MOJOK.CO – Karier politik Khofifah Indar Parawansa tidak diragukan lagi. Kurang lebih sudah 30 tahun ia bergelut di dunia politik. Berbagai posisi pernah ia duduki, mulai menjadi anggota DPR, menteri, hingga saat ini menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur.
Sebagai perempuan yang berkarier di dunia politik, perjalanan Khofifah hingga berada di posisinya saat ini tidaklah mudah. Namun perempuan kelahiran 19 Mei 1965 itu memang punya karakter yang kuat dan gigih sejak kecil. Ia terbiasa berusaha terlebih dahulu sebelum meraih suatu hal.
Karakter yang kuat itu terasah seiring ia tumbuh besar di kampung. Berbagai kegiatan yang diikuti Khofifah memupuk jiwa kepemimpinannya. Militansi dalam dirinya ikut terasah ketika mendalami hobi mendaki gunung bersama kawan-kawan kampungnya.
Karakter yang kuat terlihat ketika masuk masa kuliah pada sekitar 1983 dan 1984. Khofifah pernah ditegur dosen UNAIR karena mengenakan jilbab. Ia diminta untuk memilih tetap kuliah atau lepas jilbab. Teman-temannya juga banyak yang mengingatkannya pada aturan yang berlaku saat itu.
Akan tetapi, Khofifah tidak berkecil hati dan tetap mencoba melakukan apa yang ia yakini. Dengan tegas ia tetap mempertahankan jilbab yang sudah sering ia pakai.
“Jadi saya orang pertama di UNAIR yang diizinkan menggunakan jilbab. Waktu itu semua dosen belum boleh. Baru setelah saya, beberapa waktu kemudian diperbolehkan. Begitu juga ketika di DPRD saat tahun 1992,” ungkapnya.
Diharapkan jadi Bu Nyai
Sebenarnya, ibunya berharap Khofifah menjadi ulama perempuan alias Bu Nyai. Pertimbangan sang Ibu sederhana saja, karena seorang Bu Nyai tidak akan pernah kelaparan. Demi menghormati keinginan Ibunya, Khofifah mendaftar di akademi fakultas dakwah selepas SMA.
Khofifah juga mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH). Saat itu Khofifah memang ingin berternak karena melihat kegiatan bapaknya setelah pensiun. Namun, ibunya tidak mengizinkannya karena kesempatan itu mengharuskan Khofifah pergi jauh dari rumah.
Ia tidak memungkiri kehidupan di desa memengaruhi cara berpikir sang Ibu yang tidak mengizinkannya melakukan banyak hal. Bahkan, izin kegiatan naik gunung yang digemari Khofifah perlu campur tangan dari sang kakak untuk meyakinkan. Begitu pula dengan keputusan melanjutkan kuliah di FISIP UNAIR prodi ilmu politik. Keputusan itu muncul berkat arahan dari kakaknya.
Garis hidup di politik
Khofifah sama sekali tidak menyesal akhirnya menempuh jalan itu. Berkat berkuliah di FISIP ia melihat betapa perlunya peran perempuan di pemerintahan maupun di politik. Perempuan semestinya berkontribusi di semua lini.
Setelah masuk menjadi anggota DPR dan menetap di Jakarta, Khofifah melanjutkan studinya di Magister Ilmu Politik UI. Pada 1993 Khofifah duduk sebagai anggota parlemen di usia 27 tahun, termuda pada saat itu. Pada periode jabatannya 1992-1997 dan 1997-1998, Khofifah cukup dikenal publik karena keberaniannya menyuarakan aspirasi rakyat.
Dilansir dari Femina, salah satu dorongan Khofifah berkarier di DPR pada saat itu adalah ucapan guru pesantrennya, “Yang penting bekerja dengan sungguh-sungguh.” Asal tahu saja, pada saat itu ia mendapat tiga buah undangan sekaligus untuk menjadi calon anggota DPR tingkat 2, tingkat 1, dan DPR RI.
Khofifah juga ikut berperan dalam transisi kepemimpinan selama Reformasi. Saat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengambil keputusan untuk membentuk tim yang akan memutuskan siapa saja yang bakal menjadi calon legislatif di PKB, Khofifah menjadi ketua tim kemenangan. Pada waktu itu Khofifah sudah berpindah dari PPP ke PKB. Selain itu, Khofifah-lah yang mengurus administrasi yang diperlukan Gus Dur ketika mencalonkan diri sebagai presiden.
Dalam perjalanan politiknya, Khofifah merasa dukungan pasangan menjadi salah satu modal penting baginya untuk menjalankan dua peran sekaligus, yakni sebagai politisi dan ibu.
“Saya ajak suami saya bekerjasama dalam pengasuhan anak. Karena saya sibuk, maka suami memegang tanggung jawab atas kesehatan anak seperti mengantar anak untuk vaksinasi. Sementara saya di bidang pendidikan dan keagamaan,” jelas dia.
Khofifah tidak memungkiri minat perempuan terjun ke dunia politik sebenarnya cukup besar. Hanya saja kebanyakan dari mereka terjegal budaya patriarki di masyarakat yang masih kuat. Mereka tidak mendapat izin dari suaminya dan terintimidasi bahwa laki-lakilah yang seharusnya memimpin.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Amanatia Junda