Dalam bayangan banyak orang, menjadi sarjana UGM tentu akan membuat seseorang bakal menjadi orang besar atau orang penting. Setidak-tidaknya mendapatkan pekerjaan yang mentereng.
Namun, bayangan-bayangan tersebut tak pernah terlintas di benak keluarga Mbah Sugiprawiro (81). Melihat cucunya bisa lulus sebagai sarjana UGM saja bagi keluarganya sudah cukup. Kalau toh nanti tak jadi apa-apa juga tak masalah.
***
Sambutan hangat Mbah Sugi (panggilan akrabnya) berikan saat saya mohon izin untuk ikut duduk lesehan dengannya, di salah satu sudut tak jauh dari Gedung Grha Sabha Pramana (GSP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu, (21/2/2024).
Hari ini tengah berlangsung prosesi Wisuda Program Sarjana dan Sarjana Terapan Periode II Tahun Akademik 2023/2024 di UGM. Tentu banyak rombongan keluarga yang memenuhi area Gedung GSP. Termasuk keluarga Mbah Sugi.
Sesaat ketika saya baru sampai di lokasi, Mbah Sugi memang sudah mencuri perhatian saya. Kalau lihat mbah-mbah, rasanya memang ingin mengajaknya ngobrol. Karena biasanya, mbah-mbah akan memperlakukan anak muda selayaknya cucunya sendiri. Dan itu adalah bagian menyenangkan yang saya cari.
Benar saja, dengan sangat antusias Mbah Sugi mempersilakan saya duduk di tengah-tengah dia dan istrinya. Istri Mbah Sugi bahkan sampai mengeluarkan kembali termos berisi teh panas yang sudah ia masukkan sejak lalu.
“Mpun niki unjuk riyen. Wong kalih mbah piyambak kok (Sudah ini minum dulu. Sama mbah sendiri kok),” pinta istri Mbah Sugi sembari menyodorkan gelas plastik berisi teh panas.
Tak berhenti di situ, aneka bontotan yang mereka bawa dari rumah ia keluarkan kembali. Ada agar-agar, salak madu, roti, dan tapai goreng (atau kalau istilah di tempat saya di Rembang: rondo royal).
“Wah remen kula lak niki (Wah saya suka kalau yang ini),” jawab saya sembari mengambil sebiji tapai goreng. Istri Mbah Sugi lantas tersenyum melihat saya mengganyang tapai goreng itu dengan antusias.
Sarjana UGM dari keluarga petani di Tempel
“Saya masih kuat, Mas, di sawah. Macul masih kuat,” ucap Mbah Sugi memperkenalkan bahwa keluarganya adalah kalangan petani dari Kecamatan Tempel, Sleman.
Mbah Sugi dan keluarga tiba di UGM sekitar pukul 07.00 WIB. Ia sekeluarga mengantarkan cucu pertamanya yang hari ini wisuda, resmi menjadi sarjana UGM.
“S1 akuntansi, Mas, cucu saya itu,” ungkap Mbah Sugi.
Bagi keluarga petani seperti Mbah Sugi, tentu menjadi kebanggaan tersendiri ketika ada dari keluarganya yang bisa sekolah tinggi. Apalagi kalau kuliahnya di kampus sekelas UGM.
Awalnya Mbah Sugi tak paham apa itu UGM. Sampai akhirnya anaknya (ayah dari si cucunya yang sarjana UGM itu) menjelaskan bahwa UGM bukanlah kampus sembarangan.
“Aku dengar cucu bisa kuliah saja sudah bangga. Karena di desa saya jarang yang bisa jadi sarjana,” ungkap Mbah Sugi.
Jadi sarjana UGM berkat beasiswa Bidikmisi
Awalnya pula, Mbah Sugi sempat bertanya-tanya kepada sang anak, kira-kira apakah mampu menguliahkan di UGM. Karena dalam benak Mbah Sugi, UGM adalah kampus besar, maka biaya kuliahnya pun juga besar.
Akan tetapi, cucu Mbah Sugi ternyata lolos dalam pengajuan beasiswa Bidikmisi. Alhasil, malah tak ada keberatan sama sekali bagi Mbah Sugi dan keluarga.
“Sama sekali nggak mengeluarkan biaya. Cucu saya memang pinter itu, Mas. Jadi alhamdulillah bisa kuliah sampai lulus,” tutur Mbah Sugi.
Cucu Mbah Sugi sebenarnya sempat keterima di Universitas Islam Indonesia (UII) dengan jurusan yang sama. Tapi ia tak tembus seleksi penerimaan beasiswa.
Alhasil, ketika mendapat informasi lolos beasiswa Bidikmisi di UGM, ia pun tanpa ragu memilih UGM.
“Kalau lanjut UII, nggak tahu itu bapaknya sanggup apa nggak. Soalnya bayar semua,” ucap Mbah Sugi. Mengingat, latar belakang keluarga Mbah Sugi memang petani semua. Ayah dan ibu dari cucu Mbah Sugi pun dua-duanya juga petani.
Sehingga, dalam bayangan Mbah Sugi, penghasilan dari bertani tentu tak akan kuat untuk membiayai kuliah anak secara penuh.
Baca halaman selanjutnya…
Tetap bangga meski kelak tak jadi apa-apa