Di kalangan mahasiswanya, dia dikenal sebagai dosen yang menyenangkan. Di kalangan teman-teman dekatnya, dia dikenal sebagai pribadi hangat, ramah, dan jenaka. Di kalangan penyuka tanaman, dia adalah tempat berkonsultasi tentang berbagai persoalan budidaya tanaman. Dan bagi orang-orang yang sedang menghadapi masalah dalam kehidupan, dia dirasa paling pas sebagai tempat curhat.
Di antara sekian banyak orang yang dekat dengannya, mungkin tidak banyak yang tahu nama sebenarnya. Laki-laki dari Semarang yang tahun ini berusia 47 tahun itu, lebih dikenal dengan nama panggilan Picoez. Karena dikenal tahu banyak soal berbagai hal, disemati gelar ‘profesor’. Tapi karena orangnya jenaka, sematan profesor itu disingkat dengan ‘Mprof’. Lengkap sudah nama singlonnya, dari nama aslinya yaitu Agus Affianto berubah menjadi Mprof Picoez.
Sebetulnya, saya mengenalnya sejak tahun 2007. Ketika itu, dua aktivis LSM yang bergerak di bidang kehutanan, mengajak saya bertemu. Kami pun mengopi bertiga. Mereka menawari saya pekerjaan untuk memberi pelatihan menulis. Tapi ini berbeda dengan kebanyakan pelatihan lain, sebab yang dilatih adalah para petani di pinggir hutan. Ada yang lulus SMP, tapi banyak yang lulus SD. Oke, itu bukan masalah bagi saya.
Tantangan terbesar saya ketika kemudian mengiyakan dan memberi pelatihan menulis tersebut adalah hampir semua peserta pelatihan, sudah tidak pernah memegang pena selama belasan tahun. Bahkan ketika pelatihan menulis itu akhirnya dihelat di sebuah penginapan di Jawa Timur, seorang bapak tampak gemetar ketika menerima pensil dan lembaran kertas untuk menulis pengalaman mereka selama tinggal di pinggiran hutan.
Saya mendekatinya, duduk di sampingnya, dan bertanya pelan. “Kenapa kok gemetaran, Pak?”
“Terakhir kali saya memegang pensil, kira-kira dua puluh tahun lalu, Pak…”
Saya terkesiap. Tapi justru itu membuat saya makin bersemangat untuk mendampingi para peserta pelatihan. Mungkin banyak yang tidak percaya, akhirnya semua peserta pelatihan itu mampu menghasilkan tulisan, dan tulisan itu dikumpulkan lalu diterbitkan dengan judul ‘Nyanyian dari Pinggir Hutan’. Kebetulan saya yang diminta menyuntingnya.
Sebelumnya saya memang sering menjadi fasilitator pelatihan menulis. Tapi semenjak peristiwa itu, banyak lembaga mengundang saya untuk memberi pelatihan menulis kepada orang-orang yang dianggap tidak mungkin bisa menulis seperti yang dianggap tidak punya pendidikan tinggi, hanya lulusan SD atau SMP, dan semacam itu. Hingga kemudian pada tahun 2012, secara total saya berhenti tidak mau memberikan pelatihan menulis karena alasan yang sifatnya personal, dan yang sifatnya umum. Yang sifatnya umum salah satunya adalah banyak lembaga membuat pelatihan menulis dalam waktu singkat. Terkadang mereka hanya memberi waktu sehari, bahkan kadang hanya beberapa jam. Kalau sedang kesal, saya menjawab, sebaiknya kalau durasinya seperti itu, diberi pelatihan mengupas kulit mangga atau kulit kelapa saja. Saking jengkelnya saya.
Sekitar tahun 2013 atau 2014, ada akun Twitter yang sering bersahut-sahutan dengan saya. Akunnya: @picoez. Dia kemudian mengajak saya dan beberapa teman untuk kopdar. Ngopilah kami. Ketika kami bertemu, laki-laki yang kemudian saya panggil Mprof Picoez itu meletakkan telunjuknya di kening. “Mas, Sampeyan itu Mas Puthut EA, kan?”
Saya heran campur agak sebal. Nama akun saya sama persis dengan nama saya. Mengajukan pertanyaan sejenis itu, tentu mengherankan. Tapi karena saya tidak ingin terlihat orang yang sinis atau menyebalkan pada perjumpaan pertama, saya menganggukkan kepala dengan tersenyum.
Mprof Picoez kemudian bertanya, apakah saya pernah memberi pelatihan menulis? Saya jawab, kalau 50 kali mungkin ada. Tapi dia merangsek, yang di Jawa Timur? Yang pesertanya kebanyakan tidak memegang pena selama belasan tahun? Saya langsung terhenyak.
