Uang Kuliah Tunggal (UKT) jadi sorotan pada Debat Capres kelima. Sistem pembayaran yang sudah diterapkan sejak 2013 ini pada praktiknya memang memunculkan banyak ketidakadilan.
Penggunaan sistem UKT tertuang pada Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 yang kemudian mengalami penyempurnaan pada Permenristekdikti Nomor 22 Tahun 2015. Salah satu tujuannya adalah untuk membantu meringankan biaya pendidikan mahasiswa setiap semester berdasarkan kemampuan orang tuanya.
Namun, pada Debat Capres kelima, Minggu (4/2/2024) lalu, topik ini mencuat saat capres nomor urut satu, Anies Baswedan melontarkan pertanyaan kepada capres nomor urut tiga Ganjar Pranowo. Anies menyoroti masalah penggunaan dana dari pinjol untuk pembiayaan UKT di luar kemampuan mahasiswa dan orang tuanya.
“Pak Ganjar ini pertanyaan saya terkait UKT yang mahal itu. Kampus memang seharusnya merdeka dan memerdekakan, dan kampus merdeka itu baik tapi bukan berarti merdeka untuk menaikkan ongkos, bukan berarti menggunakan segala cara untuk bisa mendapatkan dana dari mahasiswanya,” kata Anies.
Ganjar merespons bahwa liberalisasi pendidikan harus dihentikan. Selain itu, mereka yang benar-benar datang dari kalangan tidak mampu harus mendapat bantuan pemerintah.
“Yang pertama hentikan liberalisasi pendidikan, hentikan hari ini. Berikanlah kepada para mahasiswa kita proporsi yang benar,” kata Ganjar.
Di lapangan, penerapan UKT memang mengalami banyak persoalan dan punya banyak celah. Banyak mahasiswa yang datang dari kalangan tidak mampu namun mendapat beban tinggi sementara yang mampu lebih rendah. Mojok pernah mewawancarai sejumlah mahasiswa yang mengalami persoalan pelik terkait UKT hingga nyaris gagal menjadi sarjana.
Ketika ekonomi rendah selalu gagal mendapat keringanan UKT
Kisah pertama datang dari Lia*, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dari kalangan tidak mampu yang terpaksa terbebani UKT di luar kemampuannya. Di awal masuk kuliah, ia hanya mengandalkan pendapatan orang tuanya yang bekerja serabutan tanpa penghasilan tetap tiap bulan.
“Saat mengisi berkas, aku mencantumkan pendapatan orang tuaku di kisaran Rp1-2 juta. Bapak kerja serabutan, bahkan kadang tidak dapat sampai segitu,” ujarnya.
Ia mendapat UKT sebesar Rp4 juta. Bagi sebagaian orang mungkin nominal yang standar, namun itu di luar kemampuan Lia. Bahkan, untuk sekadar uang saku bulanan saja orang tuanya tidak tentu mengirimkan.
Upayanya untuk mendapat keringanan UKT selalu gagal. Ia mengajukan banding hampir setiap semester dan baru mendapat penurunan pada semester keenam di masa pandemi. Dari Rp4 juta menjadi Rp2 juta.
Bahkan, bapaknya pun belum mampu membiayai sehingga ia terpaksa mengambil cuti satu semester, bekerja, sehingga akhirnya bisa kembali kuliah dengan pembiayaan mandiri. Sampai akhir 2023 lalu ia masih berjuang merampungkan kuliah sambil bekerja.
Kisah lain datang dari Zidni* (18), seorang anak buruh kasar di Magelang yang mendapat UKT sebesar Rp8.550.000 saat pertama kali diterima di UGM 2023 lalu. “Orang tua saya bekerja sebagai buruh. Saat pengumuman UKT keluar itu saya langsung disuruh mundur,” kenangnya.
Sebelum masuk kuliah, ia mencoba melakukan banding UKT. Namun, UGM hanya menurunkan menjadi Rp5.700.000. Nominal yang masih berat bagi keluarganya. Kendati begitu, ia akhirnya bisa membujuk ayahnya untuk tetap membiayai.
Berutungnya, pada November 2023 lalu, selepas menjalani kuliah setengah semester ia mendapat beasiswa KIP yang membuatnya terlepas dari beban pembiayaan kuliah. Namun, di luar konteks beasiswa itu, ia sempat mengalami persoalan sulitnya menurunkan biaya UKT meski jelas datang dari kalangan menengah kebawah.
Baca halaman selanjutnya…
Ketidakadilan rugikan mahasiswa tidak mampu, tapi banyak mahasiswa kaya yang curang