Selama ini aktivis kampus memang sering kali identik lulus molor. Sebab, para aktivis ini terlampu sibuk dengan urusan organisasi dan pergerakan. Sehingga kuliah pun keteteran.
Namun, makin ke sini, nampaknya sudah nggak zaman lagi aktivis kampus lulusnya molor, apalagi sampai terancam drop out (DO).
Justru aktivis kampus harus membuktikan diri, bahwa kesibukan di organisasi tak serta merta membuat kuliah mereka terganggu.
***
“Harus konsekuen. Pilih jadi aktivis, berarti ya harus siap tempur. Siap sibuk di organisasi, tapi juga siap aktif di perkuliahan,” ucap Fakhri (26), aktivis pergerakan di kampus Surabaya yang bisa lulus tepat waktu dan dengan IPK 3,56.
Aktivis yang Fakhri maksud bukan hanya merujuk pada mahasiswa yang aktif di organisasi pergerakan. Tapi mencakup semua organisasi, baik di kampus maupun non kampus.
Kepada junior-juniornya di organisasi, Fakhri menekankan agar menghapus image minor soal aktivis yang selama ini diamini oleh banyak mahasiswa.
“Kalau di organisasi garang, tapi kalau di perkuliahan melempem. Jangan seperti itu! Harus bisa unjuk gigi dua-duanya,” katanya.
Penuturan Fakhri tersebut selaras dengan cerita-cerita beberapa aktivis (mereka yang aktif berorganisasi di kampus) yang saya dapatkan belakangan ini. Saya ambil dua contoh saja.
Sibuk organisasi tapi tetap berprestasi
Yang pertama adalah cerita dari Ike Trisdayanti, aktivis dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Ike, panggilan akrabnya, dinyatakan lulus dari Prodi Akuakultur Fakultas Pertanian Peternakan UMM dengan IPK 3,98. Ia resmi menjadi wisudawan pada Selasa, (13/2/2024) lalu.
Yang spesial adalah, Ike lulus sebagai sarjana Akuakultur UMM tanpa skripsi. Sebab, ia telah mempersembahkan prestasi yang gemilang bagi UMM.
“Pada Pekan Ilmiah Nasional (Pimnas) 2023 lalu, dua judul saya lolos dan menghasilkan medali,” ujar mahasiswi asal Blitar, Jawa Timur itu seperti termuat dalam rilis resmi UMM.
Adapun dua karya ilmiah yang Ike buat membahas aspek yang sama, yakni mengenai pencegahan penyakit udang dengan bacteriophage.
Persisnya mencegah penyakit AHPND Acute Hepatopancreatic Necrosis Deasea, yakni penyakit yang menyebabkan organ pencernaan pada udang seperti usus tengah, hepatopankreas, dan lambung berwarna pucat dan kosong.
“Kemenangan itu juga membuat saya bisa lulus tanpa skripsi dan akhirnya bisa wisuda dengan baik,” tuturnya.
Ike sendiri bukan tipikal mahasiswi yang hanya duduk diam di bangku kuliah saja.
Selama kuliah di UMM, Ike juga bisa dibilang sebagai aktivis yang sangat sibuk karena mengikuti banyak organisasi.
Di UMM, tercata ia pernah menjabat sebagai sekretaris umum Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Akuakultur. Ia juga aktif melakukan penelitian dan membantu dosen dengan menjadi asisten laboratorium di beberapa mata kuliah serta bioteknologi.
Itu masih belum organisasi dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) lain yang Ike ikuti.
Namun nyatanya, sebagai aktivis yang sangat sibuk, ia membuktikan bahwa hal itu tak bisa jadi alasan untuk lulus molor.
Menjadi aktivis yang berkelas
Cerita lain datang dari Magdalena Asmara, aktivis dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Jawa Tengah.
Magda, sapaan akrabnya, lulus dengan predikat cumlaude (IPK 3,98). Ia baru saja resmi menjadi sarjana Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UNS pada Sabtu, (24/2/2024).
Magda memang tak sama seperti Ike, menjadi aktivis yang lulus dengan IPK sempurna bahkan tanpa mengerjakan skripsi.
Magda tetap mengerjakan skripsi. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai aktivis di UNS, nyatanya ia mampu menuntaskan skripsinya hingga lulus di semester 7.
Dari informasi di laman resmi UNS, ada beberapa organisasi yang Magda ikuti selama kuliah di UNS, antara lain Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Prodi Ekonomi Pembangunan, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEB, dan tergabung dalam Semar Preneur serta Helpdesk FEB UNS.
Magda bahkan sempat mengikuti Program Kampus Merdeka Bank Indonesia (KMBI) Batch 6 pada semester 6, artinya di tengah-tengah masa skripsiannya.
Magda—dan juga Ike—menunjukkan bagaimana menjadi seorang aktivis yang berkelas. Di masa sekarang, sudah tak zamannya aktivis lulus telat. Karena sekarang situasinya cenderung serba mudah. Tak serunyam dan semencekam aktivis era 98.
Sama-sama dari orang kelas bawah
Yang spesial lagi, baik Ike maupun Magda bukan berangkat dari orang berpunya.
Ike adalah anak dari penjual warung kopi di Blitar. Sementara Magda adalah anak dari buruh bangunan di Solo.
Magda bahkan sempat berada di fase “kuliah modal dengkul” karena mengandalkan kebaikan dari teman-temannya di FEB UNS.
“Pada waktu itu saya tidak memiliki laptop. Teman-teman rela untuk meminjami hingga saya bisa beli laptop sendiri,” tutur Magda.
Masih ada banyak cerita-cerita dari kalangan aktivis kampus yang lulus tepat waktu dan dengan IPK memuaskan. Bahkan, rata-rata dari mereka berangkat dari keluarga yang sangat sederhana.
Coba cek saja di Google dengan mengetikkan “kisah unik mahasiswa miskin”. Ada cukup banyak cerita-cerita mahasiswa yang mirip dengan Magda dan Ike.
Pada intinya, karena situasi di dunia aktivisme saat ini berbeda dengan era 98, di masa sekarang rasa-rasanya sudah tak zaman ada aktivis yang lulus molor apalagi sampai terancam DO.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News