Alih fungsi lahan yang semakin luas adalah faktor utama mengapa kehidupan petani di Sleman menjadi rentan. Sayangnya, masalah yang serius ini malah diabaikan oleh pemerintah kabupaten Sleman.
Padahal, akibat adanya alih fungsi, lahan-lahan pertanian menjadi menyusut. Bagi para petani, ini jelas menjadi ancaman karena bakal mengurangi produktivitas panen dan dalam skala yang ekstrim bisa menghilangkan mata pencaharian mereka.
Dalam waktu lama, alih fungsi lahan yang semakin tak terkendali juga bisa menciptakan situasi krisis pangan dan lingkungan.
2 ribu hektar lahan pertanian menyusut, gara-gara pembangunan
Dalam empat tahun terakhir, penyusutan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan di Sleman mencapai 2.153 hektar. Jelas, ini bukanlah angka yang main-main.
Berdasarkan rilis data yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), disebutkan bahwa luas baku sawah di Sleman pada 2029 mencapai 18.137 hektar.
Sayangnya, dalam kurun waktu empat tahun ini luasnya terus berkurang. Kini tinggal menyisakan 15.984 hektar sawah. Adapun, penyusutan terjadi karena alih fungsi lahan menjadi non-pertanian.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Pangan dan Perikanan Sleman, Siti Rochayah menjelaskan, alih fungsi terjadi karena pembangunan properti di Sleman meningkat. Selain itu, lahan pertanian juga kena dari proyek strategis nasional untuk pembangunan tol Jogja-Solo maupun Jogja-Bawen.
“Intinya ada perubahan fungsi dari sawah ke bangunan. Ada yang jadi perumahan, tapi ada juga yang terdampak pembangunan tol,” jelasnya, kala memaparkan data dalam rilis Kementerian ATR/BPR, Minggu (29/1/2024) lalu.
Akibatnya, secara akumulasi luas panen pun cenderung turun. Sebagai gambaran, pada 2022 luasan panen mencapai 42.353 hektar. Sementara luas panen pada 2023 sekitar 41.830 hektar.
Bupati Sleman tak membahas masalah alih fungsi lahan
Meskipun jadi persoalan serius, nyatanya Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo tak fokus mengatasi masalah ini. Kustini, yang kembali menyalonkan diri sebagai calon bupati di Pilkada Sleman, menyebut masalah utama petani akibat kesenjangan kota dan desa.
Maka dari itu, Kustini pun memiliki gagasan untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui penyediaan alat-alat modern dan pengembangan agro wisata. Tanpa menyebut inti dari masalah yang dialami petani: alih fungsi lahan pertanian.
“Petani lebih sejahtera dengan memberikan alat-alat modern,” ujar calon bupati petahana ini dalam Debat Publik Pertama Calon Bupati Sleman, Minggu (28/10/2024).
“Setelah itu, pertanian bisa menjadi tempat wisata yang berkolaborasi antara wisata kreatif dan pertanian. Diperlukan keseimbangan supaya tidak ada kesenjangan,” imbuh Kustini.
Ia juga akan concern pembangunan akses jalan untuk menghubungkan perkotaan dan pedesaan, yang katanya, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih merata. Padahal, tiap tahun setidaknya 50 hektar lenyap akibat alih fungsi lahan pertanian. Banyak petani pun merasa sia-sia jika akses jalan kota ke desa mumpuni, tapi mereka kehilangan sawah sebagai mata pencaharian.
“Sekarang persoalan lahan pertanian sudah nggak lagi dianggap serius. Kurangnya minat anak muda Sleman jadi petani lebih dipandang sebagai persoalan personal, alih-alih sistem. Padalah intinya lebih dari itu, banyak orang nggak mau bertani ya sesederhana nggak ada lahan lagi,” ungkap Jian, petani muda yang sejak dua tahun lalu konsisten mengembangkan pertanian dalam kota, saat Mojok hubungi pada Senin (28/10/2024) sore.
Edukasi soal pertanian masih setengah-setengah
Selain mengabaikan persoalan alih fungsi lahan pertanian, pemerintah Kabupaten Sleman juga dianggap tak ambisi buat memajukan sektor pertanian. Misalnya, sesederhana edukasi soal pertanian saja, Pemkab Sleman masih terkesan setengah-setengah.
Mojok pernah mewawancarai Dwi Susilowati, seorang perintis Komunitas Wanita Tani di Desa Hargobinangun, Cangkringan Sleman. Dia, yang 10 tahun lebih concern soal gerakan dan edukasi pertanian, mempertanyakan keseriusan Pemkab Sleman dalam memperhatikan sektor pertanian.
“Saya sering mengkritik PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan). Kayak nggak serius aja mendampingi petani yang belum profesional,” kata Susi.
Menurut Susi, PPL cenderung suka promosi produk tertentu, seperti obat pembasmi hama, tapi tanpa mengedukasi. Pendeknya, upaya-upaya pemerintah orientasinya cuma bisnis, bukan edukasi.
Berbagai kritik beberapa kali Susi layangkan. Namun, seperti tak digubris pihak bersangkutan. Bahkan, saking vokalnya ia sampai “disingkirkan” oleh Pemkab Sleman. Padahal, Susi dulu sempat terlibat dan aktif menyumbang terobosan terkait dunia pertanian.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News