Seorang mantan mahasiswa UIN Walisongo Semarang kini hanya bisa menyesal setelah sikap sang ibu berubah menjadi dingin padanya.
Bukan tanpa alasan kenapa sang ibu yang semula sayang betul dengan si mahasiswa UIN Walisongo ini berubah menjadi dingin.
Pasalnya, mahasiswa UIN Walisongo tersebut telah membuat kebohongan yang amat besar. Kebohongan yang sedikit banyak menggores luka di hati ibunya.
***
Tiap kali saya pulang ke Rembang, sering kali dengan tidak sengaja saya bertemu dengan Kuthul (28), mantan mahasiswa UIN Walisongo Semarang yang saya maksud tengah dalam penyesalan di atas. Ia adalah kakak kelas saya di pondok pesantren di Lasem dulu.
Kuthul tentu bukan nama asli, melainkan nama populernya saat masih nyantri. Sementara nama aslinya enggan disebut dalam tulisan ini.
Kami biasanya bertemu tanpa sengaja di warung kopi di Pantai Binangun, Lasem. Biasanya di jam-jam menjelang salat Zuhur.
“Aku nganggur, sehari-hari ya ngopi di sini,” ujarnya saat kami bertemu—lagi-lagi tanpa sengaja—saat kepulangan saya ke Rembang pada Sabtu, (24/2/2024).
“Weh nganggur tapi dana perkopian lancar i,” gojlok saya.
“Halah, ya begini, Bro, beban orang tua,” jawab Kuthul dengan wajah kecut.
Obrolan pun mengalir. Sampai kemudian Kuthul bercerita perihal penyesalannya membohongi ibunya saat kuliah di UIN Walisongo Semarang.
Maksa kuliah UIN Walisongo demi gengsi
Setelah lulus dari MA dan pesantren di Lasem, pada 2014 Kuthul berangkat kuliah ke Semarang setelah lolos UM-PTKIN di UIN Walisongo. Tapi ia tak mau ngaku ambil jurusan apa.
Kuthul mengaku, sebenarnya Kuthul sendiri menyadari kalau kondisi ekonomi kedua orang tuanya pas-pasan. Sang ibu adalah petani, sementara bapaknya kuli bangunan di Malaysia.
Namun, karena banyak teman-teman kelasnya di MA yang kuliah, Kuthul jadi ngebet untuk kuliah juga.
“Aku ambil jurusan ngasal, kampus ngasal, yang penting kuliah. Menjadi mahasiswa itu bagiku sudah kelihatan sangar,” ujar Kuthul. Tak ada tujuan lain. Hanya itu tujuan Kuthul kuliah: buat gaya-gayaan.
Sebenarnya, saat membicarakan niatnya untuk kuliah pada sang ibu, Kuthul membaca ada raut wajah getir dari wajah ibunya tersebut. Seolah menyiratkan keberatan.
“Tapi ibu bilang boleh, asal kuliah sungguh-sungguh,” ungkapnya.
Kuthul lalu mencoba mengenyampingkan bayang-bayang raut wajah keberatan sang ibu. Ia hanya fokus pada perkataan sang ibu yang tak masalah jika ia kuliah.
Jadi mahasiswa UIN Walisongo yang pemalas
Seperti mahasiswa baru (maba) pada umumnya, di awal-awal kuliah Kuthul terbilang masih rajin masuk kelas. Meskipun di kelas pun ia lebih banyak tidur karena tak kuat menahan kantuk, efek bergadang (ngopi) tiap malam.
“Di semester 2 mulai bolong-bolong. Jarang masuk, jarang ngerjain tugas, banyak matkul nggak lulus,” beber Kuthul.
Hal itu berlangsung hingga semester 3. Lalu di semester 4, Kuthul mulai tak berangkat kuliah. Belum DO, tapi ia memang tak pernah masuk kelas, sama sekali.