“Kok tahu?” tanya saya penasaran.
“Lho kan saya yang menemui dan meminta Sampeyan untuk jadi fasilitatornya…”
Saya menatapnya lekat. Lupa. Tapi karena dia bisa menceritakan dengan detail, saya langsung percaya. Bahkan dia bisa mengingat berapa honorarium saya untuk memberikan pelatihan menulis. Saya tertawa ngakak. Tapi jujur saja, saat itu saya membatin, kok mukanya cepat sekali terlihat tua, ya? Karena beberapa tahun sebelumnya, yang jelas saya ingat, dua orang yang menemui saya, masih muda, bersemangat, dan banyak tertawa. Hanya yang terakhir, yang saya masih bisa mengenalinya.

 Ngobrol dengan tanaman.
Semenjak itu, kami sering bertemu, sekalipun kami sama-sama sibuk. Tentu saja terutama Mprof Picoez. Dia pergi ke satu tempat ke tempat lain untuk memberikan pelatihan tentang banyak hal, terutama setahu saya tentang hutan, tanaman, gambut, dan pembuatan pupuk. Dulu, dia sering mengenakan topi koboi, dengan banyak sekali untaian gelang kayu di tangannya. Itu mengingatkan saya dengan salah satu vokalis band rock Andi /rif.
Saya kemudian lumayan sering bermain di kantornya, yang saat itu di daerah Maguwoharjo. Tapi saya jarang terlibat kalau Andi /rif eh Mprof Picoez sedang bersama teman-temannya, yang juga saya kenal tentu saja, bermain gitar dan menyanyi bersama.
Saya lebih menikmati Mprof Picoez berkisah tentang berbagai pengalamannya datang memberi pelatihan di berbagai tempat di Indonesia. Kalau saya sedang akan berpergian ke tempat yang tidak saya kenal, biasanya saya bertanya kepadanya. Hampir semua tempat yang saya datangi, sudah pernah dia singgahi. Yang saya ingat persis adalah saat saya mau pergi ke Kaimana, Papua Barat. Mprof Picoez memberi gambaran kepada saya tentang lokasi tersebut, dan jika saya punya waktu cukup, dia merekomendasikan saya pergi ke beberapa tempat di sana yang mengasyikkan.
Dia juga sering memberi saya berbagai ramuan herbal dan madu. Sampai saking banyaknya, saya tak bisa terlalu ingat. Satu yang saya ingat, dia memberi saya potongan kayu kecil. “Untuk apa ini, Mprof?” tanya saya waktu itu. Sambil berbisik dia menerangkan, jika saya mau berhubungan badan dengan istri saya, saya diminta mencuil sedikit kayu itu. Lalu menggigitnya. “Nanti pasti jossss!” ucapnya dengan gaya senyumnya yang nakal.
Saya terdiam. Bukan karena tersinggung tentu saja. Cuma heran. “Mprof, maaf ya, aku enggak paham. Lha kalau mulutku menggigit kayu itu, bagaimana aku bisa ciuman?” Dia tertawa ngakak. Tapi tetap tak bisa menjawab pertanyaan saya. Mungkin bagi dia, bercinta tak perlu pakai ciuman. Ya sudahlah…
O, ada satu lagi yang saya ingat. Saya diberi sebotol kecil madu pahit dari Bangka. Saya merasa cocok dengan madu itu. Di pertemuan berikutnya, saya meminta lagi. Lebih tepatnya, saya mau membeli. “Mas, jika saya bilang harganya mahal, tentu Sampeyan tetap membeli. Masalahnya, produksinya memang sedikit. Setahun saya bisa membeli 5 liter saja sudah bagus. Kan saya mesti membagi-bagikannya ke orang lain. Teman saya kan bukan hanya Sampeyan….” Semenjak itu, hubungan kami makin renggang. Tentu saja saya bohong. Masak hanya perkara madu saja hubungan perkawanan jadi memburuk…
Untuk soal tanaman, saya harus mengakui kalau Mprof Picoez ini termasuk ahlinya. Saya punya banyak teman yang tahu tentang tumbuhan, tapi saya kira Mprof Picoez punya banyak kelebihan soal itu. Pertama, secara teoritis dia memang menguasai, maklum dia adalah dosen Fakultas Kehutanan UGM. Menjadi dosen di UGM, hampir bisa dipastikan karena memiliki nilai akademis yang tinggi. Khusus soal ini, saya mau melempar candaan. Tapi saya ragu. Tapi sebaiknya saya ceritakan saja. Dulu, saya sering mencandai Mprof Picoez dengan begini, “Di Fakultas Filsafat, lulusan terpintar menjadi dosen, lulusan biasa saja, jadi sastrawan terkenal. Di Fakultas Kehutanan, lulusan terpintar menjadi dosen. Lulusan biasa saja, menjadi presiden.”
