MOJOK – Pertumbuhan jumlah penduduk yang signifikan diklaim telah mempercepat proses perubahan iklim. Keluarga Berencana (KB), sebagai salah satu program untuk menekan pertumbuhan penduduk, disebut mampu menjadi solusi atas masalah itu. Benar begitu?
Overpopulasi atau pertambahan penduduk yang berlebihan ditengarai telah bertanggungjawab dalam mempercepat perubahan iklim. Sebuah studi yang dipublikasikan pada 2010 lalu menyimpulkan, bahwa bertambahnya jumlah penduduk akan ikut mempengaruhi terjadinya perubahan iklim.
Menurut penelitian berjudul “Climate change impacts are sensitive to the concentration stabilization path”, bertambahnya jumlah penduduk diindikasikan dapat meningkatkan jumlah kebutuhan energi, yang selama ini lebih didominasi oleh sumber energi dari bahan bakar fosil.
Penggunaan sumber energi kotor dari bahan bakar fosil akan memicu terjadinya emisi gas rumah kaca. Ini adalah penyebab pemanasan global dan perubahan iklim.
“Semakin banyak jumlah manusia di muka bumi, maka akan menyebabkan semakin bertambahnya jumlah penggunaan sumber energi dari bahan bakar fosil,” tulis Brian O’Neill dan Michael Oppenheimer, dalam penelitian yang terbit di Proceedings of the National Academy of Sciences, dikutip Kamis (9/2/2023).
Sebaliknya, penelitian tersebut juga mengungkap bahwa lambatnya pertumbuhan penduduk dapat mengurangi laju emisi gas rumah kaca hingga mencapai angka 16-29 persen, dan dapat menjaga suhu global dari efek-efek serius tertentu. Meski begitu, rendahnya pertumbuhan penduduk juga tidak serta-merta dapat mencegah terjadinya perubahan iklim.
KB untuk menekan pertumbuhan penduduk
Penelitian O’Neill dan Oppenheimer tersebut memperkirakan bahwa pada 2050, jumlah penduduk akan bertambah sebanyak 3 miliar dari jumlah yang sekarang. Hal itu berarti akan ada 9 miliar manusia pada 2050 dan ini menjadi angka yang mengkhawatirkan.
Namun, sebenarnya pertumbuhan penduduk ini masih dapat ditekan. Jika pertumbuhan itu dapat ditekan, misalnya menjadi 8 miliar saja, maka emisi gas rumah kaca pun dapat ditekan hingga angka 29 persen.
Salah satu kebijakan pengendalian penduduk adalah melalui program Keluarga Berencana. Program yang kerap disingkat KB ini merupakan program skala nasional. Tujuannya untuk menekan angka kelahiran dan mengendalikan pertambahan penduduk di suatu negara.
Di Indonesia sendiri, program KB telah diatur dalam UU N0 10 tahun 1992, yang dijalankan dan diawasi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Menurut Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, program KB dapat menjadi solusi untuk mengatasi pertumbuhan penduduk. Program ini sekaligus dapat menghadirkan dimensi gender, dengan partisipasi perempuan di dalamnya, untuk mengatasi permasalahan iklim.
“Salah satu kebijakan pengendalian penduduk adalah melalui program Keluarga Berencana (KB),” tulis PSKK UGM, dikutip Kamis (9/2/2023).
“Dari situlah dimensi gender, melalui partisipasi perempuan dalam program KB, menjadi pertimbangan penting dalam upaya pengendalian penduduk,” sambungnya.
Jangan dipandang sebagai solusi utama
Meski dapat menekan pertumbuhan penduduk—dan pada gilirannya diklaim memperlambat perubahan iklim—PSKK UGM tetap menekankan bahwa harus ada kehati-hatian di dalamnya.
Menurutnya, KB jangan dipandang sebagai satu-satunya cara untuk mengatasi perubahan iklim. Terlebih membingkai ulang perubahan iklim sebagai sekadar masalah overpopulasi, justru dapat mengarahkan pada kebijakan yang memaksa karena tubuh perempuan semata-mata menjadi alat untuk mengurangi fertilitas dan jumlah penduduk.
Ini sesuai dengan yang disampaikan organisasi global GenderCC – Woman for Climate Justice, yang menyebut bahwa benar perempuan harus memiliki akses terhadap keluarga berencana. Namun, hal ini tidak boleh diperlakukan atau dibingkai ulang sebagai solusi utama perubahan iklim.
Kesehatan, kesejahteraan, dan hak-hak perempuan harus menjadi inti dari semua program KB. Jangan sampai kebijakan keluarga berencana yang berpusat pada iklim (climate-centric family planning) justru mengancam kesehatan seksual dan reproduksi perempuan.
Jika itu terjadi, maka program itu hanya bakal memperlemah pendekatan berbasis hak (right-based approach) yang telah disahkan dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan di Kairo, Mesir, pada 1994.
“Oleh karena itu, peningkatan akses terhadap layanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi harus dapat memberikan banyak manfaat. Seperti peningkatan pilihan dan hasil kesehatan bagi perempuan,” jelas GenderCC dalam siaran persnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda