Warga Lombok bersuara terkait MotoGP Mandalika yang berlangsung 13-15 Oktober 2023. Ada banyak ketidakadilan yang mereka rasakan dan saksikan sehingga enggan datang untuk menonton, meski sudah dapat tiket gratis.
Mojok menyaksikan langsung MotoGP di sirkuit Mandalika yang berada di Pulau Lombok, dan mendapati fakta yang berbeda dibanding yang berseliweran di media sosial dan layar kaca. Kursi penonton di sirkuit Mandalika banyak yang kosong. Selain itu, kemeriahan MotoGP juga tidak banyak dirayakan oleh warga lokal (masyarakat Lombok).
***
Sabtu (14/10/23), saya tiba di Bandara Udara Internasional Lombok-Praya. Tujuan utama saya datang ke Lombok adalah untuk melihat secara langsung Marc Marquez dkk balapan di Sirkuit Mandalika. Selama di Lombok, saya menginap di Kota Mataram yang merupakan pusat perekonomian sekaligus Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Meskipun menjadi tuan rumah balapan motor paling bergengsi di dunia. Bandara Lombok-Praya pada Sabtu pagi tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa orang yang tampak menggunakan kaos bertuliskan VR46 (Valentino Rossi) sedang melihat-lihat pernak-pernik MotoGP di official store Pertamina Grand Prix of Indonesia yang berada di dekat pintu keluar bandara.
Perjalanan dari bandara Lombok-Praya menuju Kota Mataram saya tempuh dengan Bus Damri kurang lebih selama satu jam. Di sepanjang jalan, saya jarang menemukan poster atau iklan tentang MotoGP. Saya justru lebih banyak melihat baliho dan poster pejabat daerah. Semakin mendekati Kota Mataram, vibes MotoGP Mandalika makin tak terasa.
Mahasiswa di Lombok tidak tertarik nonton meskipun ada tiket gratis
Saat sedang berada di Kopi Talk, Kota Mataram, saya mengobrol dengan mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Mataram (Ummat) dan Universitas Mataram (Unram). Mereka bercerita kalau anak muda —terutama mahasiswa— di Lombok tidak merasakan adanya perbedaan saat ada gelaran MotoGP dengan hari-hari biasanya.
Wahyu (24), mahasiswa Ummat mengaku dirinya tidak tertarik nonton MotoGP di Mandalika meskipun mendapat tiket gratis.
“Orang tua saya diwajibkan untuk membeli tiket MotoGP Mandalika, meski ada tiket gratis tu saya malas datang ke sirkuit,” tutur mahasiswa semester akhir yang orang tuanya berprofesi sebagai anggota DPRD ini.
Menurut kesaksian Wahyu yang juga aktivis kampus (Ketua Serikat Mahasiswa Indonesia Cabang Mataram), tidak hanya orang tuanya yang wajib membeli tiket MotoGP. Namun, seluruh anggota DPR di Provinsi NTB. Moment tersebut juga menjadi kesempatan bagi beberapa anggota legislatif untuk memanfaatkan—baik kabupaten maupun provinsi— untuk kampanye.
“Ada banyak warga Lombok sini yang dapat tiket gratis dari orang DPR, mungkin persiapan kampanye, dekat-dekat Pemilu ni,” imbuhnya.
Saat saya bertanya kepada Wahyu alasannya menolak nonton MotoGP di Mandalika, dia menjawab pertanyaan tersebut dengan raut wajah yang cukup serius.
“Pembangunan sirkuit tersebut meninggalkan konflik lahan yang belum selesai sampai sekarang, penduduk setempat terusir. Selain itu, proses perekrutan marshal juga bermasalah, masalah-masalah itu buat kita malas datang ke sirkuit,” ungkap Wahyu.
Sebagai aktivis yang sering melakukan advokasi di akar rumput dan bertemu langsung dengan korban penggusuran, saya memaklumi alasan Wahyu menolak nonton MotoGP.
Senada dengan penuturan Wahyu, Toni (26) warga NTB yang baru saja lulus dari Unram mengaku kalau dia dan teman-temannya tidak pernah nonton MotoGP. “Orang sini (baca: Lombok) jarang sih yang nonton MotoGP di sirkuit, kalau ingin nonton mending di TV atau cafe, gak panas,” ungkapnya.
Merasa kapok nonton MotoGP di Sirkuit Mandalika
Jarak antara Kota Mataram yang berada di Lombok Barat dengan sirkuit Mandalika yang berada di Lombok Tengah sekitar 50Km. Perjalanan tersebut saya tempuh dengan menggunakan motor selama kurang lebih satu jam lima belas menit. Hari Minggu (15/10/23) saat race day MotoGP Mandalika berlangsung, jalan raya menuju sirkuit ramai lancar.
Sesampainya di sirkuit Mandalika, aplikasi weather di smartphone saya menunjukkan angka 36° Celcius dan udaranya sangat panas hingga membuat baju saya basah karena keringat. Sirkuit yang memiliki panjang 4,301 km dengan 17 tikungan ini juga gersang sekali. Hampir tidak ada pepohonan di sekitar sirkuit selain bukit berbatu.
Saya duduk di tribune reguler zona E dengan harga Rp1,5 juta. Tribune reguler di sirkuit Mandalika tidak memiliki atap dan dengan material berbahan aluminium yang memiliki sifat konduktor atau mudah menghantarkan panas. Kondisi tersebut membuat banyak penonton kepanasan dan memilih untuk berteduh di bawah tribune.
Di bawah tribune Zona E, saya bertemu Dewi (27) warga Lombok Utara. Ia mengaku mendapatkan tiket gratis dari saudaranya yang bekerja di Pemprov NTB.
“Tahun lalu teman saya sudah nonton. Dia gak mau datang lagi karena panas. Saya belum pernah lihat balapan langsung, jadi pas saudara ngasih tiket gratis langsung mau karena penasaran,” ungkap perempuan yang sehari-harinya bekerja sebagai karyawan Alfamart tersebut.
Saya juga bertanya ke Dewi kesan pertamanya saat nonton MotoGP langsung dari sirkuit “Kapok Kak. Benar teman, di sini panas sekali. Harusnya tempat duduk dikasih atap,” keluh Dewi.
Baca halaman selanjutnya…
Wartawan asing sebut MotoGP Mandalika 2023 fiksi terbaik setelah Harry Potter