Kedua, karena bergelut juga di berbagai penelitian dan pendampingan masyarakat, Mprof Picoez punya pengalaman praktik yang sangat kaya. Pengalaman itu, saya kira, yang membuatnya sangat matang dalam berbicara soal dunia tanaman. Ketiga, ini agak tidak masuk akal. Ada istilah orang ‘bertangan dingin’ dalam hal tanaman. Sehingga tanaman yang ditanam, dicangkok, dan dirawat, sering membuahkan hasil yang lebih baik dibanding orang dengan tangan biasa saja.
Beberapa kali saya saksikan, saat berhadapan dengan tanaman, Mprof Picoez seperti seorang seniman. Sangat khusyuk. Dia juga dikenal oleh teman-temannya sebagai orang yang suka mengajak ngobrol dengan tanaman. Memang sih, sudah banyak artikel atau penelitian yang bisa menjelaskan hal ini, tentang pohon atau tanaman yang sering diajak ngobrol oleh perawatnya, akan tumbuh lebih baik dan lebih subur. Yang kadang saya penasaran dan sering ingin saya rekam, apa saja tema obrolan antara Mprof Picoez dengan berbagai tanaman yang sedang dirawatnya.
Pakar bakteri dan herbal
Belum lama, salah satu teman Mprof Picoez meminta pupuk cair. Sebulan kemudian, orang tersebut memberi kabar agak mengejutkan. Pupuk cair itu disiramkan ke tanaman labu air. Setelah itu, ditinggal pergi keluar kota. Ketika balik, orang tersebut terkejut. Tanaman labu airnya menjalar hingga naik ke tiang dan kabel listrik. Namun yang menarik, buahnya banyak dan besar. Semalam, sambil menceritakan hal itu, Mprof Picoez mengambil labu air. “Sebesar ini. Aku diberi empat buah oleh temanku itu.” Buset, gede bener labu airnya, batin saya dengan rasa takjub.
Saya paling suka kalau Mprof Picoez bercerita soal eksperimennya terkait dengan tanaman, pupuk, dan terutama bakteri. Semalam, dia memberi saya satu botol kecil yang berisi cairan campuran dari 33 tanaman. Dia menceritakan dengan fasih dan lancar soal cairan itu, tapi sayang saya tidak bisa menceritakan ulang di sini. Bukan karena saya malas, tapi karena saya banyak tidak paham dengan istilah dan proses pembuatannya.
Intinya, yang saya tangkap, tanaman itu diambil ekstraknya dengan melibatkan bakteri. Lalu saya diminta mencobanya. Kebetulan semalam saya mengajak seorang teman, dan ada Mbah Nyutz, sahabat akrab Mprof Picoez yang sudah berkali-kali mencoba ramuan itu. Sebetulnya saya juga lamat-lamat mendengar ramuan ala Mprof Picoez yang banyak menyembuhkan berbagai penyakit. Tapi untuk hal begituan, saya antara percaya dan enggak percaya.
“Ini bisa membuat aku mudah tidur, Mprof?” Saya bertanya dengan agak skeptis. Tidur bagi saya adalah sebuah kemewahan. Mengantuk adalah sebuah anugerah besar.
“Kalau Sampeyan ada masalah dengan tidur, coba teteskan saja ke air putih.” ucap Mprof Picoez dengan meyakinkan. Kawan saya, namanya Irul, langsung mengambil dua gelas air putih. Kami berdua meneteskan cairan ramuan itu beberapa tetes ke gelas kami masing-masing. Sampai setengah jam saya meminumnya, tak ada tanda-tanda mengantuk. Begitu saya mulai membatin, cairan ini tidak manjur bagi saya, mendadak saya merasa sangat mengantuk. Tapi saya tahan sekuat tenaga karena tidak mungkin, saya sebagai tamu, tidur begitu saja sementara Mprof Picoez dan Mbah Nyutz ngobrol. Irul lebih tanpa beban, dia langsung tergeletak dan tidur pulas. Saya harus akui, cairan ramuan Mprof Picoez yang terdiri dari 33 tanaman itu, manjur membuat saya mengantuk.
Mprof Picoez tahu kalau saya tertarik dengan ilmu yang dikuasainya. Dia banyak bercerita soal bagaimana membuat pupuk cair yang efektif, mengembangbiakkan bakteri, bakteri-bakteri apa saja yang saat ini membuatnya tertarik. Saya mendengarkan, dan ingin menuliskannya di sini, tapi karena saya menahan kantuk yang amat sangat, tak bisa merekam dengan baik ilmu yang sungguh sangat bermanfaat itu.
