Sate Pak Dakir di Jogja punya cerita di baliknya. Sejak buka di tahun 1966, warung sate ini setiap hari hanya menghabiskan satu ekor kambing. Salah satu berkahnya membawa satu anak menjadi guru besar
***
Datang ke Warung Sate Pak Dakir di Jalan HOS Cokroaminoto No 75 Pakuncen Yogyakarta, siap-siap saja disambut dengan sapaan akrab dari Bu Shofiyah (59). Dia adalah anak keempat Pak Dakir yang bertugas di balik meja. Menawarkan menu, menata hidangan, menerima pembayaran dan yang paling utama menyapa pengunjung.
Bu Shofiyah mengingatkan pada sosok ibu saya saat menawari makan. Segala menu ia tawarkan. Bu Shofiyah grapyak untuk menawari pengunjungnya dengan rupa-rupa menu yang menggoda.
“Ini kepala, mau lidahnya, atau mau balungan, opo sego pliket,” tanyanya ketika saya melongok beberapa baskom yang ada di meja. Kalimat sapaan-nya yang akrab, seolah-olah ia sedang ngobrol dengan anaknya sendiri.
Nama Butet Kartaredjasa dan Bondan Winarno di menu legendaris Sate Pak Dakir
Saya memesan gulai lidah dan sate klatak di kuliner legendaris ini. Ibu Shofiyah masih sempat-sempatnya bercanda dengan memastikan saya memang memesan kepala kambing yang tinggal tulangnya.
Di daftar menu, saya penasaran dengan gule goreng. Saya kemudian bertanya, seperti apa masakannya. Bu Shofiyah kemudian menunjukkan sepiring jeroan berwarna coklat. Saya memesan menu tersebut.
“Tanpa nasi ya, Bu,” kata saya.
“Nggak nyoba nasi goreng pliket?” tanyanya.
“Sudah pernah,” jawab saya.
Saya lantas bertanya, mengapa nasi goreng pliket punya nama lain nasi goreng butet. Jangan-jangan yang ngasih nama budayawan Butet Kartaredjasa.
“Butet itu sama Jaduk sudah langganan sejak mereka SMP. Langganannya yang nasi goreng yang dicampur sama sumsum,” kata Shofiyah. Karena menu itu sudah melekat dengan budayawan tersebut, maka orang menyebutnya dengan nasi goreng butet.
Masih menu yang sama, ternyata nasi goreng pliket yang memberi nama adalah Bondan Winarno, presenter kuliner yang terkenal dengan Mak Nyus..nya. Aslinya nasi goreng butet atau nasi goreng pliket ini adalah nasi goreng kambing yang menyertakan sumsum kambing. Jadi selain cita rasa gurih karena sumsumnya juga nasi gorengnya lengket.
Jadi langganan orang-orang Tionghoa
Suasana warung saat saya datang sebenarnya dalam kondisi ramai. Baru beberapa hari setelah perayaan imlek. Di warung, juga tampak satu keluarga besar Tionghoa tengah makan di tempat itu.
“Ini tumben pas imlek mereka makan di sini. Mereka memang langganan, sejak bapaknya malah mereka hobi makan di sini,” kata Shofiyah, Minggu (11/2/2024).
Saya lantas berkenalan dengan salah satunya. Dia Namanya Cik Eli, usianya sekitar 50-an. Sejak kecil ia sudah makan di tempat Pak Dakir. Itu karena orang tuanya yang mengajak. “Eh keterusan sampai sekarang. Suami saya anak saya juga suka makan di sini. Kesukaannya beda-beda. Saya suka nasi pliket, suami sate, anak-anak saya ada yang suka tongseng, tengkleng,” kata Cik Eli.
Shofiyah lantas bercerita bagaimana Sate Pak Dakir berdiri. Tahun itu 1966, Pak Dakir yang seorang veteran mulai berjualan sate. “Usia saya masih 11 tahun, tapi sudah ikut jualan. Buat sate, nongseng, saya bisa,” kata Shofiyah bangga.
Dukung adik sekolah hingga jadi guru besar di ITS
Karena sejak kecil sudah membantu orang tuanya di dapur, Shofiyah jadi yang paling terampil untuk urusan dapur di Warung Sate Pak Dakir. Apalagi ia dan saudara-saudaranya agak jauh jarak kelahirannya. Dari tiga belas bersaudara, hanya ada dua anak perempuan. Dirinya dan adiknya nomor 12, Dewi Hidayati.
Shofiyah bercerita, karena sibuk membantu usaha orang tuanya, sekolahnya nggak begitu tinggi. Hanya sampai madrasah aliyah. Selain karena sibuk, orang tuanya masih berpikiran bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi.
Maka ia sangat mendukung ketika adiknya Amien Widodo dan Dewi Hidayati rajin belajar. Ia selalu paling depan membela kedua adiknya, terutama adiknya nomor 12, Dewi Hidayati agar rajin belajar.
Dua adiknya tersebut pada akhirnya bukan hanya lulus sarjana, tapi juga jadi dosen di perguruan tinggi yang sama, Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS).
“Adik saya, Dewi itu sekarang jadi profesor bidang Biologi di ITS. Sedang adik saya yang lain, Amien Widodo juga doktor ahli Geologi di ITS,” katanya bangga.
Baca halaman selanjutnya
Berkah dari Sate Pak Dakir, selain jadi dosen di ITS semua anak punya rumah dari jualan sate