Kuliah hingga 14 semester membuat mahasiswa Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya berada dalam bayang-bayang drop out (DO). Demi membahagiakan sang ibu, ia harus berjuang mati-matian untuk bisa lulus kuliah. Sayangnya, saat sudah berhasil meraihnya, sang ibu meninggal dunia hanya sebulan sebelum dia wisuda.
***
Penyesalan memang selalu datang belakangan, termasuk dalam urusan perkuliahan. Seandainya saja Mahmud* (25) lebih serius, mungkin kuliahnya tak akan molor hingga tujuh tahun atau 14 semester.
Dengan begitu, ia bisa lulus lebih cepat. Sang ibu yang menjadi satu-satunya sumber kebahagiaannya pun bisa menyaksikan dengan bangga anaknya lulus kuliah, memakai toga, dan menyandang gelar sarjana.
“Tapi itu semua hancur gara-gara kebodohanku sendiri,” sesal Mahmud, saat Mojok hubungi pada Minggu (31/3/2024).
Mahmud sendiri merupakan mahasiswa UNAIR angkatan 2016. Ia lulus di tahun terakhir kuliah sebelum DO, yakni pada pertengahan 2023 lalu. Prosesi wisudanya pun rencananya akan berlangsung pada Desember 2023. Sayangnya, ia menolak mengikuti acara seremonial tersebut karena merasa tak ada lagi yang bisa dirayakan.
“Aku memutuskan buat enggak datang wisuda saja. Hambar rasanya perayaan kelulusan enggak ada ibu,” kisah Mahmud. “Semua itu udah enggak berarti lagi,” sambungnya.
Menyesal karena kuliah tak serius hingga telat lulus dari UNAIR
Mahmud mengaku sangat menyesal tak terlalu menganggap serius kuliah di UNAIR. Padahal, kalau boleh kita bilang, jalan masuknya ke salah satu PTN terbaik di Surabaya ini cukup lancar.
Mahasiswa asal Jawa Barat ini masuk UNAIR melalui SNMPTN 2016 (sekarang SNBP), alias jalur tanpa tes. Berbekal nilai rapot yang sebenarnya pas-pasan, peringkat 10 di kelas saat SMA, dan beberapa sertifikat keikutsertaan Olimpiade Siswa Nasional (OSN), Mahmud diterima di salah satu prodi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Sayangnya, kemudahan itu bikin dia terlena. Apalagi, kehidupan perkuliahan yang serba bebas dan pertama kali jauh dari rumah, membuat kehidupannya lebih banyak terisi dengan ngopi, mabar, dan nongkrong, alih-alih belajar.
“Padahal di prodiku ini terkenal asal isi presensi pasti dapat nilai B. Aman lah itu itungannya, jadi enggak perlu pinter-pinter banget, cukup rajin,” jelasnya. “Tapi aku seringnya bolos kuliah gara-gara terlena tongkrongan.”
Alhasil, Mahmud jadi sering mengulang mata kuliah di tahun berikutnya. Masalahnya, kebiasaan lama yang buruk tadi tak kunjung ia tinggalkan. Ujung-ujungnya ia harus kembali mengulang di tahun berikutnya dan begitupun seterusnya, hingga kuliahnya molor 14 semester.
Selalu bohong ke ibu kalau kuliah lancar
Orang tua Mahmud sudah bercerai sejak ia masih SMP. Meski hubungan dia dan kedua orang tuanya masih baik-baik saja, ia mengaku lebih dekat secara personal dengan ibunya.Â
“Karena aku tinggal di rumah ibuku dan sejak remaja beliau merawatku. Kalau ayah jarang ketemu karena di luar kota, meski soal biaya kuliah dia masih ikut menafkahi,” jelasnya.
Maka dari itu, Mahmud pun tak pernah sampai hati buat menceritakan kenyataan yang membuat ibunya sedih. Salah satunya soal kuliahnya yang molor. Mahmud selalu bercerita, alasan dia tak lulus-lulus karena alasan pandemi. Katanya, di UNAIR memang susah bagi mahasiswa buat lulus karena semua aktivitas dibatasi.
“Enggak mungkin aku cerita kalau kuliah molor gara-gara sering bolos. Bisa kecewa beliau,” ujarnya.
Namun, ia tak akan pernah menyangka, setelah pandemi kondisi kesehatan ibunya tak sama lagi. Ia jadi sering sakit-sakitan. Bahkan, kalau biasanya minum obat warung saja sudah sembuh, kini ibunya jadi sering bolak-balik rumah sakit.
“Ibuku dulu pernah Covid, tapi sembuh. Setelah Covid selesai, sejak awal 2023-an paman ngabarin kalau ibu memang sering masuk RS.”
Lulus saat ibunya sudah tak berdaya lagi
Sejak kondisi kesehatan ibunya memburuk, pikiran Mahmud terbagi. Antara cemas memikirkan kesehatan ibunya, dan bingung setengah mampus karena ia juga harus ngebut buat menyelesaikan studinya di UNAIR.
Kalau saja tahun tersebut Mahmud tak bisa lulus, sudah dipastikan dia bakal DO. Di jurusannya sendiri, beberapa kakak tingkat mengalaminya. Nasib mereka pun berujung jadi pengangguran, atau kalau beruntung keluarganya kaya bisa lanjut ke PTS.
Karena tak ada opsi selain lulus, Mahmud memfokuskan diri buat meraih kelulusannya. Ia jadi jarang pulang menengok ibunya. Hingga akhirnya, pada pertengahan 2023, pamannya mengabari kalau kondisi ibunya semakin memburuk.
“Itu nyaris barengan dengan Yudisium. Aku emang niatnya mau kasih kejutan ke ibu, makanya enggak ngabarin. Tapi baru bahagia sebentar, orang rumah ngasih kabar ibu lagi kritis.”
Mahmud pun memutuskan untuk pulang. Benar saja, ibunya sudah tak bisa diajak bicara. Memang, beberapa kali dokter memperbolehkan ibunya pulang, meski akhirnya harus balik lagi ke RS karena kondisinya kembali memburuk. Hingga akhirnya, sekitar November 2023, Tuhan mengambil ibunya.
“Aku belum sempat ngomong ke ibu, ‘Bu, anakmu dah jadi sarjana, nanti kalau ibu sehat, datang ke wisuda anakmu’. Tapi Tuhan memang sayang ibuku. Meski aku menyesal setengah mati,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News