Seberapa pun jauh seseorang meninggalkan rumah untuk merantau, rumah sejatinya tetap lah rumah. Menjadi tempat untuk pulang dari perantauan.
Namun, bertahun-tahun merantau membuat rumah terasa berbeda. Alih-alih terasa seperti tempat yang sangat akrab, melainkan terasa seperti sebuah tempat yang amat asing.
Pulang ke rumah rasanya tak seperti menjadi penghuninya lagi. Malah terasa sekadar menjadi tamu: Datang beberapa saat, lalu harus lekas pamit pergi. Dan itu ternyata memicu duka berkepanjangan.
Dulu tak betah di rumah, kini berubah kala orang tua menua
Saya sebenarnya masih cukup beruntung dari para perantau kebanyakan. Sebab, jarak tempat merantau saya dengan rumah hanya terhitung setengah harian saja. Itu membuat saya masih bisa pulang sesering mungkin: Paling cepat ya dua bulan sekali lah. Kendati begitu, saya kerap diserang duka nan menyesakkan.
Sejak merantau pada 2017, saya relatif hanya bisa pulang dalam tiga momen: Libur akhir pekan, libur panjang (long weekend), dan libur lebaran (lima harian).
Dulu, pulang ke rumah, meski sejenak, rasanya sudah sangat cukup. Malah saya cenderung tak betah kalau berlama-lama di rumah.
Semua berubah ketika di tahun-tahun belakangan ini saya menyadari: Teramat banyak waktu yang saya habiskan di perantauan sampai orang tua berangsur menua. Itu memberi duka dan rasa bersalah. Karena hingga menjelang masa tua mereka, saya ternyata belum bisa sepenuhnya menemani.
Sialnya, saya juga masih belum bisa meninggalkan perantauan. Sebab, dari sanalah sumber hidup saya. Kini, tiap pulang, terasa betul perihnya.
Rasanya kangen sekali dengan masa kecil. Ketika saya bisa tidur jenak di kasur, menikmati masakan ibu saban hari. Pulang saya teramat singkat untuk perpisahan lagi yang terlampau panjang.
Merantau jadi satu-satunya pilihan untuk “menjadi orang”
Hal serupa juga dirasakan oleh Citra (26) dan Nofri (27). Mereka sama-sma meninggalkan kampung halaman sejak kuliah. Citra merantau dari Jawa Tengah ke Jakarta, sementara Nofri merantau dari Jawa Tengah ke Ibu Kota Jawa Timur (Surabaya).
Baik Citra maupun Nofri sebenarnya ingin menetap di kampung halaman saja selepas lulus kuliah. Akan tetapi, bayangan itu ternyata tak mudah terjadi.
“Susah cari kerja kalau di kabupaten kecil. Mau nggak mau harus merantau kalau menjadi “orang” ” kata Citra.
“Bagi orang daerah, merantau ke kota besar jadi satu-satunya pilihan. Bertahan di kampung halaman nggak menjanjikan banyak hal,” ucap Nofri.
Bedanya dengan Citra yang lulus kuliah langsung merantau ke Jakarta, Nofri sempat beberapa bulan kembali ke kampung halaman. Sempat bekerja juga.
Namun, alih-alih menemukan ketenangan, Nofri malah sumpek sendiri lantaran gaji kecil yang dia terima. Itu membebaninya: Merasa gagal. Meski orang tuanya sebenarnya tak mempermasalahkan.
Bagi orang tua Nofri, kerja apa saja, hasilnya berapa pun, Nofri tetap lah anak yang akan mereka banggakan.
Baca halaman selanjutnya…
Pulang tak seperti penghuni, malah terasa tak lebih dari tamu












