Spanduk bertuliskan “Politik Gentong Babi” berkibar di Patung Kuda, Jakarta, sebagai bentuk kritik atas langkah politik yang diambil Presiden Jokowi. Mundur dua dekade lalu, diktator Orde Baru Suharto juga pernah digambarkan sebagai babi. Tepatnya babi hutan alias celeng buruan warga.
Saat sedang berselancar di Twitter, saya cukup kaget setelah menemukan video demonstran yang sedang membakar spanduk. Yang bikin saya kaget bukan aksi pembakarannya, tapi gambar yang terbakar itu. Sebab, dalam spanduk penuh kobaran api itu, sekilas terpampang muka Presiden Jokowi yang tengah menenteng dua ekor babi. Sampai di sini saya belum memahami pesan yang ingin mereka sampaikan.
“Apa mereka tidak takut sama buzzer atau dianggap menista kepala negara?,” pikirku dalam hati. Wajar, soalnya sekarang sedang banyak kasus pejabat melaporkan masyarakat gara-gara kritik. Kebanyakan laporan terkait “penistaan” atau “pencemaran nama baik”.
Usut punya usut, aksi tersebut ternyata adalah inisiasi Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, pada Kamis (8/2/2024) itu merupakan bagian dari mimbar bebas bertajuk ‘Kembalikan Marwah Demokrasi’ dan diikuti perwakilan mahasiswa dari sejumlah kampus. Di antaranya UNS, Unand, Unsoed, Undip, IPB, dan sejumlah kampus lain.
Menurut Koordinator Pusat BEM SI Hilmi Ash Shidiqi, aksi itu mereka lakukan sebagai bentuk rasa kecewa mereka terhadap pemerintahan Jokowi. Menurut Hilmi, Jokowi telah melemahkan demokrasi dengan tetap bermanuver di Pemilu 2024 untuk memenangkan Prabowo-Gibran.
“Sepanjang Jokowi masih bermain dalam permainan pemilu 2024, sepanjang itulah kita masih terus bersuara, sepanjang demokrasi menjadi permainan yang penguasa mainkan, sepanjang itulah kita akan merebut demokrasi dan menarik demokrasi kedalam koridor yang paling tepat,” tegas Hilmi.
Jokowi menggendong gentong berisi babi
Saya pun kepo dan mulai mencari tahu makna dari gambar di spanduk yang bikin saya kaget tadi. Spanduk itu bertuliskan “Politik Gentong Babi ala Jokowi”. Sementara di dalamnya terdapat gambar orang nomor satu RI itu yang tengah menggendong gentong berisi babi.
Dalam pernyataan sikapnya kepada wartawan, Koordinator Wilayah Jateng dan DIY BEM SI, Bagus Hadikusuma menjelaskan, spanduk tersebut menggambarkan pemimpin yang sedang bermain peran. Kata dia, pemimpin tersebut mendaku diri seolah pro rakyat, padahal aslinya tidak.
“Istilah politik gentong babi itu kita pakai untuk penguasa yang punya otoritas dan sumber daya yang banyak. Atau, dalam hal ini rezim yang sedang berkuasa itu sedang menghibahkan anggaran sumber dayanya,” kata Bagus.
“Tujuannya adalah sekadar personifikasi. Misalnya agar masyarakat menganggap bansos sebagai pemberian dari Jokowi, atau berpikir bansos sebagai bantuan yang lahir dari empati atau simpati Jokowi terhadap masyarakat Indonesia. Dan itu adalah pembodohan, bahwa Jokowi hadir memainkan Politik Gentong babi itu untuk apa? Untuk menjaga loyalitas konstituennya tentunya,” tegasnya.
Sebelum membubarkan diri pada pukul 17.00 WIB, para demonstran membakar spanduk tersebut.
View this post on Instagram
Politik Gentong Babi sering mengabaikan asas manfaat dan menguntungkan petahana
Peneliti politik BRIN Wasisto Raharjo Jati yang pernah meneliti soal Politik Gentong Babi atau Pork Barrel, menyebut bahwa praktik tersebut kerap menggunakan kebijakan populis yang justru seringkali mengabaikan azas manfaat dari suatu kebijakan. Dengan adanya progam populis tersebut, penguasa dapat menanamkan romantisme dan jejaring politik secara efektif dan efisien kepada masyarakat.
“Masyarakat kemudian memiliki persepsi bahwa pihak elit yang memiliki kuasa berhasil mengeluarkan kebijakan populis yang dapat memuaskan pemilih,” tulis Wasisto dalam Jurnal Sosiologi Masyarakat (2013).
Praktik politik gentong babi, lanjut Wasis, juga menimbulkan personalisasi terhadap barang publik–seolah elite merupakan ratu adil yang benar-benar memperhatikan rakyatnya. Padahal di balik hal tersebut ada kepentingan politis untuk menjaga loyalitas dan eksistensi elite tadi.
“Yang untung atas politik dagang babi tentunya adalah pihak petahana yang memiliki kekuasaan untuk mengelola sumberdaya publik. Terlebih menjelang adanya pemilihan umum,” sambungnya.
Kata Wasis, secara aturan politik gentong babi itu legal. Namun, secara moralitas dapat tergolong sebagai hal yang tidak etis.
Sementara Suharto pernah jadi celeng buruan masyarakat
Ngomong-ngomong soal presiden dan babi, ini bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Saya jadi teringat, sebelum Jokowi, nyatanya dua dekade lalu ada Suharto juga pernah tergambar sebagai babi hutan alias celeng. Bedanya, saat itu Suharto menjadi celeng yang diburu masyarakat yang marah.
Penggambaran Suharto sebagai celeng itu dapat kita lihat dalam lukisan “Berburu Celeng” karya Djoko Pekik.
Pelukis asal Jogja ini membuat karyanya pada 1998, tahun di mana Suharto mengalami lengser keprabon. Lukisan itu sendiri menggambarkan rakyat yang bersorak-sorak ria. Mereka merayakan keberhasilannya karena berhasil menangkap celeng.
“Keramaian khalayak menggotong celeng gemuk. Kegemilangan penangkapan celeng itu masyarakat rayakan, terlihat dengan sejumlah orang yang menari dan merias wajahnya,” kata perupa Sanggar Bumi Tarung ini dalam sebuah wawancara dengan JawaPos.
Di dalam lukisan, Pekik juga menggambarkan latar belakang jembatan. Itu merupakan simbol kritik terhadap Presiden Soeharto yang punya julukan “Bapak Pembangunan”.
”Celeng itu kan apa saja doyan. Membabi buta. Perusak. Celeng itu seperti pemimpin yang penuh dengan angkara murka,” ujar Pekik.
Lukisan itu kini sudah berada di tangan seorang kolektor setelah laku terjual dengan harga Rp1 miliar.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Jokowi dan Memori Orde Baru yang Masih Membekas
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News