MOJOK.CO – Munculnya rektor-rektor perempuan di sejumlah kampus Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dianggap sebagai angin segar. Bagaimana tidak, srikandi-srikandi kampus ini hadir di tengah budaya maskulinitas yang masih menjamur di menara gading.
Pada Desember 2022 lalu, Universitas Riau baru saja melantik Sri Indarti sebagai pemimpin baru kampus tersebut untuk masa jabatan 2022-2026. Pelantikan ini hanya berselang tujuh bulan setelah Ova Emilia terpilih sebagai Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM).
Kedua nama baru ini mengikuti Retno Agustina Ekaputri yang menjabat sebagai Rektor Universitas Bengkulu periode 2021-2025. Lalu, Reini Wirahadikusumah yang menjadi Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) periode 2020-2025. Dyah Sawitri sebagai Rektor Universitas Gajayana Malang periode kedua (2020-2024). Serta Sri Mulyani yang menjadi Rektor Universitas Singaperbangsa Karawang (2020-2024).
Selain nama-nama tersebut, masih terdapat beberapa rektor perempuan lain yang saat ini masih menjabat, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Antara lain Rektor Universitas Padjadjaran Rina Indiastuti, Rektor Institute Teknologi dan Bisnis ASIA Malang Risa Santosa. Hingga rektor perempuan pertama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Amany Burhanuddin U. Lubis.
Kesetaraan masih rendah
Kendati mulai banyak kampus yang melantik perempuan sebagai rektor, nyatanya kesetaraan gender dalam hal kepemimpinan masih rendah di institusi pendidikan tinggi. Per 2022, baru ada 10 persen rektor perempuan di 183 perguruan tinggi negeri (PTN) seluruh Indonesia.
Jumlah lebih banyak terjadi di kampus swasta (PTS). Sudah ada lima ratusan rektor perempuan di dalamnya. Namun, jumlah ini tetap kecil dan belum setara mengingat ada total 3.975 kampus swasta di Indonesia. Artinya, jumlah itu baru mencakup 15 persen saja.
Lebih jauh, menurut laporan akhir “Sumber Daya Manusia dan Gender pada Pendidikan Tinggi Indonesia” milik Bappenas dan Australian Government, ketimpangan ini juga terjadi di tingkat lebih bawah.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa pada level dekan hanya ada 20 persen PTN dan 30 persen PTS yang punya pemimpin fakultas bergender perempuan. Sementara itu, hanya ada 10 persen PTN yang punya direktur perempuan di dalamnya.
“Data tersebut menunjukkan bahwa paritas gender memang masih ada di perguruan tinggi secara umum,” tulis laporan tersebut.
Lebih jauh, analisis Litbang Kompas bertajuk “Rektor Perempuan dan Kesetaraan di Perguruan Tinggi” menyebutkan bahwa masalah tersebut sebenarnya tidak hanya berpusat pada praktik diskriminasi dan pengecualian dalam proses rekrutmen, seleksi, dan promosi jabatan yang dialami perempuan. Namun, juga masih ada pandangan kuat bahwa ide kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi, bahkan di bidang lain, tidak menarik dan sulit diterima secara kultural.
Menurut laporan British Coucil pada Maret 2022 berjudul “Gender Equality in Higher Education: Maximising Impacts” menyebutkan, karier laki-laki di dunia akademis terkesan lebih lancar di setiap jenjang. Sementara pada perempuan, karier hanya lancar atau lebih baik di tahap awal.
“Seiring dengan naiknya tingkatan ke posisi yang lebih tinggi, jumlahnya tidak sebanding dengan laki-laki,” tulis laporan tersebut, yang dikutip Litbang Kompas.
Perempuan mengalami kesulitan meng-upgrade jenjang kariernya secara umum, menurut laporan tersebut, penyebabnya dua faktor, yakni birokrasi dan faktor mentalitas.
“Pertama, karena sulitnya perempuan mencapai jabatan guru besar (profesor), yang mana jabatan tersebut di banyak negara merupakan prasyarat untuk menjadi rektor,” tulis laporan tersebut.
“Kedua, (secara mentalitas) masih adanya pola pikir institusi yang menolak perubahan,” sambungnya.
Ada progres ke arah yang lebih baik
Problem ketidaksetaraan gender tidak hanya terjadi di tingkat pendidikan tinggi, tetapi juga di dunia pendidikan secara umum. Laporan UNESCO menyebutkan, dua pertiga orang dewasa di seluruh dunia yang tidak bisa membaca adalah perempuan.
Pun, kesempatan bagi perempuan untuk masuk ke perguruan tinggi juga masih minim. Namun, ketika kesempatan itu datang, tak jarang diskriminasi berbasis gender hingga kekerasan seksual terjadi pada mereka. Hal ini tentu menambah pelik permasalahan perempuan dalam keterlibatannya di dunia pendidikan.
Sementara untuk level kepemimpinan—dalam hal ini rektor—presentasenya yang masih amat kecil ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di seluruh dunia pun, proporsi rektor perempuan belum mencapai angka 10 persen.
Kendati demikian, dalam beberapa tahun terakhir ada progres yang lebih baik di beberapa kampus terkemuka di dunia. Pada 2020, dari 200 universitas top dunia terdapat 19 persen atau 39 kampus yang mempunyai rektor perempuan. Jumlah ini meningkat jika kita membandingkan dengan dua tahun sebelumnya yang hanya 34 universitas (17 persen).
Amerika Serikat menjadi negara yang paling banyak memiliki rektor perempuan pada 2020 tersebut, yakni di 13 universitas. Beberapa di antaranya adalah University of California-Berkeley, University of Pennsylvania, University of Washington, Cornell University, McGill University, University of Wisconsin-Madison, dan Brown University.
Sementara universitas yang memiliki rektor perempuan di Inggris antara lain University of Oxford, Imperial College London, dan London School of Economics and Politics Science.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda