Legalisir ijazah merupakan hal krusial bagi para lulusan instansi pendidikan. Mojok berbincang dengan mahasiswa yang baru wisuda, keburu hendak kerja, namun digagalkan kampus karena perkara sulitnya legalisir.
Namun, sebenarnya ada yang lebih parah yakni nasib mereka yang hendak legalisir ijazah tapi ternyata kampusnya sudah berhenti beroperasi. Hal semacam ini pernah saya dengar saat sedang meliput tutupnya sebuah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Jogja.
Saya mencoba menelusuri alamat persis seperti yang tertera di Google Maps. Sayangnya di lokasi itu tidak ada tanda-tanda aktivitas perguruan tinggi. Bagian depannya justru sudah menjadi sebuah warung warmindo. Alamatnya berubah namun tidak diperbarui di mesin penunjuk arah.
Seorang lelaki di warung yang melihat saya tingak-tinguk tidak jelas kemudian berseloroh. “Mahasiswa mau legalisir ijazah, Mas?” tanyanya. Ia mengira saya adalah alumnus kampus tersebut. Lelaki bernama Agung (19) itu lantas bercerita kalau sering ada alumni yang datang kemari ingin mengurus administrasi.
“Mungkin mau legalisir atau ngurus berkas untuk kepentingan naik jabatan dan semacamnya. Soalnya biasanya yang ke sini memang sudah agak tua dan berseragam,” terangnya.
Bayangkan, mereka datang jauh-jauh dari luar kota, lantas menemukan kampusnya dulu sudah berubah. Tentu itu jadi pengalaman yang cukup menyulitkan.
Setelah wisuda, jauh-jauh dari luar kota gagal mendapat legalisir ijazah
Pengalaman gagal dapat legalisir ijazah juga diceritakan oleh Daus (25). Pada November 2023 lalu, jauh-jauh ia datang berkendara motor selama empat jam menuju kampusnya yang merupakan sebuah PTN di Jogja namun gagal melegalisir ijazahnya.
Padahal, ia sudah molor kuliah. Tidak tanggung-tanggung, ia baru lulus dan wisuda jelang masa drop out. Begitu lulus, jelas ia ingin segera mencari pekerjaan.
“Pertama ambil ijazah dulu di kampus utama. Kemudian legalisir harus ke fakultas,” tuturnya.
Sudah datang ke fakultas dengan semangat, tiba-tiba berubah jadi lemas ketika petugas administrasi berujar bahwa dekan sedang dinas ke luar kota. Padahal, Daus butuh tanda tangannya.
“Nggak tanggung-tanggung, aku disuruh menunggu seminggu lagi,” ujarnya.
Daus lalu menjelaskan bahwa ia datang jauh-jauh dari luar Jogja. Petugas menawarkan agar seminggu berselang ia datang kembali atau menitipkan temannya untuk mengambil. Masalahnya, mengingat ia merupakan golongan mahasiswa diwisuda terakhir di angkatannya, nyaris tidak ada teman lagi yang ia andalkan di Jogja.
Padahal ia sedang dalam proses mendaftar ke sejumlah perusahaan yang tenggat pengumpulan berkasnya tidak sampai seminggu lagi. Ia mengaku belum benar-benar merasakan kelegaan meski sudah wisuda.
Baca selanjutnya…
Ribetnya birokrasi kampus yang berujung derita mahasiswa