Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Surabaya dikenal juga dengan kekayaan kuliner nan beragam. Paling tidak, demikianlah narasi yang berkembang di luar dan banyak orang amini tentang Surabaya.
Hal tersebut tidak lepas dari banyaknya jenis makanan khas Surabaya yang otentik dan seolah tak ada padanannya di daerah-daerah lain.
Sebut saja di antaranya, tahu tek, rujak cingur, lontong balap, rawon, sate kelopo, bahkan Bebek Purnama pun turut masuk dalam jajaran makanan khas Surabaya.
Belum lagi makanan ringan seperti lapis kukus, kue Spikoe, hingga minuman botol sinom yang sering kali dijadikan sebagai oleh-oleh orang luar tiap berkunjung ke Surabaya.
Namun, di antara makanan-makanan khas Surabaya tersebut, ada yang tidak sepatutnya menjadi makanan khas untuk Kota Pahlawan. Seperti penuturan subjektif dari Roy (25), bukan nama sebenarnya, yang merupakan warga asli ibu kota Jawa Timur tersebut.
“Aku yang asli Surabaya aja aneh dan nggak doyan dengan dua makanan ini,” tutur Roy saat saya hubungi, Kamis (7/3/2024) siang.
Rujak cingur: bikin mual
Bagi Roy, dari mendengar namanya saja ia sudah bergidik. Apalagi mencicipinya.
Bahan utama sekaligus ciri utama dari rujak cingur sendiri adalah adanya cingur (irisan moncong sapi) rebus. Cingur inilah yang nanti akan menjadi campuran pada rujaknya.
“Seandainya tanpa cingur, mungkin akan jadi rujak biasa. Irisan buah dan sayur dengan baluran bumbu kacang saja,” ungkap Roy.
“Tapi mending jadi rujak biasa, sih, daripada ada cingurnya. Bagiku aneh,” sambungnya.
Sejauh yang ia ingat, ia terakhir kali mencicipi rujak cingur waktu SMP, mengikuti ajakan bapaknya.
Saat mencicipi bagian cingur, rasa kenyal yang aneh dari cingur itu membuat Roy mual. Rujak cingur yang terhidang di depannya pun tak ia habiskan.
Sejak saat itu, sampai sekarang ia mengaku sama sekali tak lagi coba-coba rujak cingur. Meski ia tak menampik bahwa banyak pula orang Surabaya yang sangat doyan dengan salah satu makanan khas Surabaya tersebut.
Kalau ia sendiri saja yang orang asli Surabaya tak doyan rujak cingur, maka ia berasumsi bahwa kemungkinan orang luar daerah juga akan menangkap kesan “aneh” pada sajian makanan khas Surabaya yang satu ini.
Ia mengambil contoh dari saya sendiri. Saya pernah mencicipi rujak cingur saat main di rumahnya di semester awal kuliah.
Roy memang sengaja mengetes, apakah rujak cingur bisa masuk di perut orang luar daerah.
“Dan ternyata koen (kamu) juga mual,” ledek Roy karena memang begitulah yang terjadi pada saya saat pertama kali mencicipinya.
Oleh karena itu, bagi Roy, rujak cingur tak seharusnya masuk jajaran makanan khas Surabaya.
Di Surabaya sendiri ada banyak warung rujak cingur. Bahkan ada yang cukup legendaris dengan harga yang cukup mahal, yakni Rp45 ribu.
Bagi Roy, agak kurang worth it menebus “makanan aneh” itu dengan harga semahal itu.
Tahu tek: petisnya bikin enek
Sebagai informasi, di Surabaya sendiri ada berbagai jenis varian makanan dengan tema tahu. Ada tahu campur, lontong balap, lontong kupang, hingga tahu tek.
Namun, bagi Roy, tahu tek adalah jenis varian makanan serba tahu yang tak layak masuk dalam daftar makanan khas Surabaya.
Tahu tek sendiri terdiri dari lontong, irisan tahu, telor dadar, taburan kecambah, yang kemudian dibaluri dengan bumbu petis yang cukup kental. Ini bagian yang tidak Roy suka.
“Memang masih mending dari rujak cingur. Kalau tahu tek aku masih bisa makan. Tapi blengeri (boseni), nggak bikin nagih. Petisnya kadang enek juga,” katanya.
Dalam benaknya, makanan khas seharusnya memiliki nilai “bikin nagih”. Dengan begitu, tentu akan berkesan di lidah para pendatang. Tapi hal itu tidak ia temukan di tahu tek.
Yang membuat tahu tek blengeri kalau kata Roy adalah karena cita rasa petisnya yang pekat dan nyethak di tenggorokan.
“Meski begitu, tahu tek masih patut dinikmati. Karena harganya masih pinggiran. Di warung biasa Rp12 ribu sudah dapat. Kalau warung legend mungkin ya Rp18 ribu-Rp20 ribuan lah,” bebernya.
Baca halaman selanjutnya…
Bebek Purnama bukan makanan khas Surabaya