Ahmad (26) dengan sangat yakin menggambarkan dirinya dengan dua hal: (1) miskin, tapi (2) tebal muka. Karena miskin, mahasiswa asal Malang ini kesulitan buat memenuhi kebutuhannya selama kuliah di Jogja. Namun, karena rasa malunya setipis tisu, ia berhasil bertahan hidup bahkan sampai lulus S2.
Barangkali, Ahmad hanya satu dari sekian orang yang rela “nomaden” alias hidup berpindah-pindah untuk bisa survive. Selain mahasiswa S2 PTN di Jogja itu, Mojok juga menemui Rio (24), mahasiswa lain yang menghabiskan 3 tahun terakhirnya di Jogja dengan nomaden.
Nomaden adalah cara bertahan hidup saat uang jajan cuma 500 ribu sebulan
Nomaden, pada awalnya, tak pernah masuk dalam rencana Ahmad. Setelah lulus S1 di Malang dan memutuskan lanjut S2 di Jogja, ia merasa semua bakal baik-baik saja–sama seperti 3,5 tahun kuliah sarjananya.
Namun, mengetahui UKT-nya adalah sebesar Rp12 juta per semester, dengkulnya mendadak lemas. “Ini nyaris 5 kali lipat dari biaya S1-ku di Malang,” ungkapnya, saat Mojok wawancarai Kamis (15/8/2024).
Saat masih kuliah S1, ia dapat UKT tak sampai Rp2,5 juta. Dengan biaya kuliah yang masih terjangkau, orang tuanya masih bisa mengusahakan.
Akan tetapi, kenaikan biaya kuliah sampai Rp12 juta bikin Ahmad maju-mundur, apakah mau terus maju, atau cukup sampai di S1 saja. Apalagi, saat ia memutuskan lanjut ke S2, adiknya masuk kuliah. Dengan begitu, tanggungan biaya kuliah yang membebani orang tuanya menjadi dobel.
“Setelah pertimbangan panjang, ortu mutusin buat aku lanjut saja. Kata mereka, ‘nggak usah dipikir, rezeki bisa datang dari mana saja’,” ungkapnya.
Sebagai anak yang hidup dari uang pensiunan ayah dan usaha kuliner kecil-kecilan dari ibunya, Ahmad tak memungkiri kalau kuliah S2-nya sangat membebani ortu. Makanya, ia berpikir untuk setidaknya bisa meringankannya.
Saat itu, opsi pertama yang ia pikirkan adalah mencari kos semurah mungkin. Setelah tanya sana, tanya sini, ke beberapa jaringannya di Jogja, Ahmad malah menemukan fakta bahwa dirinya sangat mungkin bisa hidup tanpa kos-kosan.
“Saat awal-awal di Jogja, beberapa kawan jaringan menawari saya buat tinggal di sekre mereka. Ya, barang seminggu dua minggu sampai dapat kos,” jelas Ahmad.
Namun, di luar dugaan dia, kawan-kawan jaringannya itu malah menawarinya buat tinggal lebih lama. Kata mereka, asal menjaga kebersihan, semua tak masalah.
“Itu hati plong banget. Soalnya aku udah komitmen cuma minta uang saku 500 ribu sebulan karena bilang bisa sambil kerja. Kalau dipikir-pikir, gimana coba caranya hidup 500 ribu sebulan?”
Mahasiswa S2 hidup dari sekre ke sekre dan kos ke kos
Bulan-bulan setelahnya, mahasiswa S2 ini bertahan hidup dari sekre ke sekre. Ia mengaku sangat beruntung, dari banyaknya organisasi, komunitas, dan kolektif yang diikuti, solidaritasnya sangat kuat.
Ia juga mengaku tak sekadar numpang tidur. Di sekre tersebut, Ahmad juga turut ikut menjaga kebersihan, dan bahkan aktif ketika digelar acara-acara tertentu.
“Jadi guyonan teman-teman itu, saya ini takmir sekre. Nggak cuma masjid yang ada takmirnya. Hahaha,” ujar Ahmad, mengungkapkannya sambil tertawa lepas.
Ada kalanya, Ahmad merasa tak enak terlalu lama tinggal di satu sekre. Biasanya, setelah beberapa bulan, ia pamitan dan meninggalkan sekre tersebut. Tujuannya, jelas ke sekre lain yang mau menerimanya.
Namun, di “masa-masa transisi” sebelum dapat sekre baru itu, biasanya ia bakal numpang di kos salah seorang kawannya. “Lebih tepatnya ditawarin buat tinggal sih,” ujarnya.
Namun, tinggal di kos teman tak seenak hidup di sekre. Ada beberapa kebebasan yang tak bisa ia peroleh. Rasa sungkan pun juga jauh lebih besar. Makanya di kos teman-temannya, Ahmad paling banter tinggal selama 4 hari atau seminggu untuk kemudian pindah lagi.
Selama kuliah di Jogja, kalau dihitung dua tahun mahasiswa asal Malang ini hidup nomaden. Sampai ia lulus S2 belum lama ini, ia bahkan tak relate dengan kata ngekos.
“Apa itu ngekos? S1 di Malang tidur di rumah sendiri. Giliran S2 di Jogja tinggalnya di tempat orang, gratisan.”
Masjid jadi rumah pertama di perantauan
Kisah lain juga Mojok dapatkan dari Rio, mahasiswa Jogja asal Sumatera Barat yang kini sedang menempuh studi S2. Sama seperti Ahmad, ia juga tak mengenal istilah ngekos.
Bedanya, kalau selama kuliah di Jogja Ahmad tidur di sekre-sekre dan kosan teman, Rio menjadikan masjid sebagai tempat tinggalnya.
“Aku lulusan Covid, kuliah angkatan 2020 pas nggak boleh kemana-kemana. Jadi aku dua tahun kuliah daring, belum ke Jogja,” ujarnya saat Mojok temui pada Kamis (15/8/2024) malam.
Sebagai mahasiswa peraih beasiswa KIP Kuliah, kehidupan Rio di perantauan pun dijalani dengan prihatin. Apalagi, tak semua uang saku KIP Kuliah bisa ia nikmati, karena sebagian ia transfer ke orang tua di kampung.
Makanya, budget per bulannya sangat minim. Untungnya, sejak awal datang di Jogja sampai sekarang ia kuliah S2, Rio dapat kemewahan sebagai takmir masjid di sekitar kampusnya.
“Alhamdulillah, serba kecukupan. Bahkan bisa menabung karena nggak perlu mengeluarkan uang kos, soal makan pun kadang ada aja yang ngasih,” jelas mahasiswa S2 ini.
“Nggak mau melawan kehendak Tuhan. Tapi kalau mau berandai-andai, jika saja aku nggak tinggal di masjid, mungkin aku nggak bisa bertahan di perantaun kayak sekarang.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News