Katanya, merantau ke Jakarta, adalah ikhtiar terakhir, dan puncak dari segala usaha seseorang untuk memperbaiki nasib. Jakarta yang kerap digambarkan keras, jadi alasan orang-orang untuk memikirkan ulang keputusan merantau ke Ibu Kota. Keras, jahat, tak punya nurani, dan tak ada tempat untuk hati-hati kecil.
Tapi tak bisa dimungkiri, Jakarta adalah tempat di mana orang benar-benar membalikkan nasibnya. Tukang bakso di Girimarto yang merantau ke Jakarta adalah contoh terbaik yang bisa saya tangkap. Selain itu, masih banyak kesuksesan yang saya dengar. Jakarta jahat, tapi uangnya enak.
Semua hal itu membawa kita ke kesimpulan, bahwa Jakarta (mungkin) tidak seburuk itu.
Amy (28), mengatakan bahwa dia tak pernah menyesal merantau ke Jakarta. Bahkan, harusnya dia melakukannya sejak dulu, tak menghabiskan waktu di Jogja kelewat lama, dan langsung ke Jakarta. Mantan pengawas gajah di Jambi yang kini bekerja jadi SPV Operasional di salah satu perusahaan di Jakarta ini mengaku bahwa keputusannya untuk menjejakkan kaki di Ibu Kota adalah keputusan paling tepat yang harusnya dia ambil lebih cepat.
“Dulu terlalu banyak mendengar Jakarta keras jadi seperti terhipnotis Jakarta mengerikan. Tapi setelah dijalani, tidak seperti banyak omongan orang.”
Amy mengaku Jakarta tak semengerikan itu. Memang orang-orang Jakarta tak seramah Jogja, tapi dia tak ambil pusing tentang itu. Meski pada beberapa momen, dia mengaku kesepian.
“Di Jakarta, jadi sendiri gitu, nggak ada teman, habis kerja tidur, kayak nggak ada kehidupan jadinya.”
Merantau ke Jakarta tidak sengeri itu
Bagi Amy, merantau ke Jakarta itu artinya memperbaiki hidup. Banyak relasi, kesempatan, dan peluang yang tersedia di sini. Apalagi jika memang jeli dalam melihat celah-celah, Jakarta adalah tempat terbaik.
Amy juga bilang, jika tidak ikut mengubah gaya hidup, Jakarta itu benar-benar surga. Dia mengaku gaya hidup dia masih sama dengan gaya hidup dia di Jogja, maka dia bisa menabung besar. Tak terseret ke pertarungan gengsi bikin hidup dia lebih tenang. Bahkan dia bilang kalau beberapa orang Jakarta yang dia temui hanya mewah di penampilan, hidupnya jauh dari kata itu.
“Kadang suka gimana gitu ngeliatnya. Di medsos wow, pamer barang mahal, tapi di WhatsApp ngechat pinjam uang bang.”
Hal serupa dikemukakan oleh Adi, perantau dari Surabaya yang sudah beberapa lama ini menetap di Jakarta. Jakarta itu tidak ngeri, apalagi jika bicara biaya hidup.
“Kalau ngeri adalah tentang biaya hidupnya, nasi padang lauk telur harga 10 ribu dengan radius 5 km dari gedung DPR masih ada. Bahkan di PIK 2 yang terkenal mahal itu, kemarin sewaktu saya mampir ke sana masih ada yang jual nasi padang lauk telur di harga 15 ribuan.”
Bagi Adi, Jakarta mengerikan itu sebenarnya kurang tepat sebab pada dasarnya, tiap daerah itu punya kengeriannya sendiri. Katakanlah bicara gaya hidup hedon, Ibu Kota memang stand out, tapi bukan berarti kota lain tidak.
“Sebenernya kalau urusan ngeri atau enggaknya emang kembali ke orang2nya masing-masing ya, Mas. Saya lahir di Surabaya dan besar di Sidoarjo yang erat dengan kekhasan kota industri dan punya kultur ‘rush’ yang juga unik, mungkin membentuk mentalitas yang berbeda. Apalagi saya juga pernah merantau di Jogja 5 tahun terus 4 bulan di Kalimantan, jadi Jakarta malah terkesan biasa saja. Apalagi salah satu gairah saya ketika pertama kali datang ke sini adalah untuk ‘Menggugat Jakarta’, bagi saya Jakarta justru lebih ke kemaki ketimbang ngeri.”
Baca halaman selanjutnya