Dosen UM cuti hamil tetap dituntut mengajar
Menurut Stovia, sejatinya Kemendikburistek tidak mensyaratkan publikasi dosen wajib di jurnal dengan standar Sinta 2. Ia mengaku tidak mengerti mengapa UM mewajibkan ini dan mengaitkannya dengan hak remunerasi dosen.
“Bahkan sempat beredar screenshot bahwa dosen yang tidak publikasi di Sinta 2 bisa diperhitungkan untuk dikeluarkan dari UM,” katanya.
Senada, Tamara juga mengeluhkan hal serupa. Bahkan, menuturkan kalau jumlah mahasiswa di kelas kurang dari 40, maka remunerasi turun jadi 95%. Kurang dari 10 mahasiswa hanya 35%. Padahal, menurutnya kapasitas kelas umumnya hanya 30-an mahasiswa.
Selain itu, Stovia juga bercerita pengalamannya mengajukan cuti hamil di UM. Oleh atasan di kampus, ia mengaku tetap mendapat kewajiban jam mengajar dengan alasan agar memenuhi laporan BKD.
“Padahal jika menilik rubrik BKD UM bagian Pendidikan dan Pengajaran, ada banyak kegiatan lain yang lebih sederhana dan bisa untuk memenuhi poin seperti menulis buku ajar sampai menjadi dosen pembimbing akademik,” ungkapnya.
Ia mengaku sudah meminta keringan jam mengajar namun tidak mendapat persetujuan. Pada saat cuti, ia pernah mendapat kewajiban mengajar 10 kelas dengan beban sekitar 20-an SKS.
Kendati begitu, ia mengaku bahwa kebijakan mengajar saat cuti hamil ini hanya tidak baku sebagai aturan di UM. Artinya, tergantung atasan di masing-masing program studi atau fakultas yang memberikan tugas. Pasalnya, ia melihat ada rekannya di program studi lain yang tidak terbebani kewajiban mengajar.
Demotivasi dosen, merugikan mahasiswa
Situasi ini, menurut Stovia, membuat motivasi dosen menurun. Beban dosen yang menumpuk tinggi membuat mereka kesulitan untuk mengajar secara maksimal. Praktik dosen memberikan tugas, lalu saat kelas mempersilakan mahasiswa melakukan presentasi jadi hal yang ia saksikan.
“Sebenarnya tidak ideal. Tapi teman-teman semakin demotivasi. Kami sudah hampir pasrah dengan situasi setahun terakhir,” katanya.
Masih banyak hal lain yang menjadi beban dosen seperti mengurus akreditasi namun tidak ada kompensasi atas waktu yang telah mereka sediakan. Para dosen mengaku keberatan dengan sistem semacam ini.
Senada, Tamara juga mengaku situasi yang dialami dosen sejak UM Malang beralih menjadi PTNBH membuat kepuasan dosen menurun. Baginya, tugas-tugas yang muncul itu berdasarakan kompetensi dosen. Namun, kompetensi itu tidak mendapat apresiasi setimpal.
“Jadi secara kinerja ini sangat memengaruhi. Kita kerja sampai malam tentu harapannya ada kompensasi. Kalau berlanjut, ini bisa menurunkan kinerja dosen,” ungkapnya.
Tidak hanya kepada dosen, menurut Tamara apresiasi terhadap mahasiswa yang berprestasi juga ia nilai kurang. Hal itu juga menurunkan semangat mahasiswa untuk aktif berkompetisi.
Pihak rektorat: tidak ada “penahanan” dan semua jabatan ad hoc sudah dibayar
Sementara itu, Wakil Rektor 2 UM Malang, Puji Handayati menegaskan bahwa penetapan pencairan remunerasi sebesar 70% sudah sesuai peraturan Mendikbudristek. Penahanan hanya sebagai garansi agar para dosen memenuhi target publikasi.
“Kalau ada yang bilang ini ditahan tidak ada aturannya artinya dia tidak membaca aturan di Kementerian,” katanya.
Selain itu, Puji meyakinkan bahwa dosen yang sudah memenuhi target pasti bisa mengklaim hak 30% dari remunerasi. Ia menjelaskan semua proses sudah melalui proses transparansi di aplikasi.
“Semua itu sudah terlihat jelas. Berapa SKSR (Satuan Kegiatan Semester Remunerasi, red) yang diakui dan segala macam sudah ada di aplikasi,” katanya.
Ia melanjutkan bahwa tidak semua kegiatan kepanitiaan dosen berimplikasi kepada penambahan hak remunerasi. Mekanismenya bisa melalui biaya transportasi. Jabatan-jabatan ad-hoc dalam lembaga khusus menurutnya selalu dibayar setiap semester.
Sehingga, ia menampik pernyataan Tamara dan Stovia yang menjelaskan bahwa dari beberapa jabatan ad hoc yang ia jalankan, hanya satu yang mendapat bayaran setiap semester. Puji mengingatkan, ada tugas-tugas yang memang melekat pada jabatan tertentu dan tidak bisa mendapat remunerasi.
Menurutnya pengabdian masyarakat yang menjadi salah satu elemen tri dharma perguruan tinggi bermakna luas. Termasuk di dalamnya untuk pengembangan institusi.
“Jadi pengabdian itu tidak selalu soal memberikan ceramah ke desa. Bisa juga terkait pengembangan di dalam institusi,” paparnya.
Tidak ada hubungan PTNBH dengan pemangkasan hak dosen
Selain itu, Puji mengungkap bahwa peralihan dari PTN Badan Layanan Umum (BLU) menjadi PTNBH tidak ada kaitannya dengan pemangkasan hak-hak dosen. Sejak masih menjadi BLU, pembayaran remunerasi dosen kaitannya dengan pengajaran atau jabatan ad hoc menggunakan dana milik UM Malang.
“Misalnya ada yang tertahan 30% karena belum memenuhi target itu kembali ke UM Malang, tidak kemana-mana,” jelasnya.
Selanjutnya, ia mengaku dosen yang sudah cuti hamil harusnya sudah bebas dari kewajiban mengajar. “Kecuali jika ada kompromi antara dosen dengan prodi karena tidak ada dosen lain yang memegang atau mengampu mata kuliah,” jelasnya.
Namun, ia berpendapat umumnya dosen menyiasati dengan mempercepat penyelesaian 16 pertemuan mata kuliah. Sehingga, saat mengambil cuti hamil atau melahirkan sudah tuntas dari kewajiban mengajar.
)*Bukan nama sebenarnya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News