MOJOK – Ratu Tisha buka suara soal cara-cara yang harus dilakukan untuk memajukan persepakbolaan Indonesia. Secara khusus, ia juga menyinggung mengenai upaya mengembangkan sepak bola perempuan, yang selama ini dinomorduakan.
Mantan Sekretaris Jenderal PSSI, Ratu Tisha Destria, menjelaskan upaya-upaya apa saja yang idealnya harus ditempuh untuk memajukan sepak bola di Indonesia. Menurutnya, secara umum, maju atau tidaknya sepak bola ditentukan oleh tiga faktor, yakni technical (faktor teknikal), pendataan, dan sinergi.
Dalam membentuk faktor yang pertama, kata Tisha, kompetisi yang baik di tingkatan akar rumput secara konsisten harus digulirkan. Ini bertujuan untuk menemukan bibit-bibit unggul yang tersebar di penjuru negeri, yang kemudian dapat dipantau dan dibina progresnya.
Ia mengakui, Indonesia punya bentuk geografis yang luas dan terbentang menjadi banyak pulau. Di satu sisi, kondisi itu menjadi tantangan bagi para stakeholder sepak bola. Namun di sisi lain, geografis yang luas sebenarnya adalah anugerah bagi sepak bola Indonesia.
“Dengan geografis kita yang luas, kompetisi-kompetisi kita di grassroot [akar rumput] harus dijalankan secara baik, secara unik per provinsi seperti apa, dan ketika maju ke tingkat nasional pun akan seperti apa,” ujar Tisha dalam video Q n A (tanya jawab) di Instagram @ratu.tisha, dikutip Jumat (3/2/2023).
Lebih lanjut, jika kompetisi di akar rumput sudah berjalan, upaya berikutnya adalah pendataan yang baik dari pemangku kebijakan. Maka, sinergitas antara pusat dan daerah sangat diperlukan untuk memastikan bahwa talenta-talenta yang muncul di kompetisi akar rumput dapat termonitor.
“Karena negara kita besar, kita harus jadikan ini kelebihan [untuk mencari bakat-bakat terbaik]. Jadi, harus perbanyak sinergi,” sambungnya.
Tisha juga menyebut, bahwa kunci utama dari kuatnya tim nasional (timnas) sepak bola sebuah negara terletak pada pengembangan pemain usia dini.
Mengembangkan sepak bola perempuan
Terkait sepak bola perempuan, laiknya sepak bola laki-laki, ia harus dikembangkan mulai dari yang fundamental. Menurut Tisha, aspek fundamental ini adalah “pembinaan usia dini”. Caranya, kanal-kanal pembinaan sepak bola perempuan harus diperbaiki, seperti akademi, pelatih, fasilitas penunjang, hingga kompetisi harus distandardisasi.
“Selain itu, tidak ada jalan lain,” Tisha menegaskan.
Menurut Tisha, pengembangan aspek fundamental itu menjadi penting lantaran bikin sepak bola sustain alias berkelanjutan.
“Tanpa jalan itu [pembinaan], misalnya pakai jalan pintas, oke kita bisa menang. Tapi kita tidak bisa sustain untuk jangka waktu yang panjang,” lanjutnya.
Berkaca dari sejarah, Indonesia sebenarnya punya sejarah panjang terkait kompetisi sepak bola perempuan. Misalnya, pada 1982, Indonesia menyelenggarakan Kompetisi Galanita. Kompetisi ini bahkan digelar jauh sebelum adanya Piala Dunia perempuan pertama, yang diadakan di China pada 1991.
Menurut Tisha, ini menjadi bukti bahwa sebenarnya Indonesia tak kalah dari negara lain soal sepak bola perempuan. Namun, karena tidak berjalannya pembinaan usia muda, kompetisi itu pasang surut dan bikin sepak bola perempuan tenggelam.
Terakhir kali Indonesia mengikuti kompetisi sepak bola perempuan adalah tahun lalu, dalam AFC Women’s Asian Cup 2022 di India. Kala itu, Indonesia menelan kekalahan telak tanpa berhasil mencetak satu pun gol di dalam tiga pertandingan (0-6 vs Filipin; 0-4 vs Thailand; dan 0-18 vs Australia).
Jika terpilih sebagai Waketum PSSI
Dalam kesempatan tersebut, Ratu Tisha juga menyinggung upaya apa saja yang bakal ia lakukan jika terpilih sebagai wakil ketua umum (Waketum) PSSI. Seperti yang sudah diketahui, perempuan pertama yang pernah menjabat Sekjen PSSI ini resmi terjun ke bursa calon Waketum PSSI periode 2023-2027, setelah mendaftarkan diri untuk posisi tersebut pada Minggu (15/1/2023) lalu.
Terkait langkahnya agar terpilih, pertama, ia ingin memperbaiki tata kelola organisasi. Menurutnya, selain masih kurang berdaya, jumlah keanggotaan PSSI masih terlalu sedikit jika dibanding negara lain.
Jumlah keanggotaan PSSI, dari pusat hingga pelosok “cuma” seribuan. Sementara jika berkaca dari negara-negara Eropa, Jerman misalnya, yang luas wilayahnya lebih kecil, jumlah anggota federasinya bisa sampai puluhan ribu.
“Itu menandakan bahwa aktivitas sepak bolanya [di Jerman], juga jumlah pertandingannya, bahkan sampai level akar rumput berjalan dan termonitor secara baik,” ujarnya.
Kedua, Tisha ingin menyinergikan badan-badan yang ada di dalam PSSI. Sebagaimana diketahui, di dalam tubuh PSSI terdapat badan-badan lembaga mulai dari eksekutif, administrasi, serta komite independen—yang di dalamnya terdapat komite audit dan kepatuhan, komite yudisial, komite disiplin, komite etik, dan sebagainya.
Menurut Tisha, sistem yang ada sekarang ini harus dikaji ulang. Hal ini penting untuk menemukan sistem pengelolaan seperti apa yang tepat diimplementasikan, mengingat masing-masing negara punya budaya dan ciri khas masing-masing. Sehingga, untuk tata kelola pun juga harus disesuaikan.
Sementara yang ketiga, dan yang paling penting, ia ingin meningkatkan kualitas tiga elemen utama sepak bola, yakni pemain, pelatih, dan wasit. Meski butuh waktu tidak sebentar dan menjadi tantangan terbesar, selama ada upaya dan komitmen kuat, target ketiga ini bakal tercapai.
“Maka dari itu, kualitas klub anggota PSSI dan Asprov harus kita kuatkan,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda
BACA JUGA Surat Cinta untuk PSSI, Buatlah Sejarah!