Karangan bunga satire untuk Presiden Prabowo Subianto dan wakilnya, Gibran Rakabuming Raka karya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga (FISIP UNAIR) viral di media sosial.
Pro-kontra pun terjadi, termasuk dari mahasiswa Universitas Airlangga sendiri. Ada yang mendukung aksi tersebut karena ikut kecewa terhadap proses Pemilu 2024 kemarin, ada pula yang tidak mendukung karena merasa sindiran yang disampaikan kurang sopan.
***
Sementara itu, notifikasi WhatsApp dari telepon milik Ketua BEM FISIP UNAIR, Tuffahati Ullayyah terus berdenting sejak Minggu pagi, (27/10/2024) hingga siang. Narasinya berisi kekecewaan terhadap kepemimpinan Tuffa, sapaan akrabnya.
Tuffa maklum, sebab organisasinya kini sedang diterpa masalah. Buntut dari viralnya karangan bunga satire itu, BEM FISIP UNAIR sempat dibekukan oleh Dekanat.
Kutukan untuk Ketua BEM FISIP UNAIR
Tuffa bercerita ada dua sampai tiga kontak tidak dikenal yang terus mengirim pesan WhatsApp kepadanya. Tuffa kemudian mengirim tangkapan layarnya kepada saya. Dia merasa chat tersebut cenderung menghakimi dan mendoakan hal yang tidak baik secara personal.
“Marabahaya, semua nikmat rezekinya tuhan cabut, diberi kesengsaraan, diberi penyakit bertubi-tubi supaya melek atas kebaikan Pak Jokowi, amin,” tulis salah satu nomer tidak dikenal yang Tuffa terima.
Pesan itu tak hanya sekali, tapi sudah seperti spam karena ada puluhan chat masuk. Bahkan ada permintaan panggilan video, yang tentu tidak dijawab oleh Tuffa.
“Kakak buta kah pencapaian Jokowi selama 10 tahun?” tulis nomor itu lagi.
“Banyak masyarakat yang terbantu loh Kak berkat program Jokowi, seperti BPJS, KIP, pembangunan infrastruktur sangat terasa bagi masyarakat Indonesia loh, Kak,” lanjutnya.
Pesan lain dengan nomor yang berbeda juga Tuffa terima. Narasinya kurang lebih mirip dengan pesan sebelumnya. Namun, pesan itu lebih mengandung unsur ancaman akibat karangan bunga satire pada Jumat kemarin.
“Seandainya orang tua anda yang menjadi presiden, lalu diberi ‘umpatan bajiingan’ apa anda terima?”
“Saya malu loh, sekelas UNAIR mahasiswanya apa tidak diajarkan sopan santun dalam berbicara? Kalau ini sudah masuk pencemaran nama baik, bisa dikenakan pidana loh kak,” lanjutnya.
Tuffa tak membalas pesan-pesan tersebut. Dia lebih fokus menyelesaikan kasus pembekuan organisasinya, BEM FISIP UNAIR. Pembekuan itu buntut dari ungkapan ekspresi kekecewaan mereka terhadap fenomena Pemilu 2024.
“Jabatan hitam” Prabowo, Gibran, dan Jokowi
BEM FISIP UNAIR membuat karya seni satire berbentuk karangan bunga atas pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan wakilnya, Gibran Rakabuming Raka. Karangan bunga itu kemudian dipasang di Taman Barat FISIP UNAIR, Surabaya pada Selasa sore, (22/10/2024).
Karangan bunga itu berbentuk banner besar bergambar Jenderal TNI Prabowo Subianto Djojohadikusumo dengan sematan jabatannya sebagai Ketua Tim Mawar. Gambar itu bersandingan dengan Gibran Rakabuming Raka dengan sematan jabatan admin fufufafa.
Sementara, kata-kata selamatnya ditulis besar di atas dan diiringi sindiran di bawahnya.
“Selamat. Dilantiknya jenderal bengis pelanggar HAM dan profesor IPK 2,3 sebagai presiden dan wakil presiden republik Indonesia yang lahir dari rahim haram konstitusi,” tulis karangan bunga itu.
