakan misterius alias Petrus mulai menghantui Jogja pada masa 1980-an.
“Lha itu waktu ada Petrus, semua orang takut, Mas. Nggak cuma gali-gali di Jogja aja. Penjual kayak saya ini juga sering takut kalau pulangnya sudah gelap,” jelasnya.
Pak Roso memang mendengar rumor kalau Petrus hanya mengincar para kriminal. Seperti preman, residivis, rampok, dan gali. Namun, melihat nyaris tiap hari ada berita mayat ditemukan di tengah sawah, ia tak memungkiri rasa takutnya.
Apalagi, makin hari korban makin acak. Dari yang awalnya para kriminal, lama-lama ia mendengar yang kerap jadi korban adalah mereka yang aslinya salah sasaran.
“Ngeri, Mas. Pokoknya kalau udah dengar suara adzan Maghrib sama kentongan, itu sudah harus di rumah. Saya punya anak istri, amit-amit nggak mau jadi korban Petrus.”
Tetap berjualan di masa senja demi tetap bugar
Hasil dari berjualan some Jawa nyatanya cukup buat menghidupi keluarganya. Bahkan, kalau mau, Pak Roso kini bisa bersantai karena sudah ada anak-anak yang mau mengurusnya.
Namun, bagi dia, sebagaimana hidup: “semua butuh obah” alias kudu tetap gerak. Pak Roso tetap berjualan some ndeso berkeliling kampung-kampung semata-mata agar terlihat mandiri.
“Buat nyangoni cucu, Mas. Rasanya bangga kalau bisa ngasih jajan cucu pakai hasil keringat sendiri,” kata dia.
Yang membuat saya semakin respect, Pak Roso masih setia mengayuh sepeda tuanya. Sepeda ini juga belum pernah ia ganti sejak awal berjualan. Artinya, sepeda ini adalah teman setianya selama 50 tahun terakhir ini.
Tiap hari, sepasang kakinya yang sudah renta itu harus mengayuh sepeda menanjak. Pag-pagi dari Jangkang, kemudian mengarungi Jalan Kaliurang yang menanjak ke arah Pasar Pakem menemui kawan-kawannya. Naik lagi menuju kampung-kampung di daerah Turi, kemudian turun pada sore hari.
“Justru ngayuh sepeda bikin sehat, Mas. Saya sudah 77 tahun usianya, gara-gara sepedaan terus alhamdulillah masih bugar,” tawanya, menutup obrolan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News