Warga Jogja sebenarnya menjadi netizen yang paling kencang bicara soal sampah di media sosial, terutama X (Twitter). Sayangnya, pemangku kebijakan di Jogja alias Pemda DIY, seolah menutup mata dan telinga, sehingga isu sampah jarang menjadi pembahasan serius di kalangan elite.
Alhasil, permasalahan terkait sampah seakan tak ada habis-habisnya di Jogja. Misalnya, sejak penutupan TPA Piyungan pada Maret 2024 lalu, masalah yang kerap muncul adalah tumpukan sampah nyaris di berbagai tempat. Masyarakat pun menjadi resah dan marah. Pemerintah daerah yang menjadi sasaran amuk, justru merespons permasalahan ini secara lambat dan tak menyentuh ke inti permasalahan.
Sementara yang baru-baru ini heboh, adalah pembangunan TPS3R Karangmiri milik Pemkot Jogja. Tempat pengolahan sampah ini ramai ditolak warga karena dibangun secara ugal-ugalan.
Pemkot Jogja sendiri masih belum banyak bicara menyoal permasalahan ini. Padahal, masyarakat Desa Jagalan, Banguntapan, Bantul, yang terdampak atas pembangunan TPS3R itu, sudah melakukan aksi-aksi penolakan secara terbuka.
Soal sampah, Jogja paling disorot media
Sejak setahun terakhir, Jogja memang menjadi daerah yang paling disorot menyoal isu sampah. Riset yang dilakukan oleh PARES Indonesia menemukan, DIY menjadi regional yang paling sering ditulis media massa terkait dengan permasalahan sampah dibandingkan kota atau provinsi lain di Indonesia.
Penelitian tersebut dilakukan oleh PARES Indonesia dalam rentang waktu 1 Januari 2023 hingga 15 Mei 2024. Hasilnya, ada lebih dari 6.000 artikel terkait masalah sampah yang dimuat media massa di Indonesia.
“Kalau kita melihat, ketika memasukkan kata kunci ‘sampah’, di media berita, yang paling banyak dibahas itu Yogyakarta. Baru setelah itu Bandung dan Jakarta,” kata peneliti PARES Indonesia Naura Iftika saat mempresentasikan hasil risetnya yang berjudul “Trending Sampah: Mencari Solusi Berkelanjutan dari Diskusi Netizen”, di Fisipol UGM, Rabu (5/6/2024).
“Berarti Yogyakarta ini secara regional, itu mendapatkan fokus, dapat perhatian dari media. Bahwa memang ada isu yang harus dibahas mengenai sampah, dan ini urgent,” lanjutnya.
Naura melanjutkan, untuk wilayah yang paling banyak dibahas oleh media massa terkait dengan masalah sampah di Jogja adalah adalah Bantul, Piyungan, Sleman, dan Gunungkidul.
Warga Jogja pun paling berisik di medsos, tapi nggak diwaro pemangku kebijakan
Tak hanya oleh media massa, pembahasan soal sampah juga ramai di media sosial setahun ke belakang. Menurut temuan PARES Indonesia, jika membahas sampah di X, kota yang paling sering muncul adalah Jogja. Baru diikuti Bandung.
“Kalau di Twitter, pembicaraan masih sama, yang paling banyak disebut adalah Yogyakarta, kemudian Bandung. Berarti asumsi kami adalah masyarakat yang ada di dua daerah ini sebenarnya menaruh perhatian yang sangat besar terhadap isu sampah,” jelas Naura.
Pembicaraan soal sampah paling tinggi terjadi pada bulan Juli 2023, yakni setelah muncul isu penutupan TPU Piyungan. Sebanyak 41,5 persen sentimen netizen adalah negatif, dan hanya ada 10 persen yang memberi reaksi positif.
Adapun, dari 15 akun X teratas yang membahas soal isu sampah di Jogja, hanya ada satu akun resmi pemerintah yang muncul, yakni Kementerian PU. Sisanya adalah akun pribadi sejumlah 12 (termasuk @merapi_uncover), satu akun parpol (PSI), dan satu akun ormas (Muhammadiyah).
“Minimnya akun resmi pemerintah yang membahas sampah, menunjukkan tidak adanya fokus untuk menangani sampah, tidak adanya kegiatan yang terkait sampah, dan tidak adanya upaya untuk menggaungkan atau spreading awarness di media sosial mereka,” tegas peneliti PARES Indonesia.
“Sedangkan kementerian PU, satu-satunya akun resmi pemerintah yang masuk 15 besar tervokal bahas sampah, itu pun hanya memberi update seputar kegiatan pejabat mereka yang bicara sampah,” sambungnya.
Pemerintah gagal menjalankan amanat UU Pengelolaan Sampah
Pada kesempatan yang sama, pengamat politik lingkungan UGM Nur Azizah, menilai tak berjalannya amanat UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah menjadi salah satu akar permasalahan yang terus berkepanjangan itu.
Azizah menjelaskan, UU tersebut telah mendefinisikan ulang Tempat Pembuangan Akhir (TPA) bukan hanya sebagai tempat pembuangan, melainkan juga tempat pemrosesan akhir.
“Ini perlu dipahami, karena tempat pembuangan sampah dan tempat pemrosesan itu berbeda,” kata Azizah, Rabu (5/6/2024).
Ia melanjutkan, bahwa paradigma bahwa TPA sebagai tempat pemrosesan akhir mengharuskan adanya penertiban terhadap jenis sampah yang boleh masuk.
Sayangnya, pemangku kebijakan di sejumlah daerah, termasuk Jogja, justru masih menganggap TPA sebagai tempat penampungan. Alhasil, beragam jenis sampah masuk ke TPA di Jogja, hingga akhirnya menumpuk hingga overload.
“Semua sudah ada dalam undang-undang. Namun tidak berjalan di lapangan. Semua ditumpuk di akhir.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News