MOJOK.CO – Tiap menjelang pemilu, fenomena politik uang dengan menjual suara selalu menjadi bahan pembicaraan yang hangat. Bahkan, 2019 lalu Indonesia mendapat predikat sebagai negara dengan politik uang tertinggi ketiga, hanya kalah dari Uganda dan Benin.
Sayangnya, penelitian terkait politik uang hanya berfokus pada perilaku vote-buying, alias aksi politisi yang menebar janji sambil bagi-bagi duit.
Masih sangat sedikit studi yang membahas mengenai fenomena politik uang dari sudut pandang masyarakat yang menerimanya alias vote-seller. Padahal, baik politisi yang bagi-bagi duit maupun masyarakat yang menerimanya adalah aktor dalam pusaran money politic.
Lantas, kira-kira apa yang bikin masyarakat mau menerima uang dari politisi, atau bahasa kekiniannya: “menjual suara mereka?”. Berikut beberapa alasannya menurut psikologi.
Menormalisasi klientelisme
Ada temuan menarik yang oleh ilmuwan politik Burhanuddin Muhtadi tulis dalam bukunya yang berjudul Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru (2020).
Melansir laporan The Conversation, dalam bukunya tersebut Muhtadi menyebut bahwa pendapatan, status sosial-ekonomi, dan tingkat pendidikan, ternyata tidak berpengaruh secara signifikan dalam mendorong seseorang untuk terlibat dalam transaksi klientelisme.
Pendeknya, klientelisme merupakan tindakan pertukaran sumberdaya materiil maupun non materiil antara kandidat dan pemilih. Biasanya, kandidat memberi duit atau janji lain, kemudian pemilih memberikan dukungan mereka.
Kata Muhtadi, klientelisme muncul karena adanya normalisasi terhadap praktik tersebut. Karena klientelisme dianggap wajar, maka masyarakat pun menjadi permisif atas praktik culas ini.
Bahkan, lanjut Muhtadi, masih banyak komunitas masyarakat yang memandang tindakan klientelisme, yang berujung pada politik uang, sebagai gestur kebaikan hati ataupun kealiman. Misal, menganggap pemberian politisi sebagai sedekah alih-alih sogok-menyogok.
Pada akhirnya, melihat politik uang pun malah sebagai suatu tindakan yang luhur. Sehingga mereka malah mendukungnya.
Menjual suara karena bias rabun jauh
Selain adanya normalisasi, faktor lain yang bisa mempengaruhi pemilih untuk menerima uang dari seorang kandidat adalah apa yang ilmu psikologi sosial definisikan sebagai present bias alias “bias rabun jauh” (present bias).
Bias rabun jauh adalah “kecenderungan alami manusia untuk lebih memilih hadiah (reward) yang bisa mereka dapatkan saat ini. Walaupun nilainya kecil, ketimbang hadiah yang lebih besar tapi hanya bisa diperoleh di masa depan.”
Contoh sederhananya, nih: kecenderungan manusia yang lebih senang membelanjakan gaji yang baru saja mereka terima untuk membeli HP. Ketimbang menabung untuk keperluan masa depan. Dalam logika present bias, manusia memilih hal tersebut karena “hadiah” dari menabung baru bisa dinikmati nanti, bukan saat ini atau secepatnya.
Dalam politik, bias rabun jauh bikin pemilih tergiur untuk menerima uang yang bisa mereka dapat langsung dari politisi saat pemilu–meskipun tidak seberapa. Ketimbang mereka memikirkan, misalnya, dampak buruk di kemudian hari dari uang yang ia terima.
Pada akhirnya, bias ini pulalah yang memungkinkan masyarakat menderita “rabun jauh dalam politik”. Kondisi yang menyebabkan mereka gagal melihat lebih jauh ke depan dan cenderung mengambil keputusan politik dengan pola pikir jangka pendek.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Daftar Provinsi Paling Rawan Politik Uang: Jabar Tinggi, Jateng dan Jatim Rendah
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News