Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa, memastikan bahwa cukai rokok tidak akan naik pada 2026 mendatang. Beberapa pihak tidak sepakat. Namun, sejumlah pihak yang lain merasa itu adalah kebijakan yang tepat demi terus menjaga dan melindungi Industri Hasil Tembakau (IHT) sebagai penopang ekosistem perekonomian nasional dari hulu ke hilir.
***
Papan-papan karangan bunga berjejer di sekitar kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu RI). Sasaran yang dituju: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya, imbas kebijakannya tidak menaikkan cukai rokok pada 2026 mendatang.
Papan-papan bunga itu berisi protes sarkastis. Dikirim oleh sejumlah aliansi seperti Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) dan ratusan jaringan pemuda dari sejumlah organisasi kepemudaan Indonesia lainnya.
“Terima kasih Pak Menteri sudah mempercepat hilangnya masa depan anak muda lewat rokok murah,” tulis papan atas nama Social Force In Action Tobacco Control (SFA FOR TC).
“Turut berduka cita. Cukai tak naik, perokok anak melejit,” tulisan papan bunga dari Yayasan KAKAK.
“Selamat Pak Menteri. Dengan rokok murah korban baru akan terus bertambah,” kirim Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI). Papan-papan lain yang berderet juga menuliskan hal serupa.
Angin segar bagi pelaku industri hasil tembakau
Di tengah gempuran protes terhadap Purbaya, Komunitas Kretek—komunitas yang sudah 15 tahun mengadvokasi isu perihal Industri Hasil Tembakau (IHT)—meneguhkan posisinya untuk mendukung kebijakan Purbaya. Setidaknya dalam konteks tidak naiknya cukai rokok untuk tahun 2026 mendatang.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang, menegaskan bahwa IHT berkait-paut dengan hajat hidup orang banyak. Jika cukai rokok terus naik—tanpa dihentikan—maka akan banyak elemen masyarakat yang menjadi korban.
“Merujuk data Kemenprin, sekitar 6 juta orang menggantungkan hidupnya pada ekosistem IHT dari hulu ke hilir. Petani tembakau dan cengkeh, buruh pabrik, distributor, pedagang, dan lain-lain,” ujarnya kepada Mojok, Selasa (30/9/2025).
Lebih dari itu, IHT adalah industri legal, namun kerap diperlakukan sebagai industri terlarang. Hal itu bisa dilihat dari regulasi-regulasi di beberapa periode pemerintah sebelumnya: Nyaris setiap tahun cukai rokok naik. Makin mencekik. Tidak naik hanya di tahun 2014 dan 2019.
Imbasnya, rokok ilegal merebak. Industri merugi. Lalu elemen-elemen di bawahnya pun tak pelak terdampak: PHK buruh, serapan ke petani tak tentu. Nasib mereka terkatung-katung. Sementara dari industri tersebut lah dapur mereka bisa ngebul: Anak-istri bisa makan. Kebutuhan rumah tangga terpenuhi, dan macam-macam.
“Selama ini IHT terus dicekik cukai tinggi, regulasi ketat, dan distigma jahat. Nah, kebijakan yang diambil Menkeu Purbaya memberikan angin segar untuk industri ini,” sambung Rizky.
Kontribusi IHT lebih besar dari BUMN
Wakil Menteri Perdagangan dan Perindustrian (Wamenprin), Faisol Riza juga menekankan bahwa IHT telah menjadi penopang ekonomi nasional. Bahkan kontribusinya lebih besar ketimbang kontribusi BUMN.
Dalam forum Diskusi Forwin di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (29/9/2025), Faisol membeberkan beberapa hal. Pertama, IHT mampu menyerap hingga 6 juta tenaga kerja. Artinya, memberi peluang kerja nyata bagi masyarakat Indonesia.
Lebih-lebih, sejumlah pabrikan bahkan tidak menuntut keterampilan khusus, batasan usia, ijazah pendidikan, atau sederet syarat rumit untuk bekerja. Di lain sisi, isu PHK besar-besaran dan ketidakterserapan petani mengemuka ketika cukai dan regulasi kian mencekik.
“(Kedua) kontribusi cukai dari IHT di tahun 2024 itu mencapai Rp216,9 triliun. Kalau dibandingkan dengan sumbangan dari BUMN kepada negara, selain pajak, itu jauh di atasnya,” ujarnya.
Jika merujuk data dari Gaprindo, rincian perbandingan sumbangan tersebut dalam beberapa tahun terakhir yakni: Cukai IHT tercatat sebesar Rp218,6 triliun pada 2022 dan sebesar Rp213,5 triliun pada 2023. Sementara setoran dividen BUMN tercatat hanya di angka Rp40 triliun pada 2022 dan Rp81,2 triliun pada 2023.
“Selain itu IHT juga menjadi salah satu yang menyumbang devisa negara melalui ekspor. Pda tahun 2024 nilai ekspor produk hasil tembakau mencapai US$ 1,85 miliar. Meningkat sebesar 21,71% dibandingkan nilai ekspor 2023 sebesar US$ 1,52 miliar,” sambung Faisol.
Cukai rokok tak naik: Menjaga dan melindungi ekosistem nasional
Berangkat dari data-data tersebut, Faisol tak menampik bahwa IHT telah menjadi ekosistem ekonomi nasional yang kuat. Banyak sektor bergantung padanya. Ekosistem ini, lanjut Faisol, bahkan telah terbentuk sejak era kolonial Belanda.
Oleh karena itu, tegas Faisol, sudah menjadi kewajiban bersama untuk terus menjaga. Negara pun harus ambil andil untuk melindungi.
“Sebab ini bukan semata soal pendapatan negara. Tapi juga nasib jutaan orang,” pungkasnya.
Perang dagang yang dimotori antek asing
Sementara Juru Bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) mengatakan, tidak naiknya cukai rokok sama halnya menjaga kedaulatan bangsa. Pasalnya, pengendalian tembakau dan kampanye antirokok sejatinya tidak berdiri sendiri. Melainkan ada kepentingan asing di belakangnya.
Merujuk buku Nicotine War karya Wanda Hamilton, didedah bagaimana sebenarnya kampanye antirokok—dengan segala narasi dan pretensinya—bermula. Semua narasi buruk terhadap rokok bermuara pada satu hal: persoalan dagang.
“Jika narasi antirokok selama ini mengusung misi klise: demi kesehatan manusia, nyatanya tidak begitu. Mereka hanya ingin jualan produk yang sama-sama pakai nikotin juga,” jelas Atfi mengutip Wanda.
Sederhananya: Industri farmasi global—kemudian menggandeng WHO, lembaga-lembaga kesehatan lain, dan lembaga swadaya internasional—memang dalam upaya merebut pasar nikotin dunia. Dengan menjatuhkan IHT, maka industri farmasi bisa leluasa mengambilalih pasar atas produk-produk mereka seperti koyo nikotin dan sederet obat yang diklaim bisa membuat orang berhenti merokok.
Upaya mereka bahkan sampai masuk ke ruang-ruang politis yang pada akhirnya membuat sejumlah negara meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
“Indonesia memang belum meratifikasi produk asing bernama FCTC itu. Tapi poin-poin pengendalian tembakau itu telah diadopsi dalam butir-butir regulasi yang mencekik IHT. Seperti Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pembatasan iklan, regulasi tata niaga (seperti tidak boleh jualan di dekat sekolah), bahkan soal kemasan pun diatur misalnya dengan penampilan gambar peringatan dan wacana bungkus rokok polos,” ujar Atfi.
“Sementara Indonesia bergantung pada IHT. IHT adalah simbol kedaulatan bangsa. Jadi jangan sampai kedaulatan itu diganggu-ganggu oleh kepentingan asing,” tegasnya.
Oleh karena itu, Atfi melihat bahwa kebijakan Purbaya tidak menaikkan cukai rokok sebagai upaya untuk mengembalikan ekosistem dan kedaulatan ekonomi nasional. Semestinya tidak diganggu-ganggu.
Tantangan untuk para pengkritik tidak naiknya cukai rokok
Karangan bunga berisi protes sarkastis di kantor Kemenkeu sebenarnya sudah dibalas oleh karangan-karangan bunga lain: Berisi ucapan terima kasih dari aliansi petani hinga pekerja di sektor IHT dari berbagai daerah.
Atas karangan bunga berisi protes, Purbaya meresponsya dengan tantangan balik kepada para pengirim/pengkritik kebijakan tidak naiknya cukai rokok. Sebab, Purbaya menegaskan bukan tanpa hitungan dia mengambil kebijakan itu.
“Kan saya sudah hitung alasannya kenapa karena saya nggak mau industri kita mati. Terus dibiarkan yang ilegal hidup,” ujar Purbaya di Jakarta, Selasa (30/9/2025) sebagaimana mengutip Detik Finance.
Prinsipnya, Purbaya menegaskan kalau dia sedang menjaga roda penghidupan masyarakat banyak. Oleh karena itu, dia memberi tantangan kepada para pengkritik soal dampak ambruknya sektor ekonomi jika IHT tumbang.
“Kalau dia bisa ciptakan lapangan kerja sebanyak yang terjadi pengangguran karena industri yang mati, boleh kita ubah kebijakannya langsung. Kalau dia nggak bisa jangan omong aja. Kan masyarakat butuh penghidupan kan. Harus ada keseimbangan kebijakan lah saya bilang,” katanya.
Lebih lanjut, Purbaya menyebut, jika pengkritik menyoroti dampak kesehatan akibat rokok, maka baginya harusnya lembaga-lembaga kesehatan mampu memberi program konkret. Bukan semata mematikan industri legal nasional.
“Coba didesain aja kebijakannya. Kalau bagus saya ikutin,” tegas Purbaya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Ladang Tembakau Siluk: Teman, Rumah, dan Nyawa bagi Petani Srunggo-Kalidadap Imogiri, Tak Menanam akan Menyesal atau Liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan











