Berkah dari Sate Pak Dakir, selain jadi dosen di ITS semua anak punya rumah dari jualan sate
Shofiyah juga mengatakan, menghidupi anak sejumlah 13 orang bukan perkara mudah bagi Pak Dakir dan istrinya. Hanya bermodalkan seekor kambing setiap harinya untuk jualan, Pak Dakir terbilang sukses memberi penghidupan yang layak untuk anak-anaknya.
“Itu namanya berkah, Mas. Kami itu terus bersyukur, semua anak-anaknya Pak Dakir punya rumah, semua berkat sate,” kata Shofiyah.
Shofiyah mengatakan, ia dan saudara-saudaranya bangga dengan dua adik-adiknya yang jadi dosen di ITS. Ia dan saudara-saudara lainnya tahu bagaimana kerja keras dua adik mereka untuk bisa menempuh pendidikan tinggi. Penuh perjuangan.
Dulu, Pak Dakir minta Dewi ikut bantu di warung karena toh perempuan nanti menikah dan mengurus suami, tapi Shofiyah membela agar adiknya fokus belajar saja. Nyatanya upaya Shofiyah berhasil. Dewi tekun belajar hingga jadi Guru Besar di ITS.
Bulan September 2023 kemarin, Dewi Hidayati resmi sebagai Guru Besar ITS setelah membawakan orasi ilmiah berjudul, Peran Penting Pemahaman Biologi Ikan dalam Pengelolaan Sumber Daya Ikan yang Berkelanjutan.
Begitu juga dengan adik laki-lakinya yang menurutnya sangat cerdas. “Dia itu daftar di UI, ITB, UGM, semua diterima, akhirnya adik saya milih UGM,” kata Shofiyah. Sebenarnya, adik laki-lakinya juga sudah keterima di UPN Veteran Yogyakarta. Gara-garanya, ayahnya bekas veteran sehingga dapat diskon khusus. Namun, akhirnya adiknya pilih di UGM.
“Dua adik-adik saya dapat beasiswa, ini namanya berkah dari Sate Pak Dakir,” kata Shofiyah. Amien Widodo juga dikenal sebagai ahli kegempaan dan peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) ITS. Namanya sering wira-wiri di media ketika terjadi bencana gempa sebagai narasumber.
Sate Pak Dakir, dikelola bersama anggota keluarga
Shofiyah mengatakan, saat ini Sate Pak Dakir dikelola bersama oleh anak-anak Pak Dakir. Hanya saja yang modali itu adalah kakak laki-lakinya yang jadi dosen Geologi di ITS. “Jadi di sini nggak ada bos, saya juga hanya bantu-bantu saja. Yang jadi manajer tugas belanja itu anak ke-13, juga ada tiga cucu Pak Dakir yang terlibat,” kata Shofiyah.
Shofiyah juga menceritakan mengapa Sate Pak Dakir hanya buka dari pukul 16.00 hingga 19.00. Menurutnya kalau buka dari siang atau pagi nggak efektif. Ramainya tetap saja sore sampai malam hari.
Selain itu, dengan bukan hanya sore hari, ia dan saudara-saudaranya bisa menggunakan waktu pagi hingga siang untuk silaturahmi atau mengerjakan hal yang lain.
Ia juga tidak berniat buka cabang atau menambah jumlah kambing untuk dijual. “Dulu itu pernah buka cabang, tapi nggak berhasil. Jadi kami pikir rezekinya kami ya di sini sama dengan satu kambing sudah cukup,” kata Shofiyah.
Ia menyanggah ketika saya sebut satu kambing terlalu sedikit. Menurutnya satu kambing itu banyak organnya seperti kepala, baling daging, dan jeroan. Masing-masing bisa dimasak. “Lidah yang kamu makan itu bisa jadi tiga porsi, belum nanti jeroannya, sudah cukup,” kata Shofiyah.
Nggak lulus madrasah, bersyukur anak sekolah di Al Azhar, Mesir
Di sela wawancara saya memastikan nama yang benar apakah Shofiyah atau Shopiyah. Lalu ada suara yang menyahut di samping saya. “Sophia Loren, Mas,” kata laki-laki tua di samping saya tanpa ekspresi.
Rupanya dia Pak Yusron, suami Shofiyah. Suami istri ini bukan hanya grapyak, tapi seneng guyon.
“Itu anaknya Shofiyah juga lulusan Al Azhar, Mesir loh, Mas,” ujar Pak Yusron.
“Loh, berarti anak bapak juga, kan?” tanya saya pelan. Pikir saja, Pak Yusron ini jadi ayah sambung dari anak Bu Shofiyah.
“Aku kan cuma sponsor saja, yang melahirkan kan tetap Bu Shofiyah,” katanya tertawa.
Shofiyah juga bersyukur, meski pendidikannya berhenti di kelas 1 Madrasah Aliyah Negeri, tapi anak-anaknya bisa mencicipi pendidikan tinggi. Sekali lagi ia menegaskan bahwa itu tak lain juga berkas dari Sate Pak Dakir.
Satu anaknya yang Pak Yusron ceritakan kuliah di Mesir itu bahkan merupakan salah satu pendiri Pengurus Cabang Istimewa Muhammadiyah di Mesir pada tahun 2002. Kini anaknya yang sudah menyandang gelar doktor tersebut jadi salah satu pimpinan Muhammadiyah di bidang tarjih. Rupa-rupanya suami istri merupakan aktivis Muhammadiyah tulen. “Saya itu sudah ada mungkin 4 kali jadi ketua ranting Aisyiyah,” kata Shofiyah.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Sate Klathak Pak Jeje: Enak, tapi Nggak Cocok Buat yang Kelaparan Ingin Segera Makan
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News