Hidup dengan beban ganda di perantauan
Tahun-tahun awal di Semarang, adalah masa-masa terberat bagi Fatimah. Memang, ia berhasil lolos di PTN impian. Namun, ia harus membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) hampir Rp3 juta per semester dengan usaha sendiri, tanpa beasiswa.
Alhasil, kehidupan Fatimah terbagi dua. Pagi hingga sore hari, ia adalah seorang mahasiswa yang duduk di kelas, mendengarkan dosen, dan berinteraksi dengan teman-temannya.
Sementara pada sore hari, Fatimah berubah menjadi seorang pekerja. Ia terpaksa mengambil jatah shift malam di sebuah pabrik. Bekerja delapan jam sehari, enam hari dalam seminggu.
Uang yang ia dapat dari kerja kerasnya itu ia sisihkan sedikit demi sedikit untuk membayar UKT.
“Tahun-tahun pertama menjalaninya, seperti mau udahan aja. Tubuh kayak dipaksa gerak tanpa istirahat, rasanya lelah. Tapi, toh, lama-lama aku akhirnya terbiasa juga,” ungkapnya.
Tak sampai di situ, Fatimah juga mengaku kehilangan banyak hal. Misalnya, ia seringkali harus memilih antara membeli buku kuliah atau menghemat uang untuk ditabung. Selain itu, ia juga jarang bergaul dengan teman-temannya karena tak punya waktu buat nongkrong.
Kendati demikian, Fatimah bersyukur karena ia tidak sendirian. Kakaknya, orang yang sejak awal mengusulkan skenario beasiswa bohongan ini, ikut membantunya membayar sebagian UKT. Sehingga, paling tidak, sedikit beban hidupnya bisa ia lepaskan.
“Kakak itu udah kayak orang tuaku di perantauan. Tanpa dia, mungkin aku nggak akan bisa sampai di titik ini,” ujarnya.
Empat tahun kuliah di PTN tanpa beasiswa, kini sudah di ujung perjuangannya
Kini, tahun 2025. Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa, sudah empat tahun Fatimah kuliah sambil kerja dan sekarang berada di penghujung perjuangannya.
Akhir tahun ini, rencananya dia akan lulus kuliah di PTN impiannya itu. Namun, hingga saat ini, Fatimah seringkali membayangkan: bagaimana jika orang tuanya tahu soal kebohongannya?
“Apakah orang tuaku akan marah karena aku bohong dapat beasiswa? Apakah mereka bakal kecewa? Atau justru bangga? Entahlah.”
Semua kemungkinan itu, bagi Fatimah, biarkan waktu yang menjawab. Yang terpenting kali ini, ia berhasil menunaikan janjinya: bisa kuliah tanpa membebani orang tua.
“Doakan yang terbaik saja, Kak. Semoga bisa lulus tepat waktu, dan aku bisa ngangkat derajat keluargaku,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Saat Anak Diterima PTN dan Siap “Hidup Bebas” di Perantauan, Ada Ortu yang Nelangsa Lahir dan Batin atau liputan Mojok lainya di rubrik Liputan.