Sebagai penutup, sindiran itu mencantumkan nama pengirim, yakni “Dari: Mulyono (Bajingan Penghancur Demokrasi)”.
Tuffa bilang karangan satire itu menarik perhatian banyak mahasiswa Universitas Airlangga. Mereka berdatangan untuk melihat dan mendokumentasikan karya tersebut sampai akhirnya viral di media sosial, terutama di X dan TikTok.
Pembekuan BEM FISIP UNAIR
Di hari yang sama dengan pemasangan karangan bunga, Tuffa menerima surat panggilan dari Ketua Komisi Etik FISIP UNAIR pada pukul 22.25 WIB. Esok paginya, Tuffa dan beberapa anggotanya hanya dimintai klarifikasi soal kepemilikan karangan bunga tersebut.
“Kami saat itu bilang, karangan bunga tersebut murni hasil inisiasi Kementerian Politik dan Kajian Strategis BEM FISIP,” ucapnya pada Minggu, (27/10/2024) sekaligus menegaskan bahwa tidak ada keterlibatan dari pihak luar.
Usai pertemuan tersebut, Tuffa menerima surel dari dekanat pukul 16.13 WIB bahwa BEM FISIP UNAIR dibekukan. Namun, Tuffa mengaku belum ada penerbitan surat keputusan dari Dekan FISIP UNAIR sehingga mereka hanya bisa menunggu.
Merujuk pada berita acara Nomor: 11038/TB/UN3.FISIP/TP.01.02/2024 tentang hasil klarifikasi Dewan Etika FISIP dengan pengurus BEM FISIP UNAIR, pembekuan itu karena Dewan Etika FISIP UNAIR mempertimbangkan penggunaan narasi dalam karangan bunga. Mereka menilai narasi tersebut tidak sesuai dengan etika dan kultur akademik insan kampus.
“Pemasangan karangan bunga di halaman FISIP UNAIR yang dilakukan tanpa izin dan koordinasi dengan pimpinan fakultas,” tulis berita acara yang ditandangani oleh Dekan FISIP UNAIR, Bagong Suyanto.
Pembekuan dicabut, tapi pakai syarat
Bagong berujar pembukaan tersebut karena BEM FISIP UNAIR menggunakan hate speech. Namun, pada Senin pagi (28/10/2024), pihak Dekanat dan pengurus BEM FISIP UNAIR telah mengadakan diskusi. Pada pertemuan itu, mereka memutuskan untuk mencabut surat pembekuan tersebut.
“Tidak ada sanksi lain, setelah mereka berjanji tidak akan menggunakan diksi kasar lagi, maka kami mencabutnya,” ucap dosen politik Universitas Airlangga itu saat dikonfirmasi Mojok pada Senin, (28/10/2024).
Sementara itu, mantan Presiden BEM FISIP UNAIR periode 1999-2000, Yohan Wahyu menyarankan agar masyarakat lebih proporsional dan tidak melibatkan emosi menanggapi aksi karangan bunga tersebut.
Yohan melihat dari perspektif sejarah. Menurut dia, kalimat satire yang digunakan oleh anggota BEM FISIP UNAIR saat ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan diksi-diksi di era reformasi dulu. Meskipun saat ini dianggap kurang sopan dan menghina.
“Bedanya dulu ada media sosial dan dulu satu suara: anti orde baru. Hari ini tentu beda situasinya,” ucap Yohan melalui keterangan tertulis yang diterima Mojok, Minggu (27/10/2024).
Yohan menilai BEM FISIP UNAIR kurang mepertimbangkan dampak politis di tengah masyarakat yang tidak lagi punya dukungan tunggal. Dia berharap ada dialog antara BEM FISIP UNAIR dan Dekanat untuk mencari solusi terbaik.
“Jangan sampai kita juga tidak proporsional memandang kasus ini, sehingga mematikan kritisisme kampus,” ujar alumni Universitas Airlangga itu.
Masyarakat, kata dia, harus mengakui kampus menjadi harapan terakhir untuk menciptakan keseimbangan di tengah masifnya berbagai kekuatan.
“Tentu opisisi yang benar-benar berbasiskan data dan nurani, bukan sekadar kebencian,” ucapnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.