MOJOK.CO – Sebagian daerah, baik kota/kabupaten maupun provinsi, masuk dalam kategori swing voters. Dalam artian, setiap kali pemilu situasinya masih sangat dinamis; parpol-parpol mana saja yang mungkin memenangkannya masih bisa berubah.
Namun, ada juga daerah yang secara tradisional jadi basis partai tertentu. Implikasinya, tiap kali tahun politik, partai tersebut punya jaminan menang di wilayah ini.
Bahkan, tak jarang kemenangannya pun bisa sangat dominan.
Lantas, daerah-daerah mana saja yang berada di bawah dominasi partai tertentu? Berikut Mojok merangkumnya.
#1 Golkar merajai Kabupaten Malaka
Secara nasional, Partai Golkar meraih 12,31 persen suara atau 85 kursi di Senayan. Jumlah ini hanya kalah dari partai pemenang Pemilu 2019 lalu, PDIP, yang meraih total 128 kursi.
Kendati demikian, untuk parlemen daerah, suara Golkar cenderung merata. Dalam artian, tidak banyak daerah yang benar-benar dikuasai partai berlambang pohon beringin ini.
Beda halnya dengan Kabupaten Malaka, NTT, yang mana daerah ini secara harafiah dirajai oleh Golkar. Bukan tanpa sebab, NTT memang satu dari 11 sebelas provinsi—yang menurut Ketum Golkar Airlangga Hartarto—jadi basis kemenangan Golkar.
Boleh dibilang, secara presentase kekuasaan Golkar di Malaka tak begitu signifikan. Mereka “cuma” meraih 8 kursi dari total 25 yang disediakan, atau sepertiga dari keseluruhan. Sementara parpol-parpol lain, mentok hanya meraih 3 kursi.
Pun demikian, wilayah ini secara tradisional adalah “wilayah yang kuning” banget. Bahkan, sebagai trivia, di Malaka ada turnamen sepakbola kelompok usia muda yang didedikasikan untuk Golkar. Nama turnamen ini adalah “Novanto Cup”.
Ya, nama turnamen diambil dari nama “Setyo Novanto”, politisi senior Golkar yang belakangan namanya terkenal karena drama kasus korupsinya. Novanto Cup sendiri sudah digelar sejak 2013 silam.
#2 Solo dan sekitarnya memerah
Kalau di Solo, daerah ini merah dalam arti sebenarnya: parlemen dikuasai secara mutlak oleh PDIP, begitu juga dengan hegemoninya, yang mana Solo secara tradisional memang basis dari parpol yang dipimpin Megawati Soekarnoputri tersebut.
Di Solo, dari 45 jatah kursi yang diperebutkan, 30 di antarnya direbut oleh PDIP. Artinya, PDIP meraih 60 persen suara di DPRD Solo. Mutlak!
Tak sampai di situ, pada Pemilu 2024 nanti, partai berlogo banteng ini bahkan menargetkan 35 kursi. Ini tentu akan makin menegaskan dominasi PDIP di Solo, mengingat kepala daerahnya juga berasal dari “orang banteng”.
Bergeser sedikit, kondisi tak berbeda jauh terjadi di Boyolali. Di wilayah ini, kursi yang diraih PDIP bahkan lebih banyak: 35 dari 45 kursi. Dengan demikian, 78 persen suara parlemen daerah Boyolali dikuasai PDIP.
Sementara di Wonogiri, PDIP meraih 28 kursi dari total 50 yang disediakan (54 persen). Partai yang paling mendekat PDIP di wilayah ini pun berselisih jauh, yakni Golkar yang hanya meraih 8 kursi.
#3 Bali di bawah dominasi banteng
Selain Solo dan sekitarnya, PDIP juga menguasai kursi DPRD Bali. Di daerah itu, PDIP mendapat 33 kursi dari total 55 kursi DPRD Bali (60 persen).
Sementara itu, Partai Golkar hanya mendapatkan 8 kursi, Partai Gerindra 6 kursi, Demokrat 4 kursi, Nasdem 2 kursi, PSI 1 kursi, dan Hanura 1 kursi—jika ditotal pun belum melamapaui PDIP.
Lebih lanjut, perolehan suara PDIP juga hampir merata di setiap Daerah Pilihan (Dapil). Di antaranya dapil Kota Denpasar dengan 5 kursi, Buleleng 6 kursi, Gianyar 5 kursi, dan Tabanan 4 kursi.
Bali sendiri memang manjadi salah satu wilayah pemenangan parpol berlambang banteng tersebut. Gubernur Bali pun, yakni I Wayan Koster—yang baru-baru ini ramai karena polemik penolakan Timnas Israel U20—juga merupakan kader PDIP.
#4 Depok-Sumbar ‘sarang PKS’
Di Depok, meski punya perolehan kursi terbanyak, suara PKS di DPRD tak terlalu dominan. “Hanya” 12 dari total 50 kursi.
Begitu juga di Sumatra Barat (Sumbar), di mana PKS sebenarnya masih kalah dari parpol pemenang, yakni Gerindra. Di tanah minang, PKS hanya mampu merebut 10 kursi, kalah 4 kursi dari Gerindra.
Kendati demikian, ada alasan menagapa dua wilayah ini disebut sebagai “sarang PKS”.
Kota Depok menjadi ramai akhir-akhir ini setelah putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, mendeklarasikan diri sebagai Cawalkot-nya. Ambisi Kaesang ini, salah satunya, adalah untuk merebut Depok dari dominasi PKS.
Sebagaimana diketahui, sejak pertama digelar pada 2005, Pemilkot Depok memang selalu dimenangkan paslon dari PKS. Artinya, sudah hampir dua dekade Depok menjadi “sarang PKS”; sejak Mahmudi Ismail hingga Mohamad Idris.
Sementara Sumbar, sudah sejak lama dikenal dengan “jiwa PKS”-nya yang begitu kental. Tiap Pemilu, wilayah ini jadi basis kemenangan parpol pimpinan Ahmad Syaikhu tersebut.
Pada 2020 lalu, untuk ketiga kalinya dalam 15 tahun terakhir, kader PKS selalu memenangkan Pemilu Gubernur Sumbar. Hebatnya lagi, dari 19 kabupaten/kota di Sumbar, 10 di antaranya adalah basis PKS.
Bahkan, politikus PDIP Zuhairi Misrawi sempat geram dengan kondisi Sumbar yang menurutnya “sudah berubah sejak 10 tahun ‘diprovokasi PKS’”. Elite-elite PDIP pun juga sering berkonflik dengan Sumbar, sehingga provinsi ini menjadi oposisi yang keras bagi pemerintah.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi