Sejumlah mahasiswa KKN UGM melakukan tugas pengabdian masyarakat Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Mereka melakukan observasi terhadap tradisi pasipiatsot, meruncingkan gigi yang jadi lambang kecantikan perempuan setempat.
Kelompok KKN UGM bertolak dari Jogja ke Kepulauan Mentawai pada 23 Juli 2024 silam. Menggunakan bus ke Jakarta, sebelum terbang dengan pesawat ke Sumatera Barat. Sesampainya di sana mereka harus berganti moda transportasi darat dan laut sebelum akhirnya sampai di Pulau Siberut.
Kegiatan observasi terhadap budaya meruncingkan gigi sendiri dilakukan di Dusun Buttui selama tiga hari. Anggota Tim KKN UGM di bawah bimbingan bimbingan Dr. Ir. Bilal Ma’ruf, S.T., M.T yang melakukan observasi yakni Wahid Innayah Tullah, Indarwati, Aanisah Fauziyyah Nurul Hadi, Erlangga Mahendra Yudha, Muhammad Lutfi Zunnur, dan Gertrude Beata Utomo Putri.
Tradisi pasipiatsot atau meruncingkan gigi di mentawai sendiri sudah banyak ditinggalkan. Salah satu wilayah yang masih melestarikan ada di Dusun Buttui, Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat.
“Daerahnya ada di hulu dan cukup terpencil. Kendaraan sulit menjangkau jadi kami perlu berjalan kaki mendaki bukit sekitar satu jam,” ujar Aanisah Fauziyah, salah satu tim KKN UGM di Mentawai.
Aanisah bercerita bahwa timnya berada di Dusun Buttui selama tiga hari. Selama di sana, mereka banyak berinteraksi dengan warga. Perempuan yang studi di Jurusan Kedokteran Gigi ini mempelajari tradisi unik yang mulai ditinggalkan generasi muda di Mentawai.
Mahasiswa KKN UGM mendalami nilai kecantikan perempuan Mentawai
Salah satu narasumber yang ditemui Aanisah, Abai Ipai, yang merupakan istri dari Sikerei aman Ipai mengatakan bahwa pada zaman dahulu tradisi meruncingkan gigi Suku Mentawai dilakukan oleh wanita suku mentawai untuk menunjukkan kecantikan mereka.
Cara membuat gigi mereka menjadi runcing ialah menggunakan panokok (palu) dan papaek (pahat) serta Kajut Simakainaok (batang dari kayu simakainaok yang digunakan sebagai penahan bibir) tanpa dilakukan pembiusan. Gigi yang diruncingkan merupakan empat gigi depan baik rahang atas dan rahang bawah.
Selain faktor kecantikan, Aanisah juga menemukan fakta bahwa gigi runcing pada zaman dahulu berguna untuk memudahkan konsumsi makanan bertekstur keras. Sehingga, secara fungsional juga memiliki manfaat.
Saat ini, salah satu contoh makanan bertekstur keras yang kerap dijumpai di sana adalah olahan sagu. Namun, olahannya berbeda dengan papeda yang umum di Indonesia Timur.
“Karena makanan keras, mereka lebih banyak mengunyah jadi gigi lebih kuat. Tapi kemarin sudah masuk makanan dari kota kaya biskuit, permen dsb. Tapi dulu pokoknya itu, sagu dan keladi atau talas,” terang dia.
Cara merawat gigi
Suku Mentawai juga memanfaatkan tanaman dalam merawat dan mengobati gigi mereka. Seperti mereka menggunakan tanaman kromimit atau dengan nama latin Leersia virginica yang diremas-remas dan dibentuk sedemikian rupa untuk menggosok gigi mereka. selain itu, mereka juga memanfaatkan tanaman sipuraro atau dengan nama latin Acmella caulirhiza yang bunganya diambil kemudian dihaluskan untuk kemudian diletakkan di gigi yang berlubang.
Kehadiran mahasiswa Tim KKN UGM Kabupaten Kepulauan Mentawai disambut baik dalam mempelajari tradisi budaya suku asli Mentawai serta menunjukkan minat generasi muda dalam mengenali tradisi budaya yang tersebar di Indonesia serta antusiasme dalam mengenali pemanfaatan tanaman herbal tradisional di sekitar kita. Tim KKN-PPM Kabupaten Kepulauan mentawai berharap, agar masyarakat dan kalangan akademisi mengetahui bahwa masih ada tradisi unik khas di Suku Mentawai yang dahulunya dilakukan sebagai salah satu standar kecantikan bagi para wanita.
Penulis: Hammam Izzuddin, Tim KKN PPM UGM
Editor: Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News