Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Histori

Membongkar Stigma Orang Jawa adalah Pemalas

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
10 Desember 2024
A A
Membongkar Stigma Orang Jawa adalah Pemalas.MOJOK.CO

Ilustrasi Membongkar Stigma Orang Jawa adalah Pemalas (Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Pernahkah kamu mendengar guyonan peyoratif semacam: “Jamet”, “Jawa Hama”, “Jawa Kuli”, sampai “Jawa Pemalas”? Ya, itu bukan cerita baru, khususnya olok-olok yang terakhir. Sejak zaman penjajahan, orang-orang Jawa memang sudah mendapat stereotipe sebagai bangsa yang malas. 

Sialnya, label negatif itu bahkan melekat hingga sekarang. 

Namun, buku The Myth of the Lazy Native membongkar stigma itu. Buku karya Syed Hussein Alatas ini menyebut bahwa pelabelan pemalas cuma pandangan bias penjajah yang kesal melihat pribumi tak mau dieksploitasi. Bagaimana ceritanya?

Melayu dan Jawa di mata Barat, pada awalnya

Sejak lima abad yang lalu, bangsa Barat telah merumuskan cara pandang mereka terhadap orang-orang di Asia Tenggara. Khususnya bangsa Melayu dan Jawa. 

Kisah paling awal dicatat oleh Tom Pires, penjelajah asal Portugis yang mengunjungi Asia Tenggara awal abad ke-14 lalu. Menurut Pires, orang-orang Melayu adalah bangsa yang pencemburu. 

“Karena para istri orang-orang penting tidak pernah terlihat di muka umum. Jika akan bepergian, mereka akan menggunakan kereta kuda tertutup dan dilakukan bersama-sama,” tulis Tom Pires dalam karya monumentalnya, Suma Oriental.

Membongkar Stigma Orang Jawa adalah Pemalas.MOJOK.CO
Tom Pires tercatat sebagai penjelajah Barat pertama yang menulis gambaran soal orang Jawa dan Melayu (sumber gambar: Wikipedia)

Setelah Tom Pires, penjelajah Portugis lain, Duarte Barbossa, juga punya deskripsinya. Baginya, orang-orang Melayu, terutama yang muslim, adalah masyarakat ramah, penyayang, dan lembut. Sementara orang Jawa dia gambarkan sebagai bangsa yang kuat, terampil, dan pandai membuat perahu serta senjata tradisional.

Pandangan Barbossa kurang lebih sama dengan Emanuel Godhino de Eredia dan John Francis Gemelli Careri yang datang berangsur-angsur seabad dan dua abad setelahnya. Intinya, mereka melihat orang-orang pribumi, terutama muslim sebagai karakter unik.

Di satu sisi, kelompok masyarakat mereka amat taat beragama. Namun, di sisi lain, mereka juga menormalisasi kebohongan, pencurian, bahkan kecurangan saat berdagang.

Jawa, bangsa yang mandiri

Tiga abad setelah Tom Pires, Sir Thomas Stamford Raffles memasuki Nusantara. Kala itu, dia menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada 1811-1816.

Meski usia jabatannya cuma setengah dekade, boleh dibilang Raffles menjadi satu dari sekian banyak orang Barat yang sangat mengagumi Jawa. Banyak pepatah bahkan mengatakan, “setengah hati Raffles masih berada di Jawa ketika dia pergi.”

Maka tak heran, dia berhasil menyusun risalah penting History of Java. Karya ini menjadi buku babon bagi para sejarawan untuk memahami bangsa Jawa pada konteks masa kolonial. Meski kesimpulan-kesimpulan yang ditulis Raffles cukup bias dan eropasentris, setidaknya temuan-temuannya amat presisi dan “jujur”.

Orang Jawa Itu Pemalas, Mitos atau Fakta.MOJOK.CO
Raflles, penulis risalah History of Jawa, punya kesimpulan unik soal karakter orang Jawa (sumber gambar: Wikipedia)

Yang paling menarik, adalah deskripsi Raffles tentang orang Jawa itu sendiri. Menurut Raffles, orang Jawa itu unik karena meski hidup sederhana, mereka bisa mandiri.

Misalnya, dari segi pakaian, dia melihat rakyat biasa memakai kain lusuh. “Laki-laki bertelanjang dada,” kata dia, “sementara perempuan menggunakan kain penutup dada.”

Iklan

Rumah-rumah juga tampak sederhana. Berdinding kayu dan beratap ilalang. Uniknya, perabotan rumah hingga atap ilalang, mereka bikin sendiri. Bagi Raffles, orang-orang Jawa ini sangat kreatif–meski dalam beberapa penggalan tulisan, dia menegaskan orang Jawa itu “primitif”. Tak cuma kreatif, mereka juga ulet: bekerja di sawah, berangkat pagi dan pulang petang.

Orang Jawa dicap pemalas gara-gara nggak mau dieksploitasi penjajah

Sejak dicetuskannya sistem tanam paksa alias cultuurstelsel pada 1830, pandangan terhadap orang Jawa berubah 180 derajat. Orang Jawa, yang awalnya disebut ulet–meski dengan sikap primitifnya–justru berbalik mendapat stigma pemalas.

Syed Hussein Alatas dalam The Myth of the Lazy Native (terj. Mitos Pribumi Malas) menjelaskan asal-usul stigma malas tersebut. Berdasarkan temuannya, Alatas berkesimpulan kalau label “malas”, sebenarnya adalah cara menjustifikasi penjajahan serta mengabaikan perlawanan terhadap rezim kolonial Hindia Belanda. 

Orang Jawa Itu Pemalas, Mitos atau Fakta.MOJOK.CO
Foto ilustrasi – buku ‘The Myth of the Lazy Native’ karya Syed Hussein Alatas.

Memasuki abad ke-18, kerja-kerja yang diakui pemerintah kolonial hanyalah yang punya orientasi industri. Misalnya, dalam konteks Jawa, para petani dipaksa menanam komoditas yang cuma diinginkan oleh pemerintah kolonial. Imbasnya, sistem kerja masyarakat pribumi menjadi kurang dinamis. 

Padahal, Alatas berpandangan seandainya petani-petani Jawa ini dibiarkan bekerja secara dinamis, mereka tetap bisa mandiri–seperti sempat disinggung Raffles. Pun, paksaan menanam komoditas tertentu yang sama sekali baru dan asing bagi petani, amat menyulitkan mereka.

Alhasil, ketika hasil tak sesuai yang diharapkan, orang-orang Jawa ini langsung mendapat label pemalas. Bahkan, segala bentuk perlawanan atas sistem yang tak adil itu juga bakal dijuluki indolent alias “malas”.

“Yang membuat bangsa Melayu diberi julukan sebagai pemalas adalah penolakan mereka untuk dijadikan alat dalam sistem produksi kapitalisme kolonial,” tulis Alatas.

Kalau orang Jawa itu pemalas, pasti sudah punah

Alatas berpandangan, kolonialisme butuh sumber daya manusia murah, yang tenaganya bisa dihisap untuk keuntungan besar. Dan, dalam konteks kolonialisme di Hindia Belanda, orang-orang Jawa adalah SDM murah tersebut.

Alhasil, segala bentuk resistensi tak terhindarkan, sebab demi melanggengkan kolonialisme itu pasti diikuti dengan represi. Baik itu kekerasan terhadap petani, pengambilalihan lahan secara paksa, bahkan penculikan dan perbudakan.

Sialnya, ketika orang Jawa, para pribumi ini memberikan perlawanan, mereka langsung dicap sebagai pemalas; dianggap nggak mau kerja atau nggak mau nurut.

Hal ini tentu menjadi ironi, sebab jika orientasi label pemalas memiliki singgungan dengan kelas-kelas nirproduktif, kata Alatas, bukankah orang-orang kulit putih saat itu lebih tidak produktif dan parasitik? Mereka hidup dalam kemewahan, dimanjakan para babu dan budak, dan tak pernah bekerja–hanya mengandalkan keuntungan dari hasil menjajah. Namun, dengan enaknya mereka menyebut orang-orang yang dijajah sebagai pemalas.

Logika sederhana yang dilempar Alatas adalah, seandainya pribumi benar-benar pemalas, pasti mereka sudah punah. Nyatanya, mereka masih eksis hingga sekarang.

Sialnya, kemerdekaan tak cukup kuat untuk menanggalkan label pemalas dari orang-orang Jawa itu. Sampai akhirnya, hari ini, ketika terjadi masalah struktural seperti kemiskinan atau pengangguran, diskursus pemalas (ngggak mau kerja, atau nggak mau cari kerja) selalu dilempar kepada masyarakat yang sebenarnya adalah korban. Persis seperti apa yang dilakukan penjajah.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA Kuli Jawa Sudah Terkenal Sejak Masa Kolonial, Gantikan Eksistensi Pekerja Cina

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Terakhir diperbarui pada 10 Desember 2024 oleh

Tags: bangsa jawajametjawajawa pemalasorang jawapenjajahan
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

Pulau Bawean Begitu Indah, tapi Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri MOJOK.CO
Esai

Pengalaman Saya Tinggal Selama 6 Bulan di Pulau Bawean: Pulau Indah yang Warganya Terpaksa Mandiri karena Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri

15 Desember 2025
Cerita Kebiasaan Orang Jawa yang Bikin Kaget Calon Pendeta MOJOK.CO
Esai

Cerita Calon Pendeta yang Kaget Diminta Mendoakan Motor Baru: Antara Heran dan Berusaha Memahami Kebiasaan Orang Jawa

21 November 2025
Bahasa Jawa harus dipelajari Gen Z. MOJOK.CO
Ragam

Cara Menjadi Jawa Seutuhnya dengan Mengilhami Bahasa, Tanpa Mencampurnya Jadi “Jawindo” dan Bahasa Slang ala Gen Z

24 Oktober 2025
Aksara jawa. MOJOK.CO
Ragam

Aksara Jawa Bukan Sekadar Mantra Berbau Klenik, Bisa Menyelamatkan Hidup jika Dipahami Secara Sains

23 Oktober 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Pontang-panting Membangun Klub Panahan di Raja Ampat. Banyak Kendala, tapi Temukan Bibit-bibit Emas dari Timur Mojok.co

Pontang-panting Membangun Klub Panahan di Raja Ampat. Banyak Kendala, tapi Temukan Bibit-bibit Emas dari Timur

17 Desember 2025
Wali Kota Semarang uji coba teknologi bola GPS untuk mitigasi banjir Semarang MOJOK.CO

Bola GPS Jadi Teknologi Mitigasi Sumbatan Air Penyebab Banjir di Simpang Lima Semarang

13 Desember 2025
Sirilus Siko (24). Jadi kurir JNE di Surabaya, dapat beasiswa kuliah kampus swasta, dan mengejar mimpi menjadi pemain sepak bola amputasi MOJOK.CO

Hanya Punya 1 Kaki, Jadi Kurir JNE untuk Hidup Mandiri hingga Bisa Kuliah dan Jadi Atlet Berprestasi

16 Desember 2025
UGM.MOJOK.CO

UGM Berikan Keringanan UKT bagi Mahasiswa Terdampak Banjir Sumatra, Juga Pemulihan Psikologis bagi Korban

18 Desember 2025
Pamong cerita di Borobudur ikuti pelatihan hospitality. MOJOK.CO

Kemampuan Wajib yang Dimiliki Pamong Cerita agar Pengalaman Wisatawan Jadi Bermakna

16 Desember 2025
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.