Amanat dari warga lokal Magelang
Melihat segerombolan pengunjung berbaju putih dan terlihat masih muda seperti anak kuliah, Mukhlas segera berdiri. Ia pamit ke saya untuk kembali bekerja. Pria asal Kabupaten Borobudur, Magelang itu berdiri tengah jalan sambil menawarkan payung yang ia gantung di lengannya.
“Payungnya Kak, payung. Biar nggak panas,” ucapnya berkali-kali, tapi tak satupun orang menggubris dan hanya melewatinya.
Mukhlas berujar sudah sekitar 30 tahun ini ia menjadi petugas peminjaman payung di sekitar Candi Borobudur. Satu payung ia patok seharga Rp10 ribu tanpa batas jam. Namun, masih ada saja pengunjung yang kadang lupa mengembalikan atau meletakkannya di atas.
Biasanya, petugas peminjam payung lain akan meminta payung yang sudah pengunjung pakai di pintu keluar. Sebab, kerja petugas peminjam payung bersifat kelompok. Nantinya, upah yang didapat dibagi-bagi oleh petugas lainnya.
“Ya kadang seharian bisa saja nggak dapat Mbak, tapi daripada saya nganggur di rumah,” kata Mukhlas tadi sebelum pamit.
Keramahan para turis di Candi Borobudur
Hampir 30 menit berlalu dan saya masih duduk di bangku sekitaran Candi Borobudur. Seorang lansia kemudian duduk di samping saya sembari menyapa. Sama dengan saya, ibu itu memilih tidak naik tangga. Ia lebih baik menunggu anaknya di bawah.
“Saya ke sini berdua dengan anak. Dia mau kuliah S2 di Universitas Diponegoro jadi kami liburan dulu, saya temani dia,” ujar Supirah (62).

Perempuan asal Klaten itu berujar baru pulang ke tanah Jawa setelah 25 tahun merantau di Sorong, Papua Barat Daya untuk bekerja menjadi penyuluh tani. Mumpung kembali ke Jawa Tengah, ia ingin pergi wisata di Candi Borobudur.
Tak terasa, hampir satu jam saya dan Supirah mengobrol. Waktu sudah menunjukan pukul satu lebih. Saya pun akhirnya memutuskan naik ke candi sampai pelataran saja. Hampir 30 menit saya mengililingi empat sisi candi yang terasa sama pemandangannya.
Tanpa sadar, saya mengilinginya dua kali hingga kembali di sisi gerbang masuk. Padahal, pintu keluar ada di sisi lain. Saya memutuskan duduk untuk beristirahat sejenak. Lagi-lagi, beberapa orang yang saya temui selalu bertanya, “Sendirian?” dan saya hanya mengiyakan karena sudah kehabisan tenaga.
Di sela-sela istirahat tersebut, saya melihat seorang turis asing juga duduk sendirian. Gerombolan anak SMA pun menghampirinya. Salah seorang anak menanyakan namanya dengan Bahasa Inggris yang medok.
Saya melihat keduanya pun saling tertawa. Si bule juga mampu menyederhanakan komunikasinya. Sementara sang anak sibuk mencatat perkataan si bule. Sepertinya, itu untuk tugas sekolah
Selamat dari kesasar dan perasaan aneh
Di sekitar situ, segerombolan bule juga baru turun dari lantai tiga Candi Borobudur, Magelang. Seorang tour guide berujar kini mereka bebas jalan-jalan karena tugasnya sudah selesai. Saat mata kami bertatapan, ia tersenyum dan saya pun mengikutinya.
“Bapak, pintu keluar di sebelah mana ya?,” tanya saya sembari buru-buru mengejarnya karena jarak kami mulai agak jauh.
“Mbaknya ketinggalan rombongan?” tanya Darto.

“Oh nggak, Pak. Saya memang sendirian,”
“Oh gitu, kalau pintu keluar perlu jalan lagi ke sisi sana, tapi agak jauh.”
“Kalau mau ke pintu 7, Pak? Supaya dekat lewat mana ya? ”
“Turun lewat tangga arah gerbang masuk sebetulnya lebih dekat. Bareng saya saja karena pengunjung biasanya wajib lewat pintu keluar,”
“Boleh Pak? Terima kasih, ya.”
Lagi-lagi obrolan kami mengalir begitu saja hingga tak terasa kami sampai di lantai bawah tanpa cegatan. Saya pun mengucapkan terima kasih dan izin pamit. Dari perjalan tersebut, saya jadi sadar mungkin ini alasan masyarakat Indonesia terkenal ramah.
Melansir dari akun Instagram Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Indonesia menjadi salah satu negara teramah di dunia. Survei Local Friedliness 2024 menyebut keramahan masyarakat lokal dengan sesama dan orang asing menempati posisi kedua.
Oleh karena itu, saya tak lagi merasa aneh pergi sendirian liburan di tempat wisata, terutama di Candi Borobudur, Magelang. Berkat cerita dari Mukhlas, Supirah, turis asing yang bercengkrama dengan siswa SMA, dan Darto saya banyak belajar tentang kerja keras, pertemuan, perpisahan, dan hidup saling menolong.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Life Hack Liburan ke Candi dengan Budget Murah dan Nggak Bikin Kamu Bosan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












