Danau UNAIR lebih eksklusif
Eka merasa Danau UNAIR Kampus C lebih eksklusif. Berdasarkan kunjungannya selama tiga kali di sana, Eka harus menunjukkan kartu tanda mahasiswa saat parkir. Sementara, masyarakat umum harus membayar.
Lokasi Danau UNAIR memang tak jauh dari pintu masuk dan masjid. Januari 2024 lalu juga sempat beredar isu kalau mahasiswa wajib membayar parkir di sekitaran masjid. Mojok pernah menulis topik itu dalam artikel UNAIR Surabaya Sudah Keterlaluan, Area Masjid Kampus Menjadi Korban Kapitalisasi dan Mahasiswa Harus Membayar Parkir.
Beda sekali saat dia ke Danau UNESA. Ia bisa memarkirkan motornya di dekat danau karena jalanan di sana cukup luas. Jalanan itu juga biasa dilewati khalayak umum. Bahkan banyak pedagang yang menjual makanan, minuman, sampai pakaian.
“Di beberapa stan itu memang kita harus bayar, karena tiap rombong sudah ada penjaga parkirnya, tapi ada juga yang nggak minta,” ujarnya.
Harga makanan di sana pun murah meriah. Eka biasa membeli ceker pedas yang sempat viral di TikTok. Ia mengaku mendapat rekomendasi tersebut dari influencer yang pernah mereview kuliner di Danau UNESA. Sebab jujur saja, meski banyak pedagang, menu yang ditawarkan kurang lebih sama.
“Misalnya saja ceker, ada ceker 99, ceker Cokomoro, ceker ini, ceker itu, tapi memang harganya beda-beda,” ucap Eka.
Danau UNESA: tempat merenungi hidup
Alih-alih menikmati kuliner, Eka lebih sering merenung di Danau UNESA. Meskipun di sana ramai, ia bisa memilih tempat yang berjarak. Ia lebih suka menikmati waktunya sendirian hingga larut malam.
“Kadang-kadang aku batasi sampai pukul 21.00 WIB,” ucapnya.

Melansir dari laman resmi UNESA, danau seluas 300 meter persegi itu memang selalu ramai pengunjung. Oleh karena itu, pihak kampus berencana untuk lebih mempercantik danau tersebut bersama dengan Pemerintah Kota Surabaya.
Sebetulnya, kata Eka, danau di UNAIR jauh lebih sepi tapi ia tak enak hati kalau sampai dilihat mahasiswa yang mengenalnya. Walaupun hal itu belum pernah terjadi, karena mahasiswa di jurusannya lebih suka nongkrong di kafe.
“Aku merasa mahasiswa di UNAIR memang banyak yang high class,” ujarnya.
Eka sendiri adalah mahasiswa akhir. Akhir-akhir ini ia stres mengerjakan skripsi. Melihat teman-temannya yang sudah lulus, ia jadi merasa tertinggal. Belum lagi, ia juga harus membagi waktu antara kuliah dan organisasi di luar kampus yang ia ikuti.
“Aku bisa berdialektika dengan diriku sendiri. Aku bisa mengurai masalahku satu persatu. Dari proses dan hasil berpikirku tadi, aku bisa bangkit,” ucapnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Universitas Negeri Surabaya (Unesa): Kampus Pilihan bagi Mahasiswa yang Tertolak Universitas Airlangga (Unair) atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