Hidup untuk bergembira
Sudah lebih dari setahun, Mprof Picoez memindah aktivitasnya dari kantornya yang di daerah Maguwoharjo, ke tempatnya yang sekarang, yang sering disebut orang sebagai Ndalem Kapitikan. Di tanah yang cukup jembar itu, ada banyak tumbuhan yang sedang dirawatnya, kegiatan pembibitan, rumah limasan yang indah, dan gazebo yang antik, beserta kolam ikan.
Saya bertanya, bagaimana dia bisa membangun tempat yang indah dan menyenangkan seperti ini? Mprof Picoez lalu berkisah agak panjang, yang jika disarikan, kira-kira seperti ini…
Kantor lamanya sebetulnya mengontrak rumah orang. Si pemilik rumah kemudian memberitahu kalau sudah tidak bisa lagi diperpanjang. Sementara di sana sudah ada banyak kegiatan, baik yang terkait dalam dunia budidaya tanaman, maupun sebagai tempat nongkrong. Karena sedang tidak punya uang, dia pun berdoa, kalau sekiranya masih diberi amanah untuk terus menggeluti dunia tanaman, dan menemani banyak orang, dia meminta agar Allah memudahkan.
Benar, tidak lama, ada orang yang memberitahu jika ada tanah yang cukup strategis dan bagus untuk berkegiatan, yang disewakan. Ketika si pemilik tanah didatangi, sebetulnya sudah ada calon penyewa lain yang memberi harga sewa lebih tinggi. Tapi begitu Mprof Picoez datang dan menanyakan ongkos sewa, maka diperbolehkan menyewa dengan harga lebih rendah. Tapi tetap saja Mprof Picoez tidak bisa menyewa karena tempat tersebut mesti disewa minimal 10 tahun. Di saat yang bersamaan, ada temannya yang menelepon, dan membantu membayar biaya sewa tanah.
Persoalan tanah selesai. Tidak lama kemudian, ada orang menawari rumah kayu limasan dengan kualitas bagus. Lagi-lagi Mprof Picoez tidak punya uang, dan lagi-lagi ada orang yang membantunya. Begitu seterusnya dengan gazebo, kolam ikan, dan infrastruktur lain yang diperlukan.
“Saya ini manusia lemah, kalau punya masalah ya lapor sama Gusti Allah. Coba, Mas Puthut, waktu Sampeyan datang tadi, kan saya buatkan minuman. Minuman itu saya buat, terus saya bawa dari dapur ke gazebo ini dengan hati-hati supaya tidak tumpah. Nah, Allah kan menciptakan saya dan semua manusia dengan kasih sayang. Tidak mungkin kita ini tidak dijaga oleh-Nya.”
Saya manggut-manggut, sambil menatap Mprof Picoez yang dulu saya anggap mirip Andi /rif, sekarang lebih mirip aktor Tom Hanks.
“Kita ini hanya diminta gembira dalam hidup ini. Masalah pasti ada. Namanya juga orang hidup. Tapi jika kita gembira dalam menghadapinya, setiap masalah yang datang, bisa lebih kita hadapi dengan pikiran yang jernih, sehingga penyelesaiannya bukan atas dasar nafsu.”
Mendengar petuah Mprof Picoez, ditambah udara segar, suara gemericik air dari kolam di bawah gazebo, plus ditemani teh hangat dan berbungkus-bungkus rokok, membuat saya merasa sangat nyaman. Pantas saja, banyak orang yang curhat masalah hidup mereka dengan Mprof Picoez di Ndalem Kapitikan. Dia mungkin tidak tahu banyak soal ilmu agama, tapi menguasai ilmu hidup, ilmu urip bebrayan.
“Kehidupan kita ini sudah dijamin oleh Allah. Kalau kita ini harus bekerja, karena Allah memberi titipan ilmu atau ketrampilan yang mesti kita bagikan atau berikan kepada orang lain. Saya ini pernah kaya karena bekerja, dan ya kualitas hidupku gitu-gitu saja. Sekarang, aku sering gak memegang uang, tapi malah segala yang kubutuhkan ada, dan aku lebih bahagia.”
Saya kembali menganggukkan kepala. Kami ngobrol berempat sampai larut malam. Bergantian saya mendengarkan omongan Mprof Picoez dan Mbah Nyutz. Hidup terasa lebih enteng. Saya berjanji akan datang lagi ke sana, tentu jika tidak sedang banyak tamu. Karena pada dasarnya, saya tidak suka situasi yang rame.
Sepertinya asyik jika di Ndalem Kapitikan, dipakai untuk merenungi hidup, sambil saya menulis, dan meresapi malam yang segar.
BACA JUGA Bagaimana Eross Candra Menjelaskan Lagu Sephia pada Anak Lelakinya dan artikel SUSUL lainnya.
[Sassy_Social_Share]