Ciung Wanara bukan cuma dongeng. Ia adalah simbol perlawanan rakyat terhadap tirani. Hari ini, kisahnya kian relevan.
***
Dongeng, bagi banyak orang, hanyalah penawar tidur. Namun, bagi bangsa yang sejarahnya panjang dan getir, dongeng seringkali menjadi satu-satunya cara untuk menyampaikan kebenaran tanpa harus mati dibunuh kekuasaan.
Di tanah Sunda, salah satu kisah yang diwariskan dari lidah ke lidah adalah cerita Ciung Wanara. Kisah seorang anak buangan yang akhirnya merebut kembali haknya dari tangan penguasa zalim.
Bertahun-tahun, kisah ini dibaca sebagai cerita moral tentang kejujuran dan takdir. Namun, di balik balutan moral value itu, sebenarnya tersimpan tafsir lain tentang perlawanan rakyat terhadap tirani.
Ciung Wanara bukan sekadar tokoh yang mencari ayahnya. Ia adalah suara rakyat kecil yang dirampas haknya, bangkit menantang kekuasaan curang, dan mengajarkan satu pelajaran sederhana. Bahwa keadilan tidak menemukan jalannya sendiri, tapi memang perlu dituntut.
Lebih dari sekadar dongeng
Dongen Ciung Wanara lahir dari Kerajaan Galuh, ketika perebutan takhta diwarnai fitnah dan pengkhianatan. Ciung Wanara sendiri merupakan seorang putra raja, yang akibat intrik di dalam istana, dibuang jauh sebelum sempat mengenal siapa dirinya.
Bertahun-tahun kemudian, anak buangan itu kembali. Ia berusaha menyingkap kebenaran, dan menuntut haknya sebagai pewaris sah kerajaan.
Dalam pembacaan masyarakat awam, sebagaimana ditulis dalam penelitian Gilang K. Praramdana dan kolega (2020), kisah ini dianggap sekadar cerminan nilai-nilai luhur: kebenaran akan menang, atau kebajikan akan mengalahkan kejahatan. Tafsir semacam itu tidak keliru, tapi menyederhanakan cerita menjadi pengajaran moral yang jinak.
Ia menjauhkan Ciung Wanara dari konteks sosial-politiknya. Tentang perebutan kekuasaan yang timpang, ketidakadilan yang menimpa yang lemah, dan cara rakyat menegakkan harga diri tanpa senjata.
Kisah ini adalah potret sistem kekuasaan yang kotor, di mana kebenaran dikalahkan oleh intrik, dan darah biru (dinasti) dijadikan alasan untuk menindas. Maka membaca Ciung Wanara hari ini, artinya membaca kembali sejarah rakyat yang tersisih, tapi tak pernah menyerah menuntut haknya.
Ciung Wanara menolak tunduk pada kekuasaan
Setiap rakyat yang tertindas selalu punya cara untuk melawan. Mereka mungkin tak memiliki senjata, tapi memiliki sesuatu yang lebih tajam: cerita. Di tangan rakyat, mitos bukan sekadar hiburan; ia adalah bentuk kesadaran yang disamarkan–cara paling halus untuk berbicara di hadapan kekuasaan tanpa harus dihukum mati.
Kisah Ciung Wanara lahir dari kesadaran semacam itu. Ia bercerita tentang seorang anak buangan yang ditindas oleh kelicikan istana, tapi tidak membalas dengan kekerasan. Ia menunggu, belajar, lalu menuntut haknya dengan kepala dingin.
Perlawanan yang demikian tidak heroik dalam pengertian perang. Namun, secara moral, ia tetap heroik karena menunjukkan bahwa rakyat kecil bisa menegakkan martabatnya dengan kesabaran dan kecerdikan.
Dalam banyak kisah rakyat Nusantara, pola semacam ini berulang. Dalam La Galigo, misalnya, Sawerigading menolak tunduk pada tatanan langit. Ia memberontak terhadap takdir.
Ciung Wanara pun menolak tunduk pada tatanan istana dengan melawan hukum yang dibuat untuk menyingkirkan dirinya. Dua legenda ini lahir dari ruang budaya yang berbeda; La Galigo dari Bugis, Ciung Wanara dari Tanah Sunda. Namun, keduanya sama-sama menyuarakan penolakan terhadap kekuasaan yang mengatur hidup manusia tanpa keadilan.
Perlawanan mereka tidak meledak, tapi meresap. Ia bukan revolusi yang datang dari istana, melainkan dari hati rakyat. Karena itu, membaca Ciung Wanara berarti membaca sejarah bawah sadar bangsa–sejarah yang tak tercatat di naskah istana, tapi hidup di lidah rakyat jelata.
Ia mengajarkan bahwa keadilan tak harus datang dari atas. Kadang ia muncul dari mereka yang paling tak diperhitungkan, dari anak buangan yang menolak mati sebagai korban. Dan dari sanalah, kesadaran rakyat lahir, bahwa kekuasaan yang curang hanya bisa dikalahkan dengan keyakinan dan akal sehat.
