MOJOK.CO – Partisipasi anak muda Indonesia yang ikut kontestasi politik masih minim. Padahal, kehadiran mereka penting karena bisa membawa gagasan yang lebih segar. Berikut ini tiga cara untuk menggaet partisipasi mereka.
Partisipasi anak muda untuk terjun ke dunia politik masih terbilang kecil. Misalnya saja, dari total 575 anggota DPR RI hanya ada 20 orang yang berusia di bawah 30 tahun. Angka ini bahkan tak menyentuh 4 persen.
Itupun, dari 20 anak muda, 10 di antaranya punya rekam jejak orangtua yang sudah lebih dulu jadi anggota DPR RI.
Fakta ini cukup mengkhawatirkan mengingat berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Pemilu 2024 nanti proporsi pemilih muda sebanyak 55-60 persen. Sebagaimana yang kita tahu, dengan semakin minimnya wakil rakyat muda yang berkontestasi, maka makin kecil pula minat anak muda terhadap politik.
Terkait permasalahan ini, peneliti psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Wawan Kurniawan pun merumuskan tiga hal yang harus pemerintah lakukan. Apa saja itu?
#1 Aturan tertulis soal representasi pemilih muda
Seperti yang Wawan tulis, upaya awal yang harus pemerintah lakukan adalah dengan membuat regulasi yang menjelaskan detail terkait representasi kaum muda di dalam politik. Hal ini, misalnya, mirip dengan affirmative action terkait aturan kuota 30 persen untuk keterwakilan perempuan.
Hal tersebut bukannya tanpa alasan. Mengingat kaum muda dapat memberikan gagasan yang matang dan melaksanakan proyek-proyek dengan baik, maka mereka harus dapat ruang seluas-luasnya. Salah satunya dengan membuat aturan yang mengikat.
Jika upaya ini tidak dilakukan, kata Wawan, maka representasi mereka di parlemen tidak akan maksimal.
“Ini karena secara psikologis, masih banyak masyarakat yang cenderung meremehkan usia muda dan menganganggapnya belum berpengalaman dalam politik dan pemerintahan,” jelasnya.
#2 Parpol harus memberi kesempatan
Jika langkah pertama sudah terlaksana, menurut Wawan, upaya berikutnya jadi tanggung jawab partai politik. Kata dia, parpol perlu membuka ruang seluas-luasnya untuk menerima dan menyediakan tempat khusus bagi kaum muda.
Dengan demikian, langkah kedua ini berfokus pada upaya tiap partai untuk secara mandiri merancang dan menghadirkan kaum muda yang siap untuk terlibat aktif dalam dunia politik. Misalnya, melalui kaderisasi yang konsisten dan berjenjang, serta memberikan mereka kesempatan lebih untuk berkompetisi.
Bahasa mudahnya: beri kesempatan yang muda buat nyaleg, jangan yang tua-tua mulu.
“Harapannya, secara serius partai menghadirkan tokoh kaum muda yang mewakili aspirasi kelompok yang sebenarnya,” kata Wawan.
Dengan mendorong parpol untuk melakukan upaya itu, setidaknya ini dapat menjadi pintu untuk kaum muda terlibat pengalaman langsung dalam memahami kondisi politik yang terjadi.
#3 Penguatan kapasitas dan pelatihan
Langkah terakhir adalah mendorong pemerintah, parpol, dan sejumlah pihak terkait untuk dapat menciptakan ruang untuk penguatan kapasitas dan pelatihan secara menyeluruh dalam mempersiapkan anak muda untuk memahami dengan baik berbagai aspek yang akan dihadapi nantinya.
“Misalnya, ini bisa berbentuk pelatihan keterampilan untuk merumuskan visi misi yang tepat sasaran, keterampilan analisis sosial, dan berbagai kemampuan lainnya yang relevan untuk dimiliki seorang politikus muda,” jelas Wawan.
Meski demikian, sambungnya, strategi apapun yang jalan jangan sampai bikin anak muda sekadar subyek yang “perlu senior bimbing” agar mampu mencapai visi tertentu.
“Anak muda ini, justru harus diperlakukan secara egaliter dan aspirasinya harus benar-benar dijembatani; jangan sampai kita melanggengkan perilaku paternalistik (alias mentalitas sok menggurui anak muda),” pungaksnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi