Empat tahun kuliah di Fisipol UGM, banyak yang memandang Ari (29) bakal bekerja di bidang yang masih bersinggungan dengan dunia politik. Sayangnya, ia malah menepi sangat jauh. Bukan politik, pekerjaannya malah banyak berhubungan dengan zat-zat kimia.
Bahkan, karena pekerjaannya itu, ia pernah ditertawakan oleh seorang guru SMA. Katanya, sih, ilmu yang ia pelajari selama delapan semester itu sia-sia.
Padahal, kalau soal gaji, Ari bisa jumawa. Penghasilan bulannya jauh di atas teman-teman kuliahnya yang memilih jalan lurus kerja di bidang politik.
“Kalau mau idealis sih bisa-bisa aja, tapi nggak jamin bisa buat makan. Jadi aku milih kerja yang pasti-pasti saja,” ungkap Ari kepada Mojok, Selasa (28/5/2024).
Masuk Fisipol UGM gara-gara “geram” dengan Pilpres 2014
Kalau dibilang suka politik, Ari tidak terlalu. Namun, kalau mau dibilang masuk Fisipol UGM gara-gara terpaksa, ia juga menolak mengakuinya.
Pada SNBT (SBMPTN) 2014 lalu, Ari mantap memilih program studi Politik dan Pemerintahan UGM. Bahkan, pada pilihan kedua, ia juga memilih prodi serupa di Undip.
Meski tak terlalu mengikuti perkembangan politik, Ari tertarik masuk prodi tersebut lantaran geram dengan suasana Pilpres 2024. Saat itu, adalah kali pertama Ari mendapatkan hak suara. Birahi politik pun mulai ia rasakan seiring dengan pemberitaan pilpres yang makin sering ia jumpai.
“Keluarga ngomongin politik. Nonton TV berita isinya politik. Di mana-mana isinya berita Jokowi lawan Prabowo,” kata Ari.
“Geram, pada awalnya. Tapi lama-lama nagih juga ikutin politik, ternyata seru,” sambungnya.
Euforia pilpres, pada akhirnya bikin Ari punya pilihan konkret saat ingin mendaftar SNBT. Ia mantap buat kuliah di bidang ilmu politik karena tertarik buat mengulik lebih dalam lagi.
Pada 2014, Ari berhasil masuk prodi politik dan pemerintahan (DPP) UGM dan berhasil lulus pada 2018.
Merasa politik nggak bisa buat cari makan, memilih merantau Sumatra
Kehidupan kuliah di UGM Ari lempeng-lempeng saja. Tidak termasuk mahasiswa yang macem-macem, bandel, dan sejenisnya; tapi bukan juga yang berprestasi. Aktif di organisasi pun juga enggak. Masa studinya juga normal, lulus delapan semester.
Ari pun baru merasa menjadi sarjana politik bukan daya tawar di dunia kerja saat lulus kuliah. Kala itu, ia melihat banyak temannya yang justru nganggur.Â
Bagi yang tajir, biasanya lanjut ke program S2. Namun, bagi yang kurang mampu, pilihannya cuma dua: tetap nganggur atau kerja di bidang yang jauh dari politik.
Mahasiswa asal Jateng ini mengaku tipikal mahasiswa yang tak terlalu idealis. Jadi, ketika ada tawaran kerja dari salah satu Om-nya, di sebuah pabrik pipa Combined Cycle Turbine Gas (OCGT) di daerah Sumatra, tak butuh waktu lama buat dia menerima.
“Kerjanya bikin pipa-pipa buat industri. Buat industri migas gitu. Sejak awal ngerasa ‘wah, nggak nyambung’, tapi tetap aku iyain karena kapan lagi dapat tawaran kerja padahal baru lulus kuliah,” jelas mahasiswa UGM ini.
Ari bahkan langsung dapat jabatan yang cukup asing, sebagai chemical operator. Awalnya, ia cukup pusing dengan jobdesk-nya, karena harus mengawasi proses produksi yang berhubungan dengan hal-hal berbau kimiawi. Namun, setelah beberapa bulan bekerja, ia baru sadar kalau cara kerjanya “sangat text book”.
“Hanya perlu telaten saja. Pusing di awal karena kudu membiasakan diri, tapi lama-lama ya kayak kerja lain mungkin ya. Aman-aman aja.”
Dicemooh gara-gara kerja tak linier, padahal gaji selangit
Waktu awal-awal bekerja di pabrik pipa, tak sedikit orang yang nyinyir pada alumnus UGM ini. Salah satunya adalah guru SMA-nya. Paling sering, sih, dicemooh gara-gara kerja tak linier dengan kuliahnya.
“Waktu baru enam bulan kerja ada kumpul alumni, guru itu bilang kalau ‘sia-sia kuliah politikmu kalau kerja di pabrik’. Memang sih nggak ngomong depan orang banyak, tapi tetap bikin sakit hati,” katanya.
Bukan bermaksud pamer. Menurut pengakuan Ari, justru gurunya itu harus bangga karena dia kini sudah “jadi orang”.
Setahun pertama kerja di pabrik pipa, Ari dapat gaji Rp5 juta per bulan. Belum termasuk tunjangan jabatan. Gajinya terus naik seiring waktu kerjanya. Bahkan, kini sudah menyentuh dua digit.
Bahkan, di antaranya teman-teman seangkatannya yang “memilih idealis”, sarjana politik UGM ini merasa mungkin dia yang saat ini paling sukses.
“Bukan gimana-gimana, sih. Tiap orang punya prinsip. Dan prinsipku, kalau ada kesempatan yang lebih menjanjikan, kenapa nggak kita ambil,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News