Dongeng sebagai “dokumen politik”
Tirani selalu hadir dalam rupa yang sama: kekuasaan yang rakus dan kebenaran yang dibungkam. Dalam kisah Ciung Wanara, tirani itu hadir lewat raja yang zalim dan pendengung (buzzer) yang licik.
Ciung Wanara menentang semua itu dengan cara yang tidak biasa. Ia menegakkan keadilan melalui akal dan martabat, bukan kekerasan.
Ia mengembalikan makna kekuasaan kepada asalnya, bahwa raja tidak berkuasa karena keturunan, tetapi karena keadilannya.
Alhasil, kalau mengutip Olga Danglova dalam risalahnya, Popular Traditions, Folklore and Politics (2009), “Dongeng menjadi dokumen politik”. Ia mencatat satu pesan yang terlalu berani untuk diucapkan di masa kerajaan, bahwa kekuasaan yang curang pantas digulingkan, dan rakyat berhak menuntut keadilan.
Itulah sebabnya kisah ini bertahan berabad-abad. Ia tak hanya hidup karena indah, tapi karena benar. Ia mengajarkan bentuk perlawanan yang khas Nusantara: sabar, cerdik, dan bermoral. Perlawanan yang tahu kapan harus tunduk dan kapan harus menegakkan kepala.
Ciung Wanara memilih jalan anti-kekerasan
Jika kita menengok sejarah, pola itu terus berulang. Pangeran Diponegoro, misalnya, juga lahir dari ketidakadilan istana. Ia diasingkan oleh bangsanya sendiri, lalu bangkit melawan kolonialisme.
Seperti Ciung Wanara, ia berangkat dari luka, bukan ambisi. Keduanya menuntut hak yang dirampas. Bedanya, Diponegoro memilih jalan perang. Ia memilih menyalakan api di tanah Jawa, sementara Ciung Wanara memilih jalan moral, membuktikan kebenaran dengan kepala dingin.
Dua-duanya anak bangsa yang percaya bahwa kekuasaan yang tak adil harus digugat, entah dengan pedang atau dengan kata. Dalam dongeng, Ciung Wanara digambarkan memilih jalan cerdik sekaligus psikologis memalui pertarungan sabung ayam.
Berbeda lagi dengan Hang Tuah dari tanah Melayu. Ia setia kepada rajanya, bahkan ketika sang raja tak lagi pantas disetiai. Namun, di balik kesetiaan itu, selalu ada luka dan kebingungan antara kehormatan dan kebenaran.
Di sinilah bedanya dengan Ciung Wanara. Jika Hang Tuah tunduk pada kekuasaan demi menjaga adat, Ciung Wanara menolak kekuasaan demi menjaga keadilan.
Ketiganya: Ciung Wanara, Diponegoro, Hang Tuah, adalah bayangan-bayangan dari satu akar yang sama. Yakni perlawanan terhadap ketidakadilan, meski dengan cara yang berbeda. Mereka adalah wajah-wajah rakyat yang menolak tunduk pada nasib, tapi juga tahu bahwa keadilan tidak selalu lahir dari pedang; kadang ia lahir dari kesabaran, akal, dan keyakinan moral.
Saat tirani cuma ganti rupa, dongeng menemukan relevansinya
Kalau meminjam kredonya Timothy Snyder dalam bukunya Tentang Tirani, kita harus sepakat bahwa kita mungkin hidup di zaman tanpa raja, tapi tirani tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berganti nama, berganti wajah, berganti seragam.
Namun, sebagaimana dalam dongeng itu, rakyat selalu punya caranya sendiri dalam melawan tirani. Kadang mereka diam, meski diam bukan berarti tunduk, melainkan menunggu waktu. Ketika saatnya tiba, mereka akan menegakkan kebenaran, bukan dengan amarah, tapi dengan keyakinan.
Itulah mengapa Ciung Wanara tetap hidup sampai hari ini. Ia hidup dalam ingatan, dalam dongeng di buku sekolah, dalam cerita ibu yang menidurkan anaknya, dan jiwa setiap orang yang menolak disingkirkan.
Ia adalah lambang bahwa kekuasaan bukanlah warisan, tapi amanat. Dan selama ada satu saja manusia yang berani berkata “tidak” pada ketidakadilan, roh Ciung Wanara tidak akan mati.
Ia akan terus berjalan, dari istana ke rakyat, dari dongeng ke sejarah, dari masa lalu ke masa kini. Untuk menyampaikan pesan abadi: bahwa tirani boleh berkuasa, dan kebenaran akan selalu menemukan jalannya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kisah Kerupuk Kaleng Sunda Menguasai Lidah Orang Jogja Sejak 1930-an atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












