MOJOK- Shinta Ratri berpulang pada Rabu (1/2/2023) kemarin. Figur ini, dikenal sebagai aktivis transpuan yang menggagas berdirinya Pondok Pesantren (Ponpes) Waria Al-Fatah, Yogya. Lalu, bagaimana kita mengenang sosoknya?
Pemimpin Ponpes Waria Al-Fatah tersebut wafat di usia 60 tahun. Melansir Kompas, beberapa hari sebelum meninggal, ia sempat mengeluh sakit asam lambung. Manajer Program Yayasan Kebaya, Rully Malay, menuturkan Shinta meninggal dunia sekitar pukul 6 pagi.
“Empat hari yang lalu dia sakit. Tiba-tiba mengeluhkan asam lambung, lalu kami larikan ke rumah sakit terdekat. Ternyata dokter dari IGD (Instalasi Gawat Darurat) memperbolehkan dirawat di rumah,” kata Rully, dikutip Kamis (2/2/2023)
Selama hidupnya, Shinta Ratri dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan berbagai hak kelompok transpuan. Ia merupakan penggagas berdirinya Ponpes Al Fatah, yang menaungi santri transpuan.
Shinta, mendirikan ponpes tersebut karena sulitnya para transpuan mendapatkan hak beribadah di ruang publik.
Pemimpin pesantren transpuan satu-satunya di dunia
Ponpres Waria Al-Fatah Jogja, dalam pengembangannya tak lepas dari tangan Shinta Ratri. Ia salah satu tokoh awal yang mengembangkan pondok pesantren tersebut, bersama salah seorang pendiri, Maryani.
Melansir Tempo, Ponpes Al-Fatah merupakan satu-satunya pesantren transpuan di dunia. Semua berawal dari 2006, ketika banyak transpuan berkumpul dan berdoa untuk korban gempa di Jogja. Sejak saat itu, perkumpulan makin intens dan pada 2008 lahirlah Ponpes Al-Fatah.
Ponpes ini sempat vakum sejak 2014, setelah sang pendiri, Maryani, wafat. Namun, pada 2018 pesantren ini kembali menggeliat di bawah asuhan Shinta, dan sejak saat itu sudah ada ratusan transpuan yang menjadi santri.
Kepada BBC, Shinta pernah mengaku bahwa dirinya senang banyak transgender muda yang ikut beribadah. Ia berharap transpuan tidak hanya memikirkan urusan duniawi saja, karena bekal spiritual juga penting untuk membangun semangat hidup.
“Entah itu diskriminasi dan tekanan apa saja, bekal spiritual mampu membuat manusia nyaman hidup di dunia, bermasyarakat dan berketuhanan,” ujar Shinta, kala itu.
Hadirkan keberagaman lintas agama
Ada kisah menarik mengenai sosok Shinta Ratri. Cerita ini disampaikan oleh Pendeta GBI Jalan Terang Kasih Tuhan, Ratna Setyaningsih, saat mengenang mendiang pemimpin ponpes transpuan itu.
Menurut kesaksian Ratna, Shinta tak memandang perbedaan dalam beragama. Bahkan, Shinta juga turut andil dalam memberikan ruang bagi rekan-rekan transpuan beragama Nasrani, untuk bisa kembali beribadah.
Saat itu, Shinta meminta Ratna untuk membina kerohanian kawan-kawan transpuan, khususnya yang beragama Nasrani. Hal ini mengingat masih banyaknya orang-orang yang mendiskriminasi transpuan ketika datang ke rumah ibadah.
“Awalnya beliau memberikan tempat di ponpesnya itu untuk ibadah bagi waria yang Nasrani, karena selama ini tidak ada yang membina dan saya melakukan apa yang beliau minta,” kata Ratna kepada Suara, dikutip Kamis (2/2/2023).
Ratna, dengan sepenuh hati meyakini, bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan terlepas dari apapun bentuk lahiriahnya. Keyakinan itu, juga ditambah dengan ajakan dari Shinta, yang membuat Ratna semakin yakin untuk membuka ruang tersebut.
Akhirnya, Ratna menerima permintaan Shinta dan lahirlah persekutuan doa untuk kawan-kawan transpuan nasrani, dengan nama Jalan Terang Kasih Tuhan—yang saat ini dibina Ratna.
Seiring waktu berjalan, kedua pondok rohani ini terus bersinergi berbarengan satu sama lain, melakukan berbagai program yang disusun. Tidak terkotak-kotak satu agama saja, bahkan mereka melebur menjadi satu kesatuan.
“Kita benar-benar tidak menyangka ya, kalau ada acara kerohanian muslim kami juga ikut mendukung. Demikian juga kalau kami beribadah beliau (Shinta) juga ikut terus mendampingi anak-anak waria,” tuturnya.
“Jadi kita benar-benar mengalami yang namanya di hadapan Tuhan itu tanpa sekat tanpa jarak karena tidak ada yang namanya jubah agama,” tukasnya.
Peran Shinta tak berhenti sampai di situ. Sosok Shinta bahkan tetap menjadi tempat bagi para transpuan, khususnya yang beragama Nasrani, untuk curhat atau bercerita tentang keluh kesah mereka.
“Ya justru karena dia (Shinta) seorang muslim, tapi justru memikirkan waria-waria Nasrani yang selama ini tidak ada yang membina kerohaniannya. Loh, itu yang luar biasa. Mungkin kami orang Nasrani pun belum tentu punya kepedulian loh,” ujar Ratna.
Sabet penghargaan HAM dunia
Melansir Jakarta Post, berkat kerja keras dan semangatnya mendampingi para transpuan, Shinta Ratri mendapat penghargaan pejuang hak asasi manusia dari Front Line Defenders pada 2019 lalu.
Lembaga berbasis di Irlandia tersebut menilai, Shinta adalah tokoh inspiratif di lingkup Asia-Pasifik, atas jasanya memperjuangkan hak-hak transpuan melalui pondok pesantren.
Sosok Shinta, memang dikenal pembela para transpuan untuk mendapatkan hak beribadah. Oleh karenanya, dia membina Pondok Pesantren Waria Al-Fatah.
Dia dikenal ulet, dan telah berwiraswasta sejak masih SMA. Shinta juga berprinsip untuk melakoni hidup tak sekedar menyenangkan orang lain.
Hadirnya ponpes Al-Fatah sekaligus juga berusaha menghapus stigma negatif yang melekat pada masyarakat terkait transpuan. Para santri, terbukti mampu berbaur dan berhubungan baik dengan warga. Mereka, selain rajin beribadah juga berdaya dengan bekerja di berbagai sektor, seperti salon dan sejumlah LSM.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda
BACA JUGA Menghargai Keberadaan Waria yang Ada di Sekitar Kita