Seorang pelanggan Kopi Klotok mengaku menyesal, selama kuliah di Jogja, bersama teman-temannya ia kerap memesan menu tanpa membayar. Padahal, baginya warung ini jadi tempat nyaman melepas penat selama masa studinya.
***
Kopi Klotok menyajikan tempat yang nyaman untuk bercengkerama sekaligus menu-menu makanan yang membuat pelanggan serasa di rumah. Tak heran, dulu semasa masih menjadi mahasiswa, saya sering mendengar teman menyebut tempat ini sebagai “Rumah Nenek”.
Pagi-pagi ketika akhir pekan, kami sering berlomba dengan wisatawan untuk mengamankan tempat terbaik di sudut-sudut Kopi Klotok. Agak kesiangan sedikit, bisa kehabisan tempat atau terpaksa bersabar karena antrean panjangnya.
Saat berkunjung ke sana, menu andalan untuk kami pesan tentu kopinya yang hitam pekat. Perpaduan kopi hitam dengan seporsi pisang goreng di sana memang memikat lidah pelanggan. Cocok jadi teman berbincang panjang tentang berbagai hal.
Jika lapar, menu makanan prasmanan bisa kami ambil dengan porsi sepuasnya. Andalannya tentu nasi sayur lodeh kluwih dipadukan dengan telur dadar krispi. Sambal orek cabai merahnya juga pedas menggugah selera.
Salah satu ikon kuliner Jogja
Kopi Klotok seperti sudah jadi salah satu ikon kuliner Jogja. Beberapa tahun terakhir, bukan hanya wisatawan keluarga yang rutin mampir, parkiran tempat ini juga kerap dipenuhi bus-bus besar dari luar kota.
Warung ini menyajikan suasana yang ramah serasa di rumah sendiri. Dulunya saya mengira, itulah alasan banyak sebutan “rumah nenek” tersemat pada tempat ini.
Namun, ternyata sebutan “rumah nenek” yang jamak terdengar di kalangan mahasiswa Jogja ini punya konotasi lain.
“Ada yang nyebut rumah nenek karena vibesnya yang tradisional. Tapi ada yang menyebut begitu karena bisa makan tanpa bayar,” ujar Tono (25), alumnus salah satu perguruan tinggi swasta di DIY yang tak mau nama aslinya disebut jelas.
Memang, bangunan warung yang berdiri di tanah seluas 3.000 meter persegi ini menggunakan bahan kayu dari rumah nenek sang pemilik di Magelang. Konsepnya bergaya rumah Jawa dengan pawon di dapurnya.
Makan di rumah ‘nenek’ dan ‘pengajian’ kode dari teman untuk makan tanpa bayar
Kopi Klotok ramai jadi perbincangan di media sosial setelah akun pengulas kuliner di Jogja, Arif Budiman mencuit kisah bahwa warung ini sering kecolongan pelanggan yang tidak bayar. Sehingga saat ini sering ada kasir keliling yang menagih pembayaran.
Pada salah satu cuitan @ariefboediman yang telah dihapus, tertera catatan 686 telur tidak terbayar ke kasir dalam sehari. Selain itu ada pindang, tempe, dan pisang sejumlah ratusan yang tidak dibayar.
Warung ini memang menerapkan sistem pembayaran di akhir setelah makan. Potensi tindak culas pelanggan yang tak membayar pesanan pun terbuka luas.
Tono adalah salah satu pelakunya. Saat masih menjadi mahasiswa di Jogja, ia mengaku berulang kali ngopi tanpa membayar di sana.
“Jujur aku termasuk golongan yang beberapa kali nggak bayar. Banyak yang bilang sistemnya yang perlu diganti. Tapi menurutku orang-orang kaya aku gini yang bermasalah,” kenangnya.
Lelaki yang kuliah di Jogja sejak 2017 silam ini awalnya mengaku sering diajak teman dengan bercanda. “Sarapan yuk di tempat ‘nenek’,” katanya.
“Atau kalau nggak, ‘pengajian’ yuk di Klotok,” imbuhnya.
Berkunjung ke rumah ‘nenek’ dan menghadiri ‘pengajian’ memang konotasinya bisa mendapatkan hidangan secara cuma-cuma. Apalagi, dulu Kopi Klotok pernah menyediakan tembakau untuk dilinting pelanggan secara gratis.
“Ya itu teman-teman jadi sering ke sana ngopi dan ngerokok. Nggak bayar semua,” ujarnya.
Tono mengaku beberapa kali tidak membayar hanya untuk menu minuman dan pisang goreng. Tidak berani sampai memesan makanan berat.
Sementara teman-temannya, ia sering menyaksikan mereka benar-benar makan banyak tanpa rasa sungkan meski tidak membayar. Ada yang ambil nasi sayur dengan telur dan ayam lebih dari satu porsi.
Penyesalan pelanggan dan ingin membayar
Kopi Klotok sempat menerapkan sistem pengecekan nota di tempat parkir. Namun, menurut Tono hal itu tidak lama diberlakukan. Sehingga teman-temannya bisa leluasa untuk melakukan praktik buruknya.
“Selama kuliah aku beberapa kali nggak bayar. Tapi nggak sampai sepuluh kali,” katanya.
Tono mengaku menyesal. Kini setelah hijrah ke luar Jogja dan mendengar berita kerugian harian Kopi Klotok yang besar akibat tindakan orang-orang sepertinya, ia ingin kembali ke Jogja untuk membayar lebih. Mengganti rugi dari tindakan-tindakannya semasa kuliah dulu.
“Dulu aku ngandelin Kopi Klotok untuk nongkrong sama teman. Enak tempatnya. Tapi jujur memang kalau lagi akhir bulan aku manfaatkan dengan tidak bayar,” terangnya.
“Kalau balik ke Jogja lagi. Udah aku niatkan untuk membayar semuanya,” imbuhnya.
Sebenarnya, fenomena tidak membayar di Kopi Klotok disadari pemiliknya sejak lama. Pendiri warung ini, Sri Handayani pada 2018 lalu pernah berujar bahwa kerap ada laporan kecurangan dari tamu yang tidak membayar ke kasir.
“Sering dapat laporan, ada yang makan dibawa ke sebelah sana (menunjuk arah timur), setelah itu langsung pergi tidak bayar, tidak apa-apa, dari awal saya sudah ikhlas buka usaha ini,” kata ibu empat anak ini melansir Kompas.com.
Namun, pada kasus-kasus semacam itu, Yani meniatkan dirinya untuk bersedekah. Ia percaya bahwa pelanggan yang jujur lebih banyak. Hal itulah yang membuat warung ini masih bertahan sampai sekarang.