MOJOK.CO – Sekelompok warga melakukan tapa bisu di Tugu Yogyakarta, Senin (16/10/2023). Aksi ini untuk merespon politik dinasti yang mungkin terjadi di Indonesia.
Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengetuk palu penolakan gugatan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Hal ini berarti menutup peluang putera sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi cawapres dalam pilpres 2024 mendatang.
Meski demikian sekelompok warga Yogyakarta yang menamakan diri Masyarakat Peduli Kebudayaan khawatir politik dinasti masih saja mengemuka. Meski tak menyebut langsung nama keluarga Jokowi yang terjun ke politik, mereka mengkhawatirkan politik dinasti akan merusakan tatanan demokrasi yang ada saat ini.
Karenanya puluhan anggota komunitas Masyarakat Peduli Kebudayaan pun menggelar aksi tapa bisu atau berdiam diri di Tugu Jogja, Senin (16/10/2023). Sembari tapa bisu, mereka membakar kemenyan dan menaburkan bunga di ikon Kota Yogyakarta tersebut.
“Ini sebetulnya aksi damai kami sebagai komunitas peduli kebudayaan. Bagaimanapun kita punya kebudayaan, budi pekerti luhur. Jangan sampai negara kita yang sudah baik, sudah benar-benar demokrasi justru tercederai dengan isu dinasti politik,” papar koordinator aksi, Indroyoko di sela aksi.
Tapa bisu agar tak kembali ke Orba
Menurut Indroyoko, bila para penguasa memaksakan politik dinasti, maka mereka khawatir Indonesia akan kembali pada masa Orba. Padahal saat ini demokrasi Indonesia sudah berjalan baik selama ini. Alih-alih demi kepentingan pribadi, para penguasa seharusnya memikirkan kepentingan rakyat.
“Karenanya maunya teman-teman komunitas dan pegiat budaya, kita menjaga dan mengawal demokrasi agar indonesia menjadi negara yang maju dan damai, sejahtera [tanpa politik identitas],” tandasnya di sela aksi tapa bisu.
Indroyoko menyatakan, politik dinasti sangat berbahaya bagi keberlangsungan iklim demokrasi di Indonesia. Kekuasaan yang turun temurun dan absolut dimungkinkan bisa merusak demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah pasca era reformasi.
Karenanya politik mestinya bisa berdaulat. Hal ini penting agar Indonesia kembali pada tujuan awal berdemokrasi.
“Kita masih mencium indikasi gejala politik dinasti, jangan sampai terjadi politik dinasti,” ujarnya.
Berbasis kebudayaan
Indroyoko menambahkan, demokrasi di Indonesia harus djalankan dengan basis kebudayaan dan budi pekerti luhur, tanpa muatan politik dinasti di dalamnya. Oleh sebab itu, pihaknya berharap, para pemimpin sekarang dan di masa mendatang bisa betul-betul berpikir bijak untuk kebaikan rakyat dengan menjaga demokrasi.
“Bagaimanapun kekuasaan yang turun-menurun dan absolut berpotensi merusak demokrasi yang sudah kita perjuangkan bersama-sama,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Mengenal Projo, Relawan Jokowi yang Kini Merapat ke Prabowo
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News