MOJOK.CO – Menurut survei Yayasan Plan, banyak perempuan muda yang tidak percaya diri untuk terjun ke dunia politik. Ada beberapa penyebab, termasuk faktor budaya masyarakat hingga hambatan sistemik.
Secara hukum, Indonesia sendiri, sebenarnya sudah melakukan affirmative action untuk mendorong keterlibatan perempuan di arena politik.
Misalnya, melalu Perppu No. 1 Tahun 2022 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Peraturan tersebut mensyaratkan partai politik untuk bisa mengikuti pemilu adalah dengan menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik di tingkat pusat.
Alhasil, meski belum bisa mencapai target representasi 30 persen di parlemen, ada peningkatan kursi perempuan dalam lima tahun terakhir—dari 18 persen ke 21 persen.
Sayangnya, menurut laporan berjudul “State of the World Girls Report” (SOTWG) milik Yayasan Plan pada akhir tahun 2022 lalu, masih banyak perempuan yang tidak percaya diri jika harus mencalonkan diri ke pemilu. Gejala ini terjadi baik secara global, maupun secara khusus di Indonesia.
Melek isu, tapi tak pede ikut elektoral
Survei yang Yayasan Plan lakukan tersebut melibatkan sedikitnya 29 ribu remaja perempuan dari 29 negara, termasuk di antaranya 1.000 perempuan asal Indonesia. Mereka, rata-rata berumur 15-24 tahun, yang berdomisili di Jawa hingga Papua dan berasal dari latar belakang etnis dan agama yang beragam.
Menurut temuan survei itu, sebanyak 51 persen perempuan muda Indonesia merasa tidak percaya diri untuk ikut dalam politik elektoral maupun mengikuti debat di TV tentang isu sosial, politik, dan ekonomi.
Namun, lanjut survei tersebut, bukan berarti perempuan tidak melek ataupun tak berani bersuara soal isu-isu politik.
Buktinya, laporan ini juga memaparkan bahwa sebanyak 57 persen responden di Indonesia mengaku percaya diri dalam membagikan konten online sebagai sikap atas suatu masalah.
Sementara 47 persen lainnya bahkan percaya diri dalam membentuk sebuah kelompok untuk mencapai perubahan atas suatu masalah.
Faktor yang bikin tak pede
Ada berbagai faktor mengapa perempuan muda di Indonesia tak percaya diri terjun ke politik elektoral. Menurut Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Ikhaputri Widiantini, budaya patriarki jadi penghambat utama. Itu mengapa pada akhirnya perempuan tak pede jika harus ikut pemilu.
Kata dia, budaya patriarki pada gilirannya membentuk pandangan misoginis masyarakat. Akhirnya, melihat perempuan bukan dari pencapaian atau kompetensinya, tapi lebih banyak karena parasnya (objektivikasi).
“Begitu perempuan muncul, yang dilihat adalah ‘wow perempuan, ada politisi yang cantik!’ Jadi orang nggak dilihat politisi yang bicara apa, tapi politisi yang cantik, pakaian yang menarik. Jadi orang diarahkan melihat pakaiannya,” kata Ikha, dalam diskusi bertajuk “Partisipasi Kaum Muda dan Perempuan dalam Politik” yang tayang di Youtube Jurnal Perempuan, dikutip Senin (10/4/2023).
Melalui acara kolaborasi Yayasan Plan dengan Jurnal Perempuan tersebut, Ikha juga menambahkan faktor tambahan tambahan lainnya adalah dengan masih adanya nilai-nilai dalam masyarakat yang masih kurang menerima perempuan sebagai sosok pemimpin.
Sebagai gambaran, dalam survei Yayasan Plan, hanya 20 responden Indonesia yang percaya bahwa perempuan akan diterima di komunitas mereka jika menjadi pemimpin nasional setingkat menteri dan presiden, dibandingkan dengan 49 persen secara global.
“Itu artinya, persepsi atas penerimaan masyarakat terhadap perempuan sebagai pemimpin politik di Indonesia tak sampai setengah dari rata-rata global,” jelasnya, menambahkan.
Mendapat hambatan secara sistemik
Selain masalah budaya, masalah sistem juga menghambat keterlibatan perempuan dalam pemilu, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan diri mereka.
Melalui survei tersebut, ada temuan bahwa 9 dari 10 perempuan muda mengaku mendapati berbagai hambatan dan tantangan ketika berpartisipasi dalam politik.
Misalnya, terkait banyak politisi yang cenderung tidak mendengarkan anak perempuan dan remaja perempuan, atau para politisi tidak membicarakan isu-isu yang berpengaruh terhadap perempuan. Serta persepsi perempuan muda yang merasa tidak cukup memahami isu-isu politik. Sehingga banyak partai politik yang memberikan posisi-posisi strategis pada laki-laki.
Meski menghadapi sejumlah hambatan, 9 dari 10 perempuan muda Indonesia itu tetap percaya bahwa partisipasi di dunia politik itu penting. Alasannya, kata sebagian besar responden, perempuan bisa lebih menekankan pada keadilan sosial, pendidikan dan kesehatan dalam keputusan politik.
Partisipasi perempuan muda juga penting. Lantaran bisa memperbaiki situasi perempuan muda di masyarakat, di samping juga untuk membuat ruang politik yang lebih inklusif dan representatif.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi