Saya mengenalnya sebagai seorang teman yang banting tulang menghidupi dirinya maupun keluarganya. Meninggalkan kerasnya hidup di kota besar seperti Surabaya, ia memilih tempe sebagai ikhtiar memperbaiki ekonomi keluarganya.
Namanya Rizquna Muafik (23), saya akhirnya punya waktu luang untuk kembali mengunjunginya di Jawa Timur bagian selatan. Tepatnya di Desa Ngoran, Kecamatan Nglegok, Blitar. Terakhir, tiga tahun lalu saya main ke rumahnya yang asri di kaki gunung Kelud.
Wajah Rizquna berbeda jauh ketika saya terakhir kali melihatnya. Kini ada binar mata di raut wajahnya, lebih sumringah. Berbeda dengan masa-masa ketika masih struggling di Surabaya.
Saya kira keputusannya untuk cuti sementara dari kuliah dan memilih berdagang tempe adalah pilihan yang tepat. Sebab, dari berdagang tempe itulah kondisi finansialnya berangsur membaik. Sore itu, lega rasanya melihat Rizquna bisa menjadi sosok yang kemaki. Wong sekarang berduit, je.
Jauh berbeda dengan masa-masa tiga tahun sebelum ini, tidak tega betul ketika melihat dirinya ngempet tidak makan seharian karena sama sekali tidak pegang uang, hidup ngemper sana-sini karena tidak cukup uang untuk ngekos, dan sederet kisah dramatis-melankolis yang saat ini coba saya tulis.
Ngemper, jadi satpam, hingga bersepeda Blitar-Surabaya
Lepas magrib, sebenarnya saya bisa saja beristirahat sejenak sambil menunggu Rizquna selesai dengan pekerjaannya, membungkus tempe. Kami berencana hendak ngopi di sekitar Candi Penataran yang terletak di lereng barat daya Gunung Kelud. Tapi saya lebih tertarik berbincang dengan Rizquna, karena selalu ada pelajaran yang bisa saya ambil tiap kali ngobrol dengan satu orang ini.
“Gimana kuliah?” tanya saya kepada Rizquna yang masih sibuk menakar dan membungkus kedelai ke dalam plastik.
“Mbuh, hehehe. Sebenarnya tinggal skripsi, tapi ya gini lah, tak tinggal dulu bikin tempe,” jawabnya, kali ini tidak terlalu pecicilan seperti sore tadi.
Saya sendiri baru tahu kalau Rizquna memilih cuti sementara dari kuliah. Alasannya sangat mudah ditebak, apalagi kalau bukan karena tidak ada biaya untuk bayar UKT. Kalau diingat-ingat, sebenarnya nyaris setiap pergantian semester ia berencana untuk cuti. Tapi selama itu pula ia selalu menempuh berbagai cara agar kuliahnya tidak tertunda barang satu semester pun. Apapun ia kerjakan, kalau mentok ya hutang.
Sejak kuliah ia punya prinsip, pokoknya jangan sekali-kali minta uang kepada orang tua. Lebih-lebih dalam kurun tujuh tahun terakhir, ibu Rizquna harus berjuang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah dan mencukupi tiga adiknya. Sementara itu, sang ayah jatuh sakit dan harus menghabiskan tujuh tahun terakhir terbaring lemah di kamar pribadinya.
“Awalnya karena pikiran mungkin. Karena dulu tiap kali abah ada masalah, pasti dipendem sendiri,” tutur Rizquna sambil menyodorkan sebungkus Marlboro kretek kepada saya. Cuaca di luar semakin dingin.
“Lama-lama akhirnya drop. Pikirannya kena, mentalnya kena, terus fisiknya ambruk. Kalau lagi sumpek ya kayak tadi gitu, suka teriak-teriak sendiri.”
Cerita yang sama dengan yang saya dengar dari Ibu Mukhoyyaroh, ibu Rizquna, sore tadi. Berbagai model pengobatan sudah ditempuh, dari medis hingga spiritual. Tapi sampai saat ini masih belum membuahkan hasil.
“Sambil terus tawakal ya kami tetep nyoba usaha, Mas. Ini rencananya mau kami bawa ke psikiater juga,” ujarnya sore tadi saat ibu Rizquna menjamu saya di teras rumah.
Kondisi tersebut kemudian membuat Ibu Mukhoyyaroh bekerja lebih keras. Ia berjualan cilot, makanan khas Jawa Timur semacam cilok. Sesekali ia menerima pesanan membuat kue dan keripik. Dari cilot, diakui Rizquna, keluarga kecilnya itu bertahan hidup.
“Kalau cilot itu sehari berapa ya? Rp 130 ribuan kalau nggak salah. Tapi ya tetep naik-turun,wong namanya juga dagang. Dulu gitu sering saya dan adik-adik saya kalau sekolah mesti bawa beberapa bungkus buat dijual, hitung-hitung bantu ibuk, selain juga dititipkan di kantin-kantin beberapa sekolah,” ucap Rizquna.
Kedelai sudah terbungkus semua, sekarang tinggal ditata di kotak penyimpanan. “Ini prosesnya kan dua malam. Habis ini didiamkan di belakang, setelah dua malam baru bisa jadi tempe, terus disetor ke pelanggan,” sambungnya menjelaskan sedikit tentang proses pembuatan tempe.
“Rp130 ribu kepotong modal paling ya Rp 40 ribuan. Sisa Rp 80 ribu. Jadi per hari bertahan hidup dari uang Rp 80 ribu. Kalau dikali satu bulan itu ketemunya berapa, nah dari uang itulah ibu mencoba memenuhi kebutuhan rumah, keperluan sekolah kami berempat, dan buat pengobatan abah,” terang Rizquna sambil menata bungkus demi bungkus kedelai bakal calon tempe.
“Itu cukup?”
“Dicukup-cukupkan ae. Nah, dari situ, karena nggak mau terus-terusan jadi beban ibuk, akhirnya saya putuskan kalau kuliah nanti nggak bakal minta-minta lagi. Ya kamu tahu sendiri lah, Ly, akhirnya sampai enam semester pontang-panting kuliah sambil kerja, ngemper sana-sini karena nggak punya kos.”
Apa yang dikatakan Rizquna memang benar adanya. Bisa dibilang, saya adalah salah satu saksi hidup betapa struggling-nya ia selama kuliah dulu. Masa semester satu dan dua, ia ikut bekerja dengan saudaranya di daerah Kenjeran, setor tempe. Dari sana pula awal mula ia mulai belajar caranya mengolah kedelai hingga akhirnya bisa menjadi tempe.
Namun, karena sering terlibat cekcok, ia memutuskan angkat kaki dari rumah saudaranya dan memutuskan menggelandang. Kalau tidak tidur di Warkoplak (warung kopi langganan kami), biasanya ia akan numpang tidur di kosan saya sambil kucing-kucingan dengan ibu kos yang galaknya amit-amit. Hingga akhirnya ia memperoleh pekerjaan menjadi pelayan di Warung Penyetan Wahid Hasyim.
Namun, sebelum itu, ada cerita yang sampai saat ini masih membekas. Setelah drama cekcok dengan saudaranya, Rizquna sempat pulang ke Blitar sebentar. Saat itu, karena ia tidak punya ongkos untuk beli tiket kereta balik ke Surabaya dan ia tidak mungkin meminta ke ibunya, ia akhirnya nekat bersepeda 10 jam Blitar-Surabaya.
“Naik motor tiga jam ae udah bikin peyok, lah koen cuk, kok bisa-bisanya dulu ngontel 10 jam Blitar-Surabaya itu, loh. Ora umum tenan,” celetuk saya mengenang masa-masa sulit yang pernah Rizquna alami. Ia menyambut celetukan saya dengan tertawa dan sedikit menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan dirinya sendiri.
“Itupun dulu, pagi-pagi pas baru nyampe Surabaya langsung ikut kuliah, masio akhire yo turu nang kelas,” sambungnya cengengesan.
Masalah tidak serta merta selesai. Di warung Wahid Hasyim, ia harus bekerja dari pukul 17.00 WIB sampai 05.30 WIB, itupun dengan gaji yang hanya berkisar di angka satu juta sekian. Kalau sempat, ia biasanya akan tidur satu jam atau dua jam untuk kemudian lanjut kuliah. Kalau tidak sempat, ya bukan pemandangan yang aneh ketika kami mendapati dirinya sudah tertidur pulas di kursi pojok belakang kala mata kuliah berlangsung.
Lain itu, yang paling saya ingat dari Rizquna adalah, bagaimana ia harus memutar otak untuk mengatur keuangannya. Dengan gaji yang tidak seberapa itu, ia harus menyisihkan uang untuk bayar UKT, dan sisanya untuk membeli rokok. Untuk berhemat, bahkan sering sekali ia kalau ngopi sama anak-anak tidak pesan sama sekali. Oh ya, satu lagi, di masa-masa itu, nyaris setiap malam ia meminjam telepon genggam saya untuk menelepon pacarnya karena ia saat itu masih belum punya.
Semester selanjutnya, ia akhirnya keluar dadi warung Wahid Hasyim dan beralih pekerjaan menjadi satpam di kampus sebelah, Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Baru di masa-masa itu, dengan gaji di angka Rp2 jutaan, ia akhirnya ngekos sendiri bersama satu kawan saya yang lain. Namun, menginjak semester enam ia memilih keluar karena pencairan gaji yang sering nunggak. Sementara ia sendiri, selain harus membayar UKT juga harus mencicil hutang ke beberapa orang.
Lalu sesaat setelahnya ia memutuskan pulang ke Blitar, dan tahu-tahu justru mencoba peruntungan dengan berdagang tempe. Bahkan seturut pengakuannya, sebelum pulang ke Blitar, ia sempat beberapa bulan menjadi pelayan di salah satu warung soto Madura, biar dapat ongkos pulang. Ah, lulus lebih cepat membuat saya ketinggalan banyak cerita dari Rizquna.
Omzet besar, modal nikah, dan apa kabar skripsi?
Pukul 20.35 WIB, kami meluncur ke salah satu kafe di seberang kompleks Candi Penataran, candi yang diduga merupakan peninggalan Kerajaan Kediri dan Kerajaan Majapahit. Udara di sekitar candi benar-benar dingin menusuk, jaket tebal yang saya kenakan bahkan tidak cukup membuat saya merasa hangat.
Setelah ngobrol random tentang banyak hal dan saling gojlok soal hubungan percintaan masing-masing kami, saya mencoba mengulik alasan Rizquna memilih meninggalkan kuliah untuk berdagang tempe.
“Masa-masa nganggur sebelum ada Corona itu kan nggak ada pemasukan, nggak ada dana buat bayar UKT. Terus kepikiran, ah mending cuti dulu lah sambil nyari duit lagi. Wong ya tinggal skripsian sama nambal beberapa matkul yang nggak lulus,” ujarnya dengan memasang wajah serius.
Rizquna bercerita, di bulan-bulan pertama saat ia mulai mencoba memproduksi tempe sendiri memang tidak berjalan lancar. Paling banter pelanggannya ya dari tetangga-tetangganya sendiri, sehingga tidak balik modal. Namun, berkat ketekunannya, lambat-laun tempe produksinya mulai banyak yang meminati. Sampai saat ini, setiap pagi ia harus menyetor tempe ke 21 pelanggan tetap. Untuk ukuran pendatang baru, tentu itu adalah angka yang lumayan tinggi. Pasalnya, pedagang tempe dari desa sebelah yang notabene sudah lama memiliki pelanggan 30-an lebih.
“21 itu saya bagi. Jadi saya setor ke 10 titik, terus 11 sisanya diatasi adik saya yang gede,” terangnya dengan asap rokok yang mengepul dari mulutnya.
Dari 21 pelanggan itu per hari biasanya ia dapat Rp 200 ribu, kadang Rp 300 ribu. “Karena saya kan sistemnya nitipke. Nah, kalau ada yang nggak kejual, kan saya ambil lagi. Jadi memang naik-turun antara Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu. Per bulan, Rizqina bisa mendapatkan omset Rp 6 juta – Rp 9 juta.
“Terus skripsimu piye?”
Mendengar pertanyaan saya mengenai skripsi, Rizquna berkali-kali melafalkan “asu” dan geleng-geleng kepala. Ia mengaku buntu dan nggak memiliki gairah sama sekali untuk mengerjakannya. “Cuk makalah ae seringnya copy paste, lah ini skripsi disuruh mikir sendiri. Berraaatttt,” ungkapnya sambil menjambak-jambak rambut jametnya yang panjang terurai.
Selesai memperbaiki posisi duduknya, Rizquna mengaku saat ini ia sudah bisa menyokong biaya pendidikan tiga adiknya. Satu sudah menginjak semester delapan, satunya lagi baru lulus SMA dan hendak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, dan yang terakhir masih kelas dua SMA.
Baginya, itu yang lebih penting, pendidikan adik-adiknya bisa terurus dengan baik. Tidak seperti dirinya dulu yang harus mobat-mabit tiap jelang pembayaran UKT. Setidak-tidaknya, ia bisa mengurangi beban ibunya yang harus banting tulang sejak ayahnya ambruk tujuh tahun silam. Dari tempe itu juga ia bisa menebus motor Mega Pro 2014 bekas.
Jujur, syukur, dan santun adalah kunci
Seperti sudah saya niatkan semalam, pagi itu, Minggu (6/6/2021) saya bermaksud menemani Rizquna setor tempe untuk pelanggan. Dengan mata terkantuk-kantuk, sekitar pukul 05.12 WIB saya membonceng Rizquna sambil memangku satu keranjang tempe yang akan disetor meluncur menuju kios-kios pedagang yang menjadi pelanggan tetapnya.
Dari pengalaman pagi itu saya akhirnya tahu kenapa banyak orang yang akhirnya memilih berlangganan kepada Rizquna. Pertama, ia adalah seseorang yang santunnya masyaAllah. Gestur tubuhnya, tutur katanya, dan caranya berkomunikasi dengan pelanggan dan orang-orang yang ia jumpai pastilah membuat banyak orang meleleh. Kalau tidak dengan “nyuwun sewu”, ia pasti mengawali setiap ucapannya dengan “ngapunten”. Dari kepribadiannya yang demikian, maka tidak heran jika kemudian banyak orang yang lebih nyaman berlangganan kepadanya.
Kedua, sebisa mungkin Rizquna mengutamakan kejujuran dalam berdagang. Dalam membuat tempe, ia mengaku tidak pernah menggunakan trik-trik atau siasat apapun yang hanya menguntungkan dirinya sendiri, sementara di sisi lain merugikan pelanggan dan konsumen.
“Nomor satu penting kualitas tempe saya tetep terjaga. Kayak misalnya sekarang ini, harga kedelai kan lagi naik-naiknya. Nah, kalau mau kan mestinya harga tempenya juga saya mahalkan. Atau kalau nggak ya harga tetap, tapi takaran kedelainya yang dikurangi. Atau bisa juga diakali gini, kedelai nggak usah dicuci terlalu bersih, nah kulit-kulit yang masih nyangkut itu kan juga mempengaruhi takaran. Jadi kayak-kayak memang takaran normal, padahal udah kurang. Terlihat sesuai karena ketambahan kulit-kulit tadi. Tapi kalau menyisakan kulit, kualitas tempenya nanti kurang bagus, rasanya beda,” bebernya saat kami dalam perjalanan keluar dari area pasar.
Rizquna tidak melakukan cara-cara itu. Ukuran tempenya tetap, harganya tidak dinaikan dan kualitasnya juga terjaga. “Yang terpenting bisa menjaga kepercayaan pelanggan lah,” imbuhnya.
Saya jadi penasaran untuk mengulik pengakuan dari beberapa pelanggan Rizquna. Mengulik alasan mereka memilih berlangganan tempe dari Rizquna, juga perihal bagaimana sosok Rizquna dalam pandangan mereka. Saya iseng-iseng memancing obrolan dengan tiga pelanggan terakhir, yakni Agus (30), Yati (40).
Agus mengaku, pertama kali ia melihat Rizquna, sebenarnya ia tidak cukup sreg. Namun karena wajah Rizquna yang memelas saat menawarkan tempe, ia akhirnya luluh, hingga akhirnya menjadi salah satu pelanggan yang sangat akrab dengan Rizquna.
“Dulu itu ya, pas ngeliat Mas Rizqi (panggilan untuk Rizquna) saya itu mamang (ragu). Yo delok wae to, modelnya kayak orang nggak kerumat. Dulu itu mesakke (kasihan),” ujar Agus. Ternyata saat ambil tempenya, Agus merasa kualitas tempe Rizquna bagus. Kalau tebal nggak lebih tebal dari tempe-tempe lain. Hanya rasanya lebih gurih..
“Nah terus ini yang bikin saya akhirnya seneng sama Mas Rizquna. Orangnya seneng guyonan og, Mas. Terus nuakke (menghormati yang tua) puoll,” imbuhnya.
Hal serupa juga diutarakan oleh pedagang lainnya, Yati (40). Ia mengamini bahwa Rizquna adalah pemuda dengan kepribadian yang menyenangkan. Yati patut berkomentar demikian, sebab ia lah pemilik kios yang di Minggu pagi itu dibantu Rizquna saat riweuh sendiri dengan barang belanjaannya.
Baik Agus dan Yati sepakat, selain kualitasnya bagus, harga tempe yang dijual stabil dan tidak mengurangi ukuran ketika harga bahan baku naik.
Menginjak pukul 07.30 WIB, tempe sudah disetor ke kios-kios pelanggan. Dalam perjalanan menuju rumah, Rizquna membeberkan kunci ketiga yang membuatnya merasa usaha tempenya terasa seperti digampangkan oleh Allah Swt. Yaitu syukur.
“Selama ini saya selalu percaya sih sama ayat yang intinya, kalau kita syukur pasti rezeki kita bakal ditambah. Itu terbukti, loh! Kalau saya rasa-rasain, selama ini walaupun hidup saya segitu memprihatinkannya di mata orang lain, tapi saya tetep ngerasa ayem saja di hati. Nggak pernah takut besok nggak bisa makan. Lah piye, ibarat Gusti Allah yang ngasih kita mulut sama perut, hla mosok nggak dikasih makanannya,” ujarnya dengan nada sedikit meninggi, beradu dengan angin lereng Gunung Kelud yang berhembus kencang sekali.
BACA JUGA : Sekolah Mahal di Jogja, Ada Rupa Ada Harga dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.