MOJOK.CO – Publik gaduh dengan wacana perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka (pilih kandidat) ke proporsional tertutup (pilih partai). tak sedikit yang kontra dengan narasi ini, tapi benarkah sistem tersebut bikin demokrasi kita mundur?
Pembahasan sistem pemilu ini kembali ramai setelah mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, menyebut telah mendapatkan bocoran informasi “dari sumber terpercaya” bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan Pemilu 2024 akan kembali ke sistem proporsional tertutup.
Pernyataan Denny pun langsung mendapat banyak respons. Mayoritas warganet banyak yang khawatir sistem proporsional tertutup bakal membawa Indonesia ke masa otoritarian seperti Orde Baru.
Terkait hal tersebut, pakar politik UGM Mada Sukmajati menyebut bahwa proporsional tertutup sebenarnya tak sepenuhnya buruk. Kata Mada, ia dipandang negatif, salah satunya, karena istilah “tertutup” yang asumsinya sebagai sesuatu yang buruk.
Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu. Sebab dalam literatur politik, belum ada bukti yang menunjukkan kalau proporsional tertutup selalu negatif dan proporsional terbuka selalu demokratis.
“Malahan, dalam praktiknya di Indonesia, kita sudah membutikan bahwa proporsional terbuka tidak sepenuhnya demokratis,” kata Mada kepada Mojok, Senin (5/6/2023).
“Misalnya, seperti maraknya politik uang, problem politik representasi hasil pemilu yang kinerjanya buruk, dan sebagainya,” imbuhnya, ia mencontohkan.
Mendorong transformasi di partai politik
Selain itu, proporsional tertutup juga memiliki beberapa keunggulan. Salah satunya, proporsional tertutup dapat digunakan untuk mendorong transformasi dalam tubuh partai politik.
Caranya, kata dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM ini, adalah dengan mendorong partai politik untuk menekankan prinsip partisipasi dalam proses pencalonannya.
Seperti yang ia ungkapkan, partisipasi politik tak hanya dimaknai sebagai proses pencoblosan saja, melainkan juga proses pencalonan kandidat yang akan maju dalam pemilu. Dalam proses ini, parpol bisa mendorong agar kadernya berpartisipasi aktif untuk dicalonkan.
“Proporsional tertutup dapat meningkatkan derajat dan mutu demokrasi internal partai politik, terutama terkait fungsi rekrutmen politik dan proses kandidasi,” ujarnya.
Selain itu, sistem proporsional tertutup juga dapat mendorong lahirnya model perwakilan politik yang programatik antara rakyat dan para wakilnya. Sehingga, kata Mada, kita akan dapat mengembangkan politik berbasis ide atau gagasan ke depannya—bukan berbasis sentimen maupun politik uang.
Sejauh ini, dalam kerangka proporsional terbuka, model tersebut jarang ditemui dalam tubuh partai politik. Menurut Mada, saat ini kebanyakan parpol malah menaikan artis maupun publik figur yang bukan merupakan kader partai dalam pencalonan.
Alhasil, mereka hanya membawa visi pribadi tanpa mewakili ideologi partai. Padahal, seorang kader partai harus dituntut memiliki kemapuan menerjemahkan visi besar partai ke dalam program kerja mereka—alih-alih sekadar pamer popularitas.
“Sistem saat ini [proporsional terbuka] seolah mereduksi ataupun melemahkan model perwakilan yang programatik tadi, karena, misalnya, banyak artis yang tidak paham soal visi partai tiba-tiba muncul mewakili nama partai,” jelasnya.
“Dalam proporsional tertutup, hal itu akan sangat jarang dijumpai,” lanjut Mada.
Efisien dan solutif
Di samping mampu menjadi agenda transformasi partai politik di Indonesia, proporsional tertutup juga ia pandang lebih efisien. Salah satunya terkait rekapitulasi atau perhitungan suara.
Mada amat menyayangkan pada pemilu sebelumnya banyak petugas pelaksana pemilu di lapangan yang harus meninggal dunia akibat kelelahan. Kebanyakan petugas ini kelelahan setelah melewati rangkaian tahap rekapitulasi suara yang panjang dan rumit.
Sementara dalam proses rekapitulasi di sistem proporsional tertutup sendiri, hanya mensyaratkan perhitungan suara untuk partai. Jadi, proses perhitungannya lebih mudah dan efisien, sehingga masalah serupa pada Pemilu 2019 dapat terminimalisir.
“Dalam proporsional terbuka, petugas harus menghitung satu-satu untuk nama caleg yang dipilih. Sementara dalam proporsional tertutup, prosesnya lebih mudah dan cepat karena hanya menghitung perolehan suara untuk partai,” kata Mada.
“Jadi, cara konsep ini lebih efisien dan solutif,” tegasnya.
Harus ada pemilu pendahuluan
Meski sistem ini lebih sesuai, pelaksanaan pemilu legislatif dengan sistem proporsional tertutup perlu ada pemilu pendahuluan atau proses kandidasi di internal partai politik.
Kata dia, hal ini untuk memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.
“Ada beberapa negara yang melakukan ini, termasuk Perancis dan AS, yang bahkan dalam pilpres juga melakukan pemilu pendahuluan,” jelasnya.
Ia juga menyarankan bahwa di setiap kepengurusan partai politik mulai dari level desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi sampai level nasional, terdapat forum musyawarah oleh anggota-anggota partai politik.
Dari forum tersebut, barulah kemudian ada penentuan siapa kandidat yang akan partai politik calonkan.
“Hanya dengan cara ini, partisipasi masyarakat bisa lebih dijamin ketika nanti sistemnya tertutup,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi