“Kita lihat lapaknya satu-satu dari ujung aja yuk!” ajak kru Mojok yang menemani saya, Jumat siang (26/9/2025).
Untungnya, dari pengamatan kami, beberapa lapak sedang istirahat karena bertepatan dengan pelaksanaan salat Jumat. Dengan begitu, pilihan lapak kami jadi terkurasi dengan sendirinya dan hanya menyisakan sejumlah ibu-ibu yang memasak.
“Pilih yang itu aja yuk, yang ibunya lagi masak kerupuk udang,” kata teman saya.

Saya pun manut-manut saja menuju lapak Haji Edy yang berada di tengah. Ketika memesan dan menunggu hidangan Tahu Gimbal tiba, saya tidak sengaja melihat sertifikat penghargaan kepada Tahu Gimbal Haji Edy sebagai kuliner legendaris. Dari sana saya jadi lega. Minimal, rasanya tak menipu dengan harga Rp30 ribu satu porsi.
Ndilalah, setelah saya perhatikan lagi banner di tiap lapak, terpampang foto wajah yang berbeda dengan bukti sertifikat masing-masing. Lalu mengklaim dagangan mereka dengan kata “Asli”. Artinya, Tahu Gimbal Haji Edy yang makan saya tadi belum tentu asli hanya karena sertifikat yang ia peroleh, sebab yang lain juga punya sertifikat.
“Asem tenan, terus sing endi iki sing asli?” (asam sekali, terus yang mana ini yang asli?), batin saya saat itu.
Lapak Haji Edy legendaris sejak tahun 1972
Di dalam mobil ojek online yang kami pesan, saya masih ngedumel, penasaran dengan keanehan lapak berderet tadi. Saya pun iseng bertanya keaslian pemilik Tahu Gimbal yang ada di kawasan Taman Indonesia Kaya ke sopir ojek online.
“Oh di sana itu yang asli memang Haji Edy, saya bahkan njamani waktu bapaknya jualan masih pakai gerobak. Kalau nggak salah pas saya SMA, sekitar tahun 1986,” kata sopir ojek online yang merupakan warga asli Semarang.

Saya pun mengonfirmasi hal itu kepada Donna (40), anak dari Haji Edy yang kini melanjutkan bisnis ayahnya. Donna bercerita jika Haji Edy sudah berjualan sejak tahun 1972. Mulanya, ia berjualan di sekitar Gor Pancasila yang saat ini berubah menjadi Ciputra.
Namun, karena kawasan tersebut beberapa kali mengalami relokasi, Edy akhirnya mendapat lapak di seberang Taman Indonesia Kaya sekitar tahun 1980-an. Di tempat itulah kemudian pedagang-pedagang lain mulai menggunakan nama yang mirip.
“Itu dulu yang jual pakai nama sendiri-sendiri. Barulah di tahun 2018 (pakai nama mirip) karena berjajar-jajar gini to, pelanggan pada datang. Karena ramai, jadi kecemburuan sosial,” ujar Donna saat dikonfirmasi Mojok lewat WhatsApp, Sabtu (27/9/2025).
Donna tak menampik jika hal tersebut justru membuat pelanggan bingung. Dia pun pernah menegur pedagang lain, tapi tak digubris. Meski begitu, Donna mengaku tak terlalu khawatir karena ia sudah punya pelanggan tetap dan branding rasa yang terpecaya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
Baca Juga: Orang Plat K Harus Hadapi Banyak Derita kalau Merantau di Semarang, Benar-benar Penuh Drama atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












