Wartawan asing sebut MotoGP Mandalika 2023 fiksi terbaik setelah Harry Potter
Tidak hanya Dewi yang memutuskan ngiyup di bawah tribune. Ada banyak orang lainnya yang memegang tiket regular mengeluh kepanasan dan akhirnya memutuskan sembunyi di bawah tribune.
“Saya sebenarnya nggak suka MotoGP, datang ke sini karena mau upload di TikTok,” ungkap Aiman (25) warga Kota Mataram yang juga sedang menghindari sengatan matahari dengan cara duduk di bawah tribune.
Selain tribune tanpa atap, sirkuit Mandalika juga kekurangan giant screen yang bisa penonton gunakan untuk melihat jalannya balapan di semua lintasan secara menyeluruh.
“Tahun lalu jumlah LCD (maksudnya giant screen) lebih banyak, sekarang malah dikurangi. Padahal motor hanya lewat sebentar saja,” keluh Aiman sambil memutar-mutar GoPro di tangannya.
Cuaca panas, tribune tidak beratap, minim giant screen, kran di toilet mati, dan makanan yang mahal adalah keluhan utama yang sering saya dengar dari penonton di tribune regular MotoGP Mandalika 2023.
Meskipun Kemenkraf mengatakan tiket MotoGP Mandalika 2023 habis terjual. Namun, kondisi sirkuit pada race day di hari Minggu terlihat tidak begitu ramai, masih banyak kursi penonton yang tidak terisi. Selain itu, lalu-lintas pengunjung di area sirkuit juga tidak begitu padat.
Penglihatan yang kurang lebih sama dengan saya juga dirasakan oleh jurnalis lepas MotoGP asal Inggris bernama Simon Patterson. Dalam laman media sosialnya (X) dia mengatakan jika klaim Dorna Sports selaku penyelenggara MotoGP yang mengatakan jumlah kunjungan penonton di sirkuit Mandalika yang mencapai 102.000 orang adalah fiksi terbaik setelah Harry Potter.
Tiket MotoGP Mandalika mahal bagi warga NTB
Dalam perjalanan pulang dari Lombok ke Surabaya dengan menggunakan Kapal Batu Layar, saya banyak bertemu dengan orang Lombok yang akan merantau ke Kalimantan. Mereka mengaku memiliki tiket MotoGP gratis dari anggota DPRD setempat. Niatnya mau dijual kembali dengan harga murah ke orang lain, tapi tidak laku.
“Orang-orang kaya (baca: anggota legislatif) beli banyak dan dibagi-bagikan ke warga. Saya dapat empat tiket zona I. Sudah saya tawarkan ke orang tapi gak ada yang mau beli. Jadi ya sudah saya biarkan saja di rumah,” kata Sapardi (48) saat mengobrol dengan saya di dalam kapal pada Selasa (17/10/23).
Sedikit berbeda dengan Sapardi, Andik (39) warga Lombok yang juga akan merantau ke Kalimantan mengaku sempat menjual tiket MotoGP yang ia dapatkan dari temannya dengan harga murah.
“Saya dapat lima tiket gratis dari teman. Saya jual dengan harga Rp350 ribu cuma laku dua, sisanya hangus (maksudnya tidak terpakai)” ungkap Andik.
Andik bukannya tidak tahu kalau harga tiket MotoGP adalah Rp1,5 juta untuk tribune regular, dan Rp2,3 juta untuk tribune premium. Namun, Andik tahu betul kemampuan ekonomi warga Lombok. Jika dijual dengan harga normal atau setengah harga tidak akan laku.
“Di sini cari kerja susah sekali, sampai harus ke Kalimantan untuk nafkahi anak istri. Cari uang Rp300 ribu saja susah. Jadi nggak ada yang mau keluar uang jutaan untuk nonton balapan,” cerita Andik pada saya.
Pilih merantau karena lapangan kerja di Lombok yang terbatas
Berbeda dengan Sapardi dan Andik, Lukman (24) yang baru pertama kalinya merantau ke Kalimantan mengaku ia menjual tiket MotoGP Mandalika secara online, melalui aplikasi X. Itu ia lakukan satu minggu sebelum gelaran MotoGP Mandalika berlangsung.
“KTP NTB dapat diskon 50% jika beli tiket MotoGP. Saya beli lalu jual lagi di internet. Ada orang Jawa (maksudnya Jakarta) beli. Orang Lombok dikasih diskon pun tetap nggak beli karena harganya lebih mahal dari gaji bulanan. Kita ni beli untuk dijual lagi,” cerita Lukman. Ia sendiri baru saja berhenti membantu pekerjaan orang tuanya sebagai petani tembakau di Lombok. Lukman memutuskan merantau bersama Sapardi dan Andik ke Kalimantan.
Masyarakat di Pulau Lombok dan NTB secara umum memang banyak merantau ke Kalimantan dan menjadi TKI ke luar negeri sebab lapangan pekerjaan di NTB masih terbatas. Di dalam kapal yang saya tumpangi, ada 46 orang yang akan merantau ke Kalimantan.
Di sisi lain, MotoGP adalah olahraga mahal yang tidak terjangkau masyarakat kelas bawah, sehingga wajar saja kalau ada warga lokal yang tidak tertarik nonton balapan di sirkuit. Pemerintah perlu melakukan evaluasi bersama terkait gelaran MotoGP Mandalika.
Meskipun warga Lombok tidak bisa menikmati balapan di kursi penonton, setidaknya pemerintah harus memastikan warga Lombok merasakan untung atau kenaikan perekonomian dari ajang balapan MotoGP yang akan digelar di Mandalika setiap setahun sekali ini.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Suara Hati Mahasiswa UGM Asal Papua Ungkap Beratnya Kuliah di Jogja Meski Dianggap “Papua Kedua”
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News