Jubir Timnas Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Eva Kusuma Sundari, mengkritik pernyataan cawapres nomor urut 3 Mahfud MD yang menyebut banyak koruptor masuk penjara karena tuntutan istri. Ungkapan itu dinilai gender dan seksis.
Eva mengatakan pernyataan itu amat bias gender dan seksis. Ia juga menyayangkan pernyataan itu keluar dari mulut cawapres yang seyogyanya berwawasan progresif.
Pernyataan Mahfud MD sendiri terlontar saat ia menghadiri Halaqah Kebangsaan dan Pelantikan Pengurus Majelis Zikir Al-Wasilah Sumatera Barat (Sumbar), di Asrama Haji, Kota Padang, Minggu (17/12/2023). Kala itu, di hadapan audiens yang mayoritas ibu-ibu, Mahfud Md awalnya berpesan bahwa perempuan punya juga punya peluang berkontribusi besar dalam bernegara.
“Ada yang mengatakan bahwa kaum perempuan itu adalah tiangnya negara. Perempuan adalah tiangnya negara,” kata Mahfud di depan audiens.
“Kalau perempuan di suatu negaranya itu baik, maka negaranya itu akan baik. Kalau perempuannya tidak baik, negaranya tidak baik. Di sini kaum perempuan punya peran penting nantinya untuk ikut membangun negara,” sambungnya.
Kalimat berikutnya yang akhirnya jadi sorotan Eva adalah tatkala Menko Polhukam itu menyinggung kalau banyak koruptor yang terjerat korupsi itu karena tuntutan istri.
“Suami-suami yang terjerumus ke dalam kejahatan ini karena istrinya tidak baik. Banyak koruptor-koruptor itu yang sekarang masuk penjara, karena tuntutan istrinya. Gajinya cuma Rp20 juta, belanjanya Rp50 juta yang dituntut dari suami,” kata dia.
Eva anggap Mahfud Md bias gender, seksis, dan misoginis
Kepada Mojok, Eva menyebut kalau pernyataan Mahfud MD itu amat bias gender, seksis, dan mencerminkan perilaku misoginis.Â
“Menyedihkan karena beliau bicara berdasar prasangka buruk seperti ungkapan ibarat perkosaan adalah karena dipicu kegenitan perempuan, atau perempuan sumber maksiat,” kata Eva, Rabu (20/12/2023).
Eva juga mengklaim pernyataan Mahfud itu khas masyarakat patriarki yang percaya superioritas laki-laki dan mengkelas-duakan perempuan. Dalam konteks korupsi pun, ia menegaskan bahwa posisi istri bukanlah pelaku, melainkan korban.
“Perempuan bukan pelaku, bahkan ia itu korban laki-laki yang korup, tetapi masih saja disalahkan. Laki-laki yang korup itu ya karena salahnya laki-laki sendiri, lemah iman, pengecut lagi, padahal korupsi kebanyakan motifnya keserakahan,” tegasnya.
Ia pun mengatakan kalau tuduhan Mahfud Md pada istri-istri itu merupakan sesuatu yang lucu, sebab laki-laki sering mengklaim sebagai pemimpin keluarga. Alhasil korupsi pun jadi cermin kegagalan kepemimpinan laki-laki. Eva pun meminta supaya Mahfud berhenti bicara tanpa fakta.
“Pak Mahfud Md harusnya bicara berdasar fakta kasus-kasus korupsi, bukan prasangka buruk terhadap perempuan. Apa ada riset yang menyatakan bahwa pelaku didorong oleh rongrongan perempuan, terutama para istri mereka? Setop menyebar kebencian terhadap perempuan dan istri.”
Cawapres harusnya berwawasan progresif
Eva melanjutkan, bahwa ia dan banyak perempuan lain masih ingat betul bagaimana Mahfud Md mendukung gugatan pemilihan legislatif (pileg) agar sistem menjadi terbuka. Padahal sistem ini amat memukul afirmasi kuota perempuan di politik.
Kata Eva, dengan sistem terbuka yang menggunakan argumen kedaulatan pemilih, maka biaya politik melonjak tinggi. Korupsi pun juga makin menjadi-jadi dan berujung pada perilaku oligarkis.
“Perempuan biasa yang tidak berharta semakin tersingkir, sehingga DPR menjadi elitis. Jadi, ini adalah kali kedua kelompok perempuan dikecewakan Pak Mahfud Md,” kata Eva.
Eva juga menilai, secara tidak langsung sikap yang tidak peka dan responsif terhadap kesetaraan gender dari Mahfud Md memang berasal dari imajinasi sang cawapres itu yang merendahkan perempuan. Ia pun menyayangkan di tahun politik ini kampanye negatif berupa stigmatisasi terhadap perempuan dari Mahfud Md bakal menjadi faktor disinsentif bagi gerakan perempuan.Â
“Harusnya cawapres berwawasan progresif, agar para pemilih perempuan mempunyai harapan. Bukan malah mendapat serangan dari cawapres,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Hammam Izzuddin