Banyak stereotipe yang melekat pada anggota Resimen Mahasiswa (Menwa) di perguruan tinggi. Mulai dari dianggap cosplay TNI sampai sok keras. Namun, anggota Menwa UPN Veteran Yogyakarta mengaku tetap bangga dan teguh pendirian karena sejumlah alasan.
***
Menwa yang identik dengan seragam ala militer dan latihan fisik berat, untuk sejenak, tak tampak di Markas Menwa UPN Veteran Yogyakarta. Sore itu, saat saya berkunjung, hanya ada beberapa mahasiswa berpakaian santai yang sedang mengerjakan tugas sekaligus bercengkrama.
Markas Menwa ini terletak di sisi timur gerbang utama kampus. Memang, dari pengalaman saya mengunjungi barangkali lebih dari sepuluh kampus, markas organisasi ini selalu berdekatan dengan gerbang masuk. Barangkali karena salah satu fungsinya dalam menjaga keamanan dan ketertiban kampus.
Di ruang, saya menunggu seorang anggota Menwa yang sedang merampungkan tugasnya. Sebelumnya kami sudah janjian untuk ngobrol suka duka menjadi anggota UKM yang mengadopsi banyak ilmu militer dari TNI ini.
“Sebentar ya Mas. Aku selesaikan tugas dulu,” kata Bima Arsy Mandoya (21), mahasiswa Jurusan Akuntasi UPN Jogja yang sudah bergabung Menwa sejak 2021 lalu.
Sekitar lima belas menit, Bima akhirnya selesai dengan tugasnya. Ia mulai menceritakan awal mula kecintaannya terhadap organisasi ini.
“Sebenarnya aku dulu mau masuk TNI dan kedinasan. Namun, belum rezeki akhirnya ke UPN,” curhatnya.
Bima memang punya beberapa anggota keluarga yang menjadi anggota TNI. Dari situlah ketertarikannya pada dunia militer muncul.
Menwa masih banyak menarik minat mahasiswa baru
Beruntung, Bima masuk di UPN. Sebab, kampus ini memang punya julukan sebagai Kampus Bela Negara. Sejalan dengan tujuan Menwa untuk memperkuat karakter bela negara mahasiswa di perguruan tinggi.
Menurut Bima, selain dirinya, tidak banyak anggota Menwa lain yang punya keluarga militer. Banyak yang bergabung karena alasan sederhana. Misalnya, tertarik dengan atribut organisasi yang mencolok saat masa pengenalan kampus.
Selain itu, ada juga yang tertarik karena suka berkegiatan alam dan fisik. Mantan anggota pramuka, palang merah, sampai pecinta alam di SMA, cukup banyak yang akhirnya merapat ke organisasi ini.
“Jadi memang ada sebagian yang berasal dari keluarga militer atau kedinasan. Tapi lebih banyak yang karena tertarik dengan hal di atas,” tuturnya.
Terlebih, di UPN, Menwa punya posisi spesial. Selain karena identitas bela negara yang melekat pada kampus ini, Menwa adalah salah satu UKM tertua. Salah satu pendiri UPN Veteran Yogyakarta juga merupakan sesepuh organisasi ini.
Barangkali di kampus lain kondisinya tidak serupa. Namun, di UPN Menwa memang UKM yang cukup strategis dan punya banyak peminat.
“Jadi kebanggan lah kalau di UPN,” cetusnya.
Tetap bangga jadi menwa meski dianggap sok keras sampai cosplay TNI
Bima tidak memungkiri banyak stereotipe yang melekat pada Menwa. Baik sentimen yang muncul di media sosial sampai kehidupan perkuliahan.
Terkadang ada yang menganggap anggota organisasi ini sok keras karena kerap latihan fisik. Ada pula yang menganggap mereka terlalu bersemangat menggunakan atribut layaknya seorang tentara.
View this post on Instagram
Namun, buat Bima, setiap orang berhak untuk mencari kesibukan dan aktif di organisasi yang sesuai dengan minat dan juga bakat. Tidak memungkiri bahwa banyak kalangan yang suka dengan kegiatan dengan sentuhan disiplin militer.
“Mereka mungkin tidak bisa merasakan apa yang sudah kami jalani selama di dalam. Belum tentu dia bisa melakukan apa yang telah saya lakukan di Menwa. Soalnya, kami pendidikan pun standarnya militer,” jelasnya.
Terkadang, entah karena serius maupun bercanda, saat melintas di hadapan mahasiswa lain Dimas mendapat sikap hormat. Hal itu ia anggap sebagai angin lalu belaka.
Sebagai anggota Menwa, Dimas bahkan sesekali masuk ke dalam kelas dengan atribut organisasi lengkap dengan baretnya. Menurutnya, hal itu karena baru ada kegiatan di lapangan. Sebagai efisiensi ketimbang harus ganti baju.