“Aktivitasku di Semarang waktu itu kalau malam ngopi sampai pagi. Terus pagi tidur sampai siang. Lalu siang males-malesan di kos. Nggak pernah ngampus. Sampai akhirnya dapat surat DO,” akunya.
Entah setan jenis apa yang menggelendot di tubuh Kuthul. Tapi Kuthul benar-benar sangat melas berangkat kuliah.
Beberapa teman Kuthul di UIN Walisongo Semarang pun sudah sering mengingatkan Kuthul. Namun, satu pun tak ada yang ia gubris.
Bohongi ibu demi dapat uang saku
Sejak dinyatakan DO pada akhir semester 4, Kuthul memang tak memiliki iktikad untuk mengajukan banding. Ia pasrah saja.
Namun, yang bajingan dari Kuthul adalah, ia masih tetap minta ibunya kiriman bulanan dan uang untuk bayar UKT tiap semester.
“Aku nggak berani ngaku soal DO. Aku minta kiriman biar terlihat masih kuliah,” katanya.
“Sebulan biasanya ibu dapat uang dari bapak buat ngirimi aku itu Rp1,5 juta. Kadang lebih. Kalau UKT waktu itu Rp1,7 juta,” lanjut Kuthul.
“Nggak coba nyari kerja waktu itu?” tanya saya.
Kuthul menggeleng. Ia mengaku bingung. Ia merasa sebagai laki-laki yang tak punya keterampilan bekerja.
Oleh karena itu, ia tak tahu harus kerja apa. Alhasil, ia masih meminta uang dari orang tua.
Atas kelakukannya itu, Kuthul mengaku teman-temannya di UIN Walisongo Semarang mulai menjauh.
Memang banyak teman Kuthul yang kuliahnya pun bolong-bolong. Hanya saja, banyak dari mereka tak memiliki akal busuk (kalau kata Kuthul sendiri) seperti Kuthul.
Bahkan, banyak dari teman kuthul yang kuliah bolong karena kelelahan membagi waktu kuliah sambil kerja.
“Jelas aku merasa perbuatanku salah. Tapi waktu itu aku buntu. Nggak tahu harus gimana. Bilang jujur pada ibu juga nggak berani,” kata Kuthul.
Ibu Kuthul shock hingga jatuh sakit
Ibu Kuthul akhirnya tahu kebohongan sang anak saat Kuthul memasuki semester 7.
Entah informasi dari mana—mungkin feeling seorang ibu—ibu Kuthul langsung mendesak agar Khutul mengaku saat mereka tengah kumpul di rumah. Kuthul yang semula mengelak pun pada akhirnya tak bisa berkutik.
“Ibu cuma bisa istighfar dan ngelus dada bolak-balik waktu itu,” ucap Kuthul.
“Kalau ada bapak, mungkin aku sudah kena gampar (bapak Kuthul di Malaysia),” imbuhnya.
Tak lama setelah mengetahui kabar itu, ibu Kuthul jatuh sakit. Mungkin karena kaget.
Dan setelah itu, situasinya malah makin tak enak. Karena sikap ibu Kuthul berubah menjadi sangat dingin.
“Sekarang pun karena aku masih nganggur, ibu masih ngasih uang buat ngopi, rokok, paketan. Tapi ngasihnya ya sebatas ngasih. Dingin, cuek” ungkap Kuthul.
Bukan tanpa alasan kenapa Kuthul sering menyendiri di warung kopi di Pantai Binangun.
Sambil menatap laut, ia mencoba terus merenung, “Kenapa aku nggak berguna?”.
Pernah suatu kali Kuthul ikut kerja di pabrik sepatu di Rembang. Namu, karena dinilai tak terlalu becus bekerja, ia langsung dipecat padahal baru bekerja dua bulan.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Mahasiswa Surabaya Sudah Mantap DO tapi Langsung Ngebut Skripsian Gara-gara Diteror Arwah Ibu
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News