Saat ini saat Bima sedang co-ass di luar daerah, rumah itu ditinggali oleh temannya. Hitung-hitung ada yang merawatkan rumah.
Sejauh pengetahuannya, orang tuanya tak pernah menyinggung urusan investasi rumah di Jogja. Rumah ini, selain untuk tinggal Bima semasa studi, hanya jadi proyeksi tempat singgah orang tua saat pensiun kelak.
Suka duka dibelikan rumah
Selain urusan kelapangan tempat, menurutnya punya rumah sendiri juga membuat ia bisa berbagi manfaat bersama teman-teman kuliah. Jika ada keperluan untuk rapat organisasi, ia dengan ringan menawarkan rumahnya sebagai lokasi berkumpul.
Jika ada teman dari luar kota pun, bisa ia ajak menginap di rumahnya tanpa segan karena tidak ada orang tua. Seperti kebanyakan mahasiswa, ia mendambakan kebebasan. Meski berada di kompleks perumahan gedongan, menurut Qodir, aturannya tetap bebas.
“Untung nih di blok tempatku bebas. Blok sebelah yang masih di perumahan sama itu ketat. Soalnya penghuninya kebanyakan keluarga,” paparnya.
Kuncinya hanya satu yakni tidak menimbulkan keributan. Selain itu, nyaris tidak ada aturan yang merepotkan termasuk urusan normal kesopanan dan asusila.
Soal keributan itu, alumnus UMY ini mengaku pernah kena tegur sekali. Saat itu mobilnya berknalpot blong yang menyebabkan suaranya bising. Suatu ketika, ada beberapa temannya yang mampir ke rumah menggunakan mobil serupa. Alhasil, ia kena tegur satpam kompleks dan warga.
Selain itu, semuanya nyaris membuat Qodir merasa lebih nyaman ketimbang tinggal di kos. Paling-paling, ia harus melakukan perawatan rumah ketika ada engsel pintu yang rusak maupun saluran air yang mampat.
“Kalau itu mah memang tanggung jawab. Bapakku cuma berpesan suruh ngerawat rumah ini. Nggak ada konsekuensi lain seperti uang saku dikurangi karena nggak tinggal di kos lagi,” pungkasnya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News