Senada, Rohmah Nur Laila (21) anggota Menwa lain yang sedang duduk santai di markas, juga bercerita kalau banyak temannya yang sempat heran dengan keputusannya gabung organisasi ini. Rohmah tidak punya pengalaman aktif di organisasi dengan kegiatan fisik sebelumnya.
“Kamu bisa ikut Menwa ternyata ya,” kata Rohmah mengulang ucapan dari beberapa temannya.
Ia bergabung dengan organisasi ini karena alasan sederhana yakni ajakan teman. Kendati begitu, ternyata Rohmah bisa menyesuaikan diri pada sejumlah ujian fisik yang cukup melelahkan.
Tentang pendidikan yang mengundang banyak perhatian
Tidak dimungkiri, selain anggapan aneh karena kerap menggunakan seragam bak militer di lingkungan kampus, Menwa dapat sorotan karena pendidikannya yang berat. Bahkan pada beberapa kasus hingga ada korban jiwa saat proses pendidikan.
Rohmah bercerita kalau ia sempat gusar saat ada kasus serupa. Kasus tersebut membuat isu penutupan Menwa di sejumlah universitas merebak.
“Pas ada kasus di UPN Jakarta, Menwa di sini juga terdampak. Untuk isu penutupan nggak benar-benar terjadi,” kata perempuan tersebut.
Baginya, sebenarnya proses pendidikan di Menwa punya prosedur ketat. Sifatnya tidak memaksa mahasiswa yang memiliki kendala fisik tertentu.
Ada beberapa proses pendidikan yang cukup berat di organisasi ini. Mulai dari pra pendidikan dasar, pendidikan dasar, hingga pembaretan. Kegiatan itu mendapat pendampingan dari TNI.
“Salah satunya kami harus long march belasan kilometer dengan atribut lengkap dan tas,” paparnya.
Bima lantas menyahut, ia menyayangkan adanya kasus yang membuat marwah organisasinya tercoreng. Menurutnya tragedi pada proses pendidikan merupakan kesalahan dari pihak pelaksana. Bukan dari sistem yang ada di organisasi.
“Menwa ini ya keilmuannya militer dari TNI. Kesalahannya ada di orang yang menggunakannya dengan prosedur yang tidak baik,” ungkapnya.
Ia menambahkan, setiap jelang pendidikan maupun pelatihan selalu ada pengecekan kondisi kesehatan lengkap. Bima mengaku punya penyakit asma. Namun, tidak pernah gagal selama mengikuti pendidikan.
Eksistensi dan aktivitas Menwa di kampus
Bagi mereka berdua, saat ini Menwa masih punya peran strategis di kampus. Salah satu tandanya dari lokasi sekretariat yang ada di dekat gerbang. Letaknya menunjukkan peran sebagai salah satu elemen penjaga keamanan.
Kegiatan tingkat universitas biasanya melibatkan elemen dari resimen mahasiswa. Mulai dari wisuda, ospek, sampai acara seminar nasional.
Selain itu, organisasi ini sudah pasti punya banyak kegiatan internal. Mulai dari pendidikan dasar hingga lanjutan. Termasuk pelatihan SAR gabungan, pelatihan terjun payung, water rescue, dan beragam hal lain.
“Jadi Menwa ini ibaratnya UKM paling lengkap yang menggabungkan pramuka, PMI, dan Mapala,” kata Bima.
Sejarah Menwa di Indonesia melewati perjalanan panjang dan berliku. Tercatat, pada 10 Januari 1962 Pangdam IV /Siliwangi mengeluarkan Keputusan Penguasa Perang Daerah No. Kpts 04/7/1/PPD/62 tentang Pembentukan Resimen Serbaguna Mahasiswa/Mahasiswi. Gunanya untuk membantu menanggulangi pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Selanjutnya, kemunculan organisasi ini semakin masif di berbagai daerah. Landasannya semakin kuat setelah Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution melalui radiogram No. AB/3046/64, tahun 1964 mengintruksikan pembentukan Menwa di setiap Kodam (Komando Daerah Militer).
Namun, keberadaannya mulai menjadi pro kontra setelah pada era 1980-an sampai 1990-an terjadi sejumlah konflik antara mahasiswa Menwa dengan non-Menwa. Penolakan keberadaan Menwa di kampus mulai merebak.
Mulanya organisasi semi-militer ini punya posisi sebagai UKM istimewa karena berada di bawah pembinaan Menhan. Selanjutnya, lewat SKB 3 Menteri yaitu Menhan, Mendiknas dan Mendagri Otonomi Daerah tentang Pembinaan dan Pemberdayaan Resimen Mahasiswa pada tahun 2000 posisinya menjadi UKM biasa di bawah naungan kampus.
Sekarang organisasi ini masih terus eksis dan punya peminat yang cukup banyak. Meskipun, stereotipe negatif kerap melekat terhadapnya.
Penulis : Hammam Izzuddin
Editor : Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News