DPR RI resmi mengesahkan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI menjadi undang-undang. Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Herlambang P. Wiratraman menyebut, disahkannya aturan ini berarti menghidupkan lagi Dwifungsi TNI. Ia juga ini menjadi ancaman nyata bagi dunia akademik.
Menurut dosen hukum UGM tersebut, keterlibatan militer ke kampus sudah ada presedennya. Yakni ketika Indonesia berada di cengkraman rezim Orde Baru.
Kini, 27 tahun sejak rezim pimpinan Suharto itu digulingkan, dwifungsi TNI (dulu ABRI) malah dihidupkan kembali. Sosok yang mengidupkannya adalah menantu dari Suharto, yakni Prabowo Subianto.
“Sepanjang orde baru, militer banyak sekali melakukan campur tangan ke kebijakan, termasuk ke dunia pendidikan,” kata Herlambang saat dihubungi Mojok, Kamis (20/3/2025) pagi.
“Ancaman dunia pendidikan itu tak cuma soal feodalisme, tapi juga militer yang menundukkan kampus dengan kekuatan tentara,” imbuhnya.
Cara orba “mendisiplinkan” kampus
Ada banyak bentuk intervensi militer ke dalam kampus. Keterlibatan itulah yang membuat kebebasan akademik menjadi terhambat.
Paling sederhana, yang menurut Herlambang kerap terjadi, untuk sekadar membuat acara diskusi saja, penyelenggara harus izin ke Danramil.
“Itu paling merepotkan karena seringkali dekan sudah setuju, tapi militer tidak mengizinkannya,” jelasnya. Alasan tidak memberi izin biasanya terkait tema yang dianggap sensitif maupun pembicaranya yang terlalu kritis.

Selain itu, militer juga kerap datang ke kampus-kampus untuk “mengawal” kegiatan-kegiatan mahasiswa. Mereka kerap mengintimidasi para mahasiswa; melarang bentuk-bentuk kegiatan yang dianggap terlalu kritis ke pemerintah.
Sialnya adalah, petinggi kampus seringkali tunduk begitu saja dengan tentara. Padahal, kampus seharusnya otonom, tak bisa diintervensi kekuatan luar apalagi militer.
“Makanya tidak heran jika sering terjadi sweeping buku, sweeping lapak buku, pembubaran diskusi buku, ataupun banyak hal yang mencederai kebebasan ekspresi atau berpendapat, di mana militer sangat dominan.”
UU TNI berpotensi melahirkan rezim antisains
Bagi Herlambang, dampak dwifungsi TNI di dunia akademik yang tak kalah menakutkan adalah potensi lahirnya rezim antisains. Menurutnya, sebuah kebijakan tak lahir dari luar kosong, melainkan harus melalui riset panjang yang di dalamnya melibatkan partisipasi publik. Hasilnya, adalah kebijakan yang memang dibutuhkan untuk kepentingan orang banyak.
Herlambang mengambil contoh, dalam kasus pelanggaran HAM di Papua, banyak riset menunjukkan militer melakukan kekerasan di sana. Dalih yang selalu dipakai adalah untuk menghabisi separatisme.
“Padahal banyak orang Papua yang kritis itu karena hanya menginginkan adanya perlindungan hak-hak konstitusional mereka. Tapi faktanya, yang kerap terjadi, mereka dibungkam atas nama separatisme,” jelasnya.
Belum lagi, negara juga melakukan eksploitasi sumber daya alam dan diskriminasi rasial yang aktor utamanya adalah militer.

Bagi Herlambang, dunia akademik dapat menyuarakan voice of voiceless orang Papua melalui riset. Sayangnya, di era dwifungsi TNI, riset yang independen bisa jadi diberangus atau diarahkan sesuai kepentingan militer saja.
“Problem itulah yang juga melemahkan upaya-upaya kritis terhadap kebijakan, sehingga yang terjadi adalah politik antisains,” paparnya.
Padahal ada banyak RUU lain yang urgent buat disahkan
Pengesahan UU TNI sendiri dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Meski prosesnya bermasalah dan substansinya banyak dikritik, ia tetap dikebut dan akhirnya berhasil disahkan oleh Ketua DPR RI Puan Maharani.
Herlambang pun juga heran mengapa UU ini begitu dikebut. Padahal, kalau berbicara soal urgensi, ada banyak RUU lain yang lebih mendesak buat disahkan.
“Misalnya Undang-Undang Perampasan Aset, yang itu saya kira perlu didahulukan karena menyangkut korupsi yang begitu masif terjadi di republik ini,” katanya.
Selain itu, ia juga menyebut lebih mendesak lagi untuk merevisi UU KPK, merevisi UU terkait kesejahteraan petani, dan UU Perlindungan Masyarakat Adat yang terus diabaikan. Bahkan, ada juga misalnya undang-undang untuk jaminan hari tua yang jauh lebih mendesak.
“Mereka [pensiunan] semua diwajibkan membayar pajak. Tapi begitu masuk usia pensiun, tak ada tanggung jawab negara, padahal mereka sepanjang hidupnya, dari awal hingga akhir itu mengupayakan atau menjalankan kewajiban bayar pajak,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Alkisah Suharto, Prabowo, dan Swasembada Pangan Ilusif yang Mengancam Petani